Part 4
After the Story
Saga & Sesil
###
Part 4
###
"Undangan pernikahan?" Sesil mengambil lembaran setebal setengah senti yang terletak di atas tumpukan buku di ujung meja kerja Saga.
Saga mengangkat wajahnya. Melihat kertas undangan pernikahan yang diberikan Alec beberapa hari lalu. Setelah kabar tentang kematian Cage senior, Alec kembali selama seminggu dan hanya mengirim kertas sialan untuk memberitahunya bahwa pria itu ternyata masih bernapas.
"Alec Cage & Alea Mahendra? Apa ini undangan pernikahan Alec?" Mata Sesil melotot tak percaya. "Untuk apa Alec menikah?"
"Untuk apa pun itu bukan urusanku, apalagi urusanmu. Sesil." Saga kembali bergulat dengan lembaran kertas lebar yang nyaris memenuhi seluruh mejanya. Berisi gambar-gambar kerangka dan denah kasino baru yang akan dibangunnya. Merasa tak puas dengan tata letak seperti yang diinginkannya, Saga kembali menggulung perkamen tersebut dan menyingkirkannya dari hadapannya. Lena harus memulainya dari awal.
"Dia jelas bukan jenis pria yang bisa jadi suami yang baik, Saga."
"Tidak semua pernikahan memiliki suami yang baik, Sesil. Pria dan wanita menikah jelas ingin berkembang biak."
Sesil sedikit mengerutkan bibirnya dengan kata berkembang biak, tapi toh ia sudah biasa mendengar mulut Saga yang lembek dan tak punya filter. "Dan dia jelas buka tipe pria yang kebapakan. Dan ... "Ada jeda ketika Sesil menurunkan wajah dan pandangannya, dengan mata menyipit seraya meletakkan kertas undangan kembali ke tempatnya dan bersidekap. "Apa itu tujuanmu menikahiku? Aku ingat kau sangat ingin menghamiliku waktu itu. Bahkan menyeretku yang telanjang ke rumah sakit."
Saga menyandarkan tubuhnya. Mempertahankan pandangan mereka dan tak ada niat menyangkal, apalagi mencari alasan. Ia memang tak suka berbasa-basi.
"Tapi aku tipe pria yang kebapakan. Dan jelas suami yang baik dan posesif. Kemarilah." Saga mengangkat salah satu tangannya.
Sesil menatap Saga sesaat, tapi tetap tak mampu menolak ajakan pria itu. ia melangkah memutari meja dan langsung mendarat di pangkuan Saga. Saga menambutnya dengan menenggelamkan wajah di lehernya. Meninggalkan satu kissmark baru lagi di sana.
"Juga karena aku yang memerawanimu," bisik Saga di telingan Sesil, diikuti hembusan napas panasnya yang menggelitik wanita itu.
Tulang punggung Sesil melemah, tubuhnya serasa melebur di atas tubuh Saga. "Dan ... berapa banyak perawan yang sudah kau tiduri?"
Saga terkekeh, tanpa melepaskan bibirnya yang menempel di daun telinga Sesil. Bahkan ia menjulurkan lidah dan menggoda gairah yang mulai merayapi tubuh Sesil. "Kau perawan pertamaku."
Tenggorokan Sesil tersekat. Mendorong tubuhnya mundur untuk menemukan ekspresi di Saga.
"Kenapa kau begitu terkejut? Biasanya wanita yang menemaniku sangat berpengalaman dalam menyenangkan pria dewasa di ranjang."
Sesil mendelik, menunduk dan menggigit pundak Saga kesal. "Jangan ceritakan wanita mana pun saat bersamaku."
Kekehan Saga mengeras. Geli dengan gigitan Sesil dan lebih senang dengan kecemburuan yang ditunjukkan oleh istrinya. "Dan ternyata kau lebih mampu menyenangkanku daripada mereka."
Wajah Sesil yang kesal memerah.
"Tubuhmu tak pernah sebanding dengan mereka."
"Apa hanya itu satu-satunya yang ada di kepalamu saat membicarakan kita berdua? Membicarakan pernikahan kita?"
"Ya. Memangnya apalagi?" Suara Saga yang ringan membuat Sesil kesal. "Apa gunanya seorang istri jika tidak bisa membuat ranjang selalu panas dan bergairah? Tak ada gairah, tak ada cinta."
Sesil berdecak. "Darimana kau mendapatkan pepatah mesum semacam itu?"
"Well, itu yang jadi prinsip hidupku sekarang. Jadi .... jika kau tetap ingin bertahan di ranjangku." Tangan Saga merayap dari paha Sesil, mencari celah di ujung baju Sesil dan menemukan kulit telanjang wanita itu yang seketika membuat perutnya lapar. Lapar oleh Sesil. "Kau harus mempertahankan prestasimu."
"Hentikan, Saga!"
"Aku tahu kau tak ingin aku berhenti." Wajah Saga kembai menempel di leher Sesil. Meninggalkan jejak basah ketika merambat naik dan menemukan bibir Sesil. Tangannya kini menemukan kulit perut Sesil. Semakin naik dan menggoda. "Sepertinya kita belum pernah melakukannya di atas meja kerjaku," bisiknya di antara ciuman mereka yang semakin panas dan bergairah.
***
"Kau akan pergi?" tanya Sesil melihat Saga yang sudah berdandan rapi keluar dari ruang ganti pagi itu.
"Ya, ada sedikit urusan di luar. Aku akan kembali siang ini." Saga memperbaiki simpul dasinya di depan meja rias.
"Hari ini pernikahan Alec." Sesil mengingatkan.
"Lalu?"
"Apa kau tidak akan datang?"
"Aku tidak benar-benar percaya Alec mengharapkan kedatanganku, Sesil. Hubungan kami murni hanya pekerjaan. Kami tidak melakukan kunjungan pribadi. Lagipula, itu pesta keluarga."
Sesil merangkulkan lengannya di lengan Saga. "Aku ingin melihat upacara pernikahan mereka," pinta Sesil setengah merengek.
"Kenapa? Untuk memastikan tidak ada pistol di kepala pengantin wanitanya?"
Sesil sedikit terkejut dengan tebakan Saga. Kemudian menggeleng meski tahu Saga tak terlalu peduli dengan penyangkalannya.
"Tenang saja. Itu acara keluarga, jadi tak mungkin ada senjata."
"Aku tetap ingin pergi." Sesil menggoyang-goyangkan lengan Saga. "Anakmu ..."
"Oke. Kau tak perlu melanjutkannya," sergah Saga sebelum Sesil menggunakan anak mereka sebagai alasan. Yang benar saja. Apa hubungan pernikahan Alec dengan hormon kehamilan? "Sejak kapan kau jadi manipulatif seperti ini?" decaknya. "Aku akan pulang lebih cepat."
Sesil tersenyum semringah. "Aku akan mengantar Kei ke sekolah, setelah itu aku akan mencari hadiah dan bersiap menunggumu."
"Lakukan sesukamu." Saga memutar tubuh menghadap istrinya, menarik pinggang Sesil menempel hingga menempel di tubuhnya. "Aku juga akan melakukan apa pun sesukamu padamu." Senyum sensual Saga menjelaskan apa yang akan pria itu lakukan.
"Bukankah kau bilang akan pergi?"
"Mereka akan menunggu."
***
Sesil tak tahu harus membawa hadiah pernikahan apa. Ia tak tahu dan tak pernah bertemu dengan calon istri Alec. Apalagi mengenal dan tahu hadiah apa yang cocok untuk wanita itu. Namun, saat ia melihat toko bunga yang terletak di pinggiran jalan saat mobilnya melaju menuju pusat perbelanjaan di kota, ia menyuruh sopir menghentikannya.
Sepertinya bunga adalah hadiah yang cocok untuk pengantin Alec. Siapa tahu calon istri Alec tak menyukai bunga pengantinnya. Sesil pun turun, setelah sopir mendapatkan tempat parkir dan melangkah melewati pintu kaca. Yang langsung menyambutnya dengan hamparan berbagai macam jenis dan warna bunga memenuhi seluruh ruangan yang luas itu. Sesil merasa seperti berada di taman bunga.
Seorang petugas toko mengucapkan selamat siang dan menawarkan bantuan. Sesil membalas senyum wanita muda itu, mengatakan ingin melihat-lihat dulu. Berjalan pelan mengamati satu persatu jenis bunga dengan warnanya masing-masing. Mulai dari mawar, anggrek, tulip, dan entah apa lagi jenisnya. Hanya sedikit yang ia ketahui namanya.
"Aku ingin rangkaian bunga untuk pengantin," kata Sesil kemudian.
"Mawar merah dan putih? Lily? Atau anyelir." Wanita muda itu menunjuk satu persatu jenis bunga di hadapan Sesil. "Atau Anda menginginkan sesuatu yang lain?"
Sesil menatap bunga yang ditunjuk oleh wanita muda itu. Dan langsung memilih. "Mawar putih saja. Dan merah muda."
Wanita muda itu mengangguk, tanpa mengurangi senyum ramahnya sedikit pun. "Saya akan membantu merangkainya untuk Anda."
Sesil mengangguk. Melihat wanita muda itu mengambil beberapa tangkai mawar setelah menanyakan kepada Sesil berapa jumlah yang diinginkan. Tepat ketika ia berbalik dan akan mengikuti wanita muda menuju ke meja besar di sudut ruangan, ia nyaris menabrak seseorang yang tiba-tiba muncul di sampingnya.
"M-maaf." Sesil mendongakkan wajahnya menyadari tubuh seseorang itu yang menjulang tinggi di sampingnya, dan terkejut menemukan wajah familiar tersebut. "Dirga?"
***
Sunday, 28 February 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top