Part 11

After the Story

Saga Sesil

###

Part 11

###

Selalu, selalu, dan selalu. Tangisan Sesil dalam sekejap meredam semua kemarahan terpendamnya meski tak mampu melenyapkannya. Tak hanya tangis wanita itu saja. Permohonan, penyerahan, dan semua tentang Sesil selalu melemahkannya. Membuatnya tak berdaya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.

Semua fakta itu membuatnya merasa tak aman, keresahan yang sejak tadi siang mengganggu pikirannya, kini semakin mengganggu. Seolah Sesil masih belum ia miliki dengan seutuhnya.

Ah, jika diingat, wanita itu kembali juga karena Kei. Dan ia tak pernah tahu, apakah Sesil mencintainya juga karena Kei. Seumur hidup, Saga belum pernah merasa begitu tak aman seperti ini.

"Apa kau masih marah padaku?" Suara isak tangis Sesil teredam dada Saga.

"Kau harus memahaminya, Sesil. Suami mana yang tidak marah melihat istrinya ..."

"Aku tahu. Maafkan aku."

Saga mendengus. "Begitukah?"

Sesil diam sesaat, mengangguk lalu menggeleng.

Dengan gemas, Saga menahan diri untuk tidak membalas pelukan Sesil. "Kau selalu diragukan olehnya."

Kali ini Sesil menggeleng dengan penuh keyakinan. Wajahnya terangkat, menemukan wajah Saga yang sedikit tertunduk membalas tatapannya. "Tapi aku tak pernah ragu mengaku mencintaimu."

Tangan Saga terangkat, menghapus air mata Sesil di pipi dengan ujung ibu jarinya. "Sebaiknya begitu."

Sesil berjinjit, mengecup bibir Saga. Pria itu tak membalasnya, membuat Sesil berjinjit lagi dan Saga masih tak membalas kecupannya. Tak menyerah, ia mencoba lagi dan lagi hingga pada akhirnya Saga mengerang pelan dan menyerah. Mengangkat pinggang Sesil untuk melingkarkan kedua kaki wanita itu di pinggangnya.

"Aku ingin lebih," bisik Sesil menggoda tanpa melepaskan bibir mereka yang saling menempel.

"Kau yakin?" Saga tak butuh jawaban. Hasrat wanita itu sama menggebunya dengan dirinya. Pertanyaannya hanyalah formalitas. Ia berjalan ke tempat tidur, membaringkan tubuh Sesil di kasur dan setengah menindihnya. Tangannya mulai bergerilya mencari kulit telanjang Sesil. Sesil pun melakukan hal yang sama. Tak butuh waktu lebih lama untuk saling tersesat satu sama lain. Melampiaskan kerinduan yang rasanya sudah bertahun-tahun mengerak.

***

"Kakk ..."

"Tolong aku, Kak."

"Aku menyayangi kalian berdua."

"Aku tak akan meninggalkan kalian berdua, Kak."

Suara rintih kesakitan yang bergema di kepalanya, lagi-lagi membangunkan Saga. Matanya menyalang menatap langit-langit di atasnya. Ia bisa merasakan keringat yang mengaliri kening dan pelipisnya. Napasnya terengah, seperti habis lari berkilo-kilo meter.

Sementara ia menormalkan degup jantungnya yang masih bertalu, ia berusaha mengingat mimpi yang datang menjenguk. Darah, tangan yang menggapai kearahnya, dan meski ia tak bisa melihat siapa sosok yang tengah berbaring meminta tolong padanya. Saga mengenali sosok mungil dan tak berdaya itu adalah milik Rega dari suara rintih kesakitannya.

Adik perempuannya itu masih meminta tolong. Entah untuk apa. Menciptakan ribuan tanya yang masih menggantung tanpa jawaban. Ya, kematian adiknya memang ia simpan rapat-rapat dari Dirga. Hanya beberapa orang terdekat yang mengetahui kematian Rega. Bahkan ia sengaja menyebar gosip bahwa adik perempuannya itu tengah berada di luar negeri dan tak ada orang yang cukup bodoh untuk menunjukkan gosip mencurigakan tersebut. Walaupun ia yakin banyak orang yang diam-diam mengetahui kematian Rega dan memilih bungkam.

Saga menarik napas panjang, sejak terbangun oleh mimpi buruknya tubuhnya sama sekali tak bergerak. Itu karena beban yang menimpa lengan kirinya. Kepalanya sedikit tertunduk, menemukan wajah Sesil yang bergelung di dadanya dengan kepala berbantal lengannya. Lengan wanita itu melingkari perutnya, juga kaki yang merambati kakinya. Tubuh mereka saling menempel di bawah selimut yang tebal. Antara kulit dan kulit. Setelah aktifitas panas mereka sebelum tertidur.

Satu kecupan ia hadiahkan di ujung kepala Sesil, seulas senyum tersimpul ketika tangannya bergerak menyentuh bibir istrinya. Lembut dan manis. Seperti candu.

Sesilnya. Istrinya. Miliknya.

Ancama apa pun yang sedang mengintainya, tak akan ia biarkan melonggarkan sedikit pun genggamannya di hidup Sesil. Termasuk Dirga.

Setelah lama merasa cukup puas menikmati kecantikan wajah wanita itu terlelap, Saga bergerak turun dari tempat tidur. Sesaat Sesil bergerak tak nyaman karena posisi nyamannya terganggu, tapi kemudian wanita itu bergerak mencari posisi nyaman lainnya dan kembali terlelap. Sepertinya ia benar-benar membuat wanita itu kelelahan.

Memakai celana karet dan menyelimuti tubuh telanjang Sesil hingga ke pundak, lalu berjalan ke ruang ganti untuk mengambil kaos polosnya. Melangkah tanpa suara keluar kamar. Menuju ruang kerjanya untuk menyendiri.

Tak mungkin ia pergi ke atap hotel dengan Dirga yang ada di rumah ini.

***

Jimi adalah kaki tangan kepercayaan Dirga. Saga sudah memastikan bahwa saat ini, kendali perusahaan dengan kursi kepemimpinan yang kosong itu berada di bawah kendali Jimi. Saga pun tak punya niat ikut campur urusan pribadi sialan Dirga. Sayangnya, Dirga membawa masalah ini masuk ke kehidupannya lewat Sesil. Yang menjadi masalah tak terhindarkan.

Dan lagi-lagi Saga menjadi begitu kesal, ketika turun ke lantai satu dan melihat Sesil yang ia kira ada di kamar Kei untuk membantu putra mereka seperti biasanya, ternyata sudah ada di lantai satu.

"Apa yang kaulakukan di sini?" sergah Saga pada Sesil yang berdiri di depan pintu kamar tamu. Kecemasan di raut Sesil bertumpang tindih dengan keterkejutan wanita itu yang menyadari kedatangannya.

"Apa dokter Juan masih memeriksanya? Kenapa dia begitu lama di dalam, Saga?"

Mata Saga menyipit tak suka. Baru kemarin Sesil berjanji memenuhi semua syarat-syaratnya agar keberadaan Dirga di rumah ini tetap dirahasiakan, dan wanita itu sudah melupakannya. Bahkan setelah semalam mereka melakukan percintaan yang panas dan bergairah, wanita itu masih saja menguji kesabarannya.

"Jangan menampakkan kekhawatiranmu dengan berlebihan seperti ini, Sesil. Aku tak ingin membuat diriku salah paham terhadapmu. Kau hanya pernah mencintainya, ingat?"

Wajah Sesil memucat. Menyadari kemarahan yang ditahan oleh Saga tak pernah tidak serius. Wanita itu mendekati Saga. Menyentuh lengan Saga, berharap hal itu bisa meredakan amarah terpendam pria itu yang tampaknya kembali mengambang ke permukaan.

Saga menekan gerahamnya, menahan diri akan sentuhan Sesil yang tahu pasti akan membuatnya luluh.

Sesil mengangguk, lalu segera mengalihkan pembicaraan. "Apa kau akan pergi ke kantor?"

"Tidak. Aku hanya akan keluar ke kasino nanti malam. Itu pun tidak akan lama. Kenapa?"

Sesil menggeleng. "Aku hanya bertanya."

"Untuk memastikan kau punya cukup banyak waktu memikirkan dia?" Saga melepaskan tangan Sesil dari lengannya.

Sesil menggeleng setelah sejenak meragu.

Saga mendengus. Berjalan melewati Sesil dan wanita itu pun mengekor di belakangnya. Wanita itu benar-benar sangat menyadari pengaruh teramat besar yang sudah begitu mengakar dalam dirinya. Wanita itu berhasil meraih lengannya dan bahkan menempelkan sisi wajahnya di sana dengan pandangan ke wajahnya.

"Aku ingin makan omelet."

Saga tak menjawab.

"Mungkin aku tak akan memuntahkannya jika kau yang menyuapiku."

Saga masih bergeming. Menahan diri menampakkan keberhasilan jitu rayuan Sesil. Yang selalu tepat pada sasaran.

Oh, Sesil. Wanita itu sadar betul akan kuasa terhadap jiwa dan raganya.

***

Saturday, 1 May 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top