Part 7
After the Story
Saga & Sesil
###
Part 7
###
Belum diedit, harap maklum kalo banyak typo bertebaran.
Selamat membaca ...
###
"Lagi?"
Sesil mengangguk dengan telapak tangan di mulut, melompat dan berlari ke arah kamar mandi dengan gerakan cepat.
Jantung Saga nyaris meloncat keluar dari dadanya ketika melihat Sesil melompat turun dari ranjang sebelum ia sempat bangkit untuk menggendong wanita itu ke kamar mandi. Bagaimana jika wanita itu terpeleset dan kepalanya membentur lantai. Saga pun segera berlari menyusul wanita itu yang sudah berjongkok di depan toilet.
Menguncir rambut Sesil ke belakang dengan tangan kirinya dan mengusap punggung wanita itu dengan tangan kanan. Hatinya terasa diperas melihat keringat yang membubuhi kening wanita itu. Menunjukkan seberapa banyak tenaga yang terkuras untuk mengeluarkan isi perut.
Ia belum pernah muntah, tak ada darah atau apa pun yang bisa membuat isi lambung keluar secara paksa. Hidupnya sudah cukup keras. Kecuali mungkin muntah darah yang diakibatkan oleh tusukan pisau di perut dari salah satu perkelahian yang tak bisa dihindari. Dan itu sudah lama terjadi, ia lupa bagaimana rasanya selain bau anyir darah yang memenuhi saluran tenggorokannya. Tapi ia yakin, apa yang dialami oleh Sesil jauh lebih buruk. Membuatnya sangat kesal tak bisa berbuat lebih selain menatap tolol kepada istrinya.
"Kita ke rumah sakit," ujar Saga dengan bibir menipis tajam. Pasti ada yang tak beres dengan kehamilan Sesil hingga begitu menyiksa seperti ini.
Sesil muntah lagi, lebih keras dari sebelumnya dan kali ini cairan pahit yang keluar. Perutnya terasa terhentak-hentak dan diaduk.
Akhirnya sesi muntah malam itu berakhir lebih panjang dari biasanya. Sesil duduk dengan bantuan Saga, yang dengan telaten membersihkan sisa-sisa muntahan di ujung bibir menggunakan tisu.
"Kita ke rumah sakit."
Sesil menggeleng. Menurunkan tangan Saga dari wajahnya. "Dari mana saja kau setelah kita pulang dari pernikahan Alec?"
"Kenapa?"
"Aku seperti ini karena mencium bau parfum wanita di pakaianmu tadi."
Saga melongo, mulutnya membuka nutup tanpa suara.
"Kau benar-benar keterlaluan Saga. Apa kau memeluknya?"
"Aku tidak memeluk siapa pun, Sesil."
"Lalu bagaimana pakaianmu bisa berbau seperti wanita?"
Saga terkejut. Suara Sesil keluar lebih kuat dibandingkan dengan kepucatan yang menyelimuti wajah wanita itu setelah muntah. "Aku tidak tahu."
Sesil memukul dan mendorong dada Saga hingga pria itu jatuh terjengkang di lantai kamar mandi. "Malam ini aku tak ingin melihat wajahmu," katanya sambil berdiri.
"Jadi, kauingin aku tidur di kamar lain?"
"Ya. Renungkan kesalahanmu." Sesil membanting pintu kamar mandi saat menutupnya. Entah mendapatkan kekuatan dari mana.
***
Sudah lebih dari dua jam, Sesil tak bisa memejamkan matanya di kamarnya yang sepi dan gelap. Bergerak-gerak gelisah ke sana kemari di ranjangnya yang luas. Seorang diri. Merasa kesal, ia akhirnya memutuskan turun dari ranjang. Mengendap-endap keluar, turun ke lantai satu dan langsung menuju ruangan cctv.
"Nyonya?" Pengawal yang sedang berjaga seolah sudah mengetahui kedatangannya dan berdiri menyambutnya. "Apa Nyonya membutuhkan sesuatu?"
Sesil menelan ludahnya, menahan rasa malu. "A-aku ingin tahu. Di kamar mana suamiku tidur?"
"Tuang sedang berada kerja. Dan belum keluar hingga sekarang."
Sesil mengangguk-angguk, sambil berucap pelan dan kaku, "Kalau begitu lanjutkan pekerjaan kalian." Lalu berjalan pergi dan langsung menuju ruang kerja Saga di lantai dua.
***
Saga terbangun, tapi tak membuka matanya mendengar suara klik pelan dari arah pintu di belakangnya. Instingnya mengatakan bukan sesuatu yang membahayakan, tetapi sudut bibirnya menyeringai tipis di antara kegelapan ruang kerjanya.
Pendengarannya yang tajam, mendengar suara langkah kaki mengendap-endap ke arahnya. Tampak dijaga sehati-hati mungkin agar tak menimbulkan suara. Kemudian langkah itu teredam karpet, menandakan sosok yang berjalan mendekatinya sudah semakin dekat.
Sesil berdiri di samping sofa panjang, tempat Saga berbaring miring memunggunginya. Punggungnya sedikit membungkuk, pandangannya menembus kegelapan dengan bantuan sinar rembulan dari arah jendela yang tidak ditutup gorden. Menemukan wajah Saga dengan mata terpejam.
Tangan Sesil melambai di depan wajah Saga, memastikan pria itu masih terlelap sebelum memutuskan untuk menyelipkan tubuhnya di samping Saga. Menjadikan lengan pria itu sebagai bantal dan lebih merapat lagi karena Saga tak bergerak. Menandakan pria itu sudah sangat tenggelam dalam mimpi.
Aroma tubuh Saga dan kehangatan pria itu membuat Sesil mengantuk dalam hitungan menit, dan jatuh terlelap di menit berikutnya.
Saga tersenyum mendengar dengkur halus istrinya. Matanya terbuka dan menatap wajah Sesil yang terlihat begitu tenang di antara keremangan. Merapatkan tubuh wanita itu di tubuhnya dan ikut memejamkan mata setelah mendaratkan satu kecupan di bibir wanita itu.
"Sesilku yang manis," gumamnya pelan.
***
"Bangun, sayang." Saga membangunkan Sesil dengan melumat bibir wanita itu. Salah satu cara paling ampuh.
Sesil menggeliat. Mengerang pelan dan di antara kesadarannya yang perlahan kembali, ia mengingat di manakah dirinya tengah berada sekarang. Tidur bersempit-sempitan dengan Saga di sofa ruang kerja pria itu. Matanya terbuka, dan langsung bersirobok dengan mata Saga
"Jadi? Apa yang membuatmu tiba-tiba muncul di sini?" Salah satu alis Saga terangkat. "Dalam pelukanku."
Sesil menghindari tatapan Saga yang menguliti wajahnya.
"Aku tak ingat sudah membawamu ke sini."
"Aku sendiri yang ke sini!" kesal Sesil. "Anakmu tak bisa tidur," dalihnya.
"Anakku, ya?" Saga menahan senyumnya.
"Dan ... dan aku sudah memaafkan kesalahanmu," lanjutnya lagi dengan salah tingkah.
"Apa aku harus berterima kasih untuk itu?"
Sesil mendengus kesal dengan bibir mengerucut. Bangkit terduduk. "Sejak kapan kau tahu mengucapkan kata terima kasih."
Saga ikut bangkit, melingkarkan lengannya di pinggang Sesil dan menenggelamkan wajahnya di cekungan leher wanita itu sembari mengucapkan kalimat cinta yang tak akan pernah ditolak oleh Sesil. "Aku mencintaimu."
Sesil merasa kesal, tapi hatinya meluruh dengan seketika. Ia menoleh ke samping, dan bibirnya langsung membentur bibir Saga. Saga tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Menangkap bibir Sesil dan membalik wanita itu duduk di pangkuan dengan kedua kaki terbuka.
"Apa semalam kau mengunci pintunya?" tanya Saga di antara ciumannya.
Sesil menggeleng pelan karena tak ingin melepaskan diri dari ciuman Saga. "Kei tak akan datang kemari," jawabnya. Berganti memimpin ciuman mereka dan menarik Saga lebih dekat.
Saga terkekeh dengan keagresifan Sesil. Gayung bersambut, dan ia membaringkan Sesil di sofa bersamaan melempar pakaian tidur wanita itu ke lantai.
***
"Kau bilang kau tak akan pergi lagi?" protes Sesil sore itu ketika Saga mengatakan akan pergi ke Miami malam itu juga.
"Ada masalah di sana. Aku harus pergi untuk mengurusnya."
"Berapa lama?"
"Tiga hari."
Sesil ingin menangis, tapi ia mengerjap-ngerjapkan matanya menahan tangisan di matanya yang berkaca.
Saga bersimpuh di depan Sesil, menggenggam kedua tangan wanita itu dan mengecup punggung tangan putih lama. Kemudian mendongak dan menghapus setetes basah yang jatuh di pipi istrinya. "Maafkan aku. Ini benar-benar mendadak dan aku sendiri yang harus turun tangan."
"Apa Alec tidak bisa mengurusnya?"
"Alec sudah tak bekerja padaku. Tapi jika ada apa-apa, kau bisa menghubunginya."
"Aku tidak membutuhkan Alec."
"Aku tahu."
Saga merangkum wajah Sesil, tersenyum dan mengangkat wajahnya untuk mencium bibir wanita itu. "Aku berjanji tak akan lebih dari tiga hari. Aku akan mengangkat setiap panggilanmu dan bebricara padamu sebelum kau tidur. Bagaimana, huh?"
***
Sudah lewat tengah malam dan Sesil masih belum bisa memejamkan matanya. Ponsel Saga juga masih belum aktif, menandakan bahwa pria itu masih belum turun dari pesawat. Menunggu dengan resah, tak bisa tidur sebelum mendapatkan telpon dari Saga. Pria itu berjanji akan menelponnya ketika sampai.
Lama menunggu, akhirnya ponsel di tangannya bergetar. Dengan penuh semangat ia mengangkat tangannya. Tetapi segera kecewa karena bukan panggilan dari Saga.
"Dirga?" Sesil mengerutkan keningnya melihat nama Dirga muncul di layar ponselnya. Seketika rasa kantuknya lenyap dan tubuhnya bangkit terduduk. Untuk apa pria itu menghubunginya tengah malam seperti ini?
"Hallo?"
"S-sesil ..."
Sesil terkesiap pelan, suara Dirga terdengar terputus-putus seolah kesulitan bernapas. "Ada apa, Dirga? Kenapa suaramu?"
"S-sesil ... t-tolong ... t-tolong aku ..."
***
Saturday, 27 March 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top