Part 1

After the Story

Saga & Sesil

###

Part 1

###

Lagi kangen bet ama mereka, dan entah kenapa mendadak nulis ini. Jangan ngarep cepet up, ya. Deretan story yang ngantri di note Author banyakkkkkkkk.

###

Darah itu merembes membasahi lantai. Mengalir di bawah telapak kakinya. Biasanya ia tahan dengan segala macam rasa sakit, tapi ketika darah itu seakan menusuk-nusuk kulit di bawah kakinya, siksaannya terasa tak tertahankan. Darah itu seakan meresap di antara sela-sela kulitnya. Mengalir bersama aliran darahnya menuju jantung. Di sanalah puncak siksaan yang dibawanya. Ia tak bisa bernapas. Ia butuh udara.

"Kaakkkk ..."

Saga menoleh. Di antara kegelapan, suara kesakitan seorang gadis yang tak kalah menyesakkannya semakin jelas. Dengan tubuhnya yang kurus dan rambut gelapnya yang lurus menutupi sebagian wajahnya. Berbaring di antara genangan darah. Matanya biru dan gelap, tampak sendu dan basah. Menahan kesakitan yang teramat.

"Tolong aku, Kak."

Tangan Rega terangkat. Mencoba meraih ke arahnya. Tapi Saga tak bisa menggerakkan tubuhnya yang kaku. Sekuat apa pun ia memiliki keinginan untuk meraih tangan dan tubuh tak berdaya itu ke dalam pelukannya, tubuhnya membeku. Ia berteriak sekuat tenaga, hingga tenggorokannya sakit, tapi tak ada suara apa pun yang terdengar. Telinganya dipenuhi rintihan-rintihan Rega yang menusuk-nusuk gendang telinganya.

Ia tak sanggup menahan siksaan ini lebih lama. Berharap ia saja yang meregang nyawa di bawah sana.

"Saga? Saga!!" Sesil menyingkap selimutnya dan menggoyang tubuh Saga dari samping. Pria itu masih merengek, mengerang kesakitan hingga keringat memenuhi seluruh wajah dan tubuh.

Saga tersentak bangun dan melompat terduduk. Napasnya terengah dan matanya mengerjap beberapa kali. Menatap sekeliling dan kebingungan sebelum kemudian tersadar bahwa semua yang ia lihat hanyalah mimpi buruk.

Sesil mengambil gelas berisi air putih yang ada di nakas dan menyodorkannya pada Saga. "Kau bermimpi buruk?"

Saga tak menjawab. Ia meneguk air putih tersebut hingga tandas dalam sekali tegukan. Lalu meletakkanya kembali di nakas dan menyingkap selimutnya. "Tidurlah lagi," ucapnya sambil turun dari ranjang. Lalu melangkah ke kamar mandi.

Saga membasuh wajahnya dengan air dingin. Menatap kosong ke cermin besar di hadapannya. Memutar kembali mimpi yang baru saja ia dapatkan.

Ia dan Dirga sudah berdamai, meski tidak secara lisan. Hatinya sudah melepaskan pria itu dari kesumat tahunan yang sudah mendarah daging. Lalu kenapa mimpi itu masih menghantuinya?

Meminta tolong? Kenapa Rega meminta tolong? Rega bunuh diri karena dirinya yang tak bisa melupakan dendam keluarga mereka dan membuat gadis itu harus kehilangan cinta pertama. Berharap pengorbanan Rega mampu meluluhkan hatinya dan melupakan kesumat keluarga yang mengabadi dan turun temurun.

"Kau baik-baik saja?" Sesil muncul dari balik pintu.

"Ya." Saga meraih handuk dan mengusap seluruh wajahnya.

Sesil berdiri di samping Saga, menyandarkan pinggangnya di pinggiran wastafel menghadap Saga. "Aku tak pernah melihatmu bermimpi buruk sebelumnya," gumam Sesil dengan hati-hati.

Saga menghindari tatapan mata Sesil. Mimpi itu tak pernah datang saat Sesil ada di ranjangnya. Keberadaan Sesil kerap kali merebut perhatiannya lebih besar dan semakin besar, sehingga ia mulai melupakan kepahitan masa lalu. Ditambah dengan kerelaan Dirga melepaskan wanita itu untuk dirinya, seharusnya semua menjadi semakin baik-baik saja, kan?

Namun, setelah Sesil yang hampir meregang nyawa di rumah sakit, mimpi itu datang semakin intens. Menghantuinya kembali, memberinya kadar ketakutan yang semakin hari semakin bertambah.

Sebelumnya, ia tak pernah mengenal kata takut, tidak sebelum Sesil datang ke dunianya dan membuatnya selalu dipenuhi ketakutan akan kehilangan Sesil.

"Mungkin aku terlalu lelah," jawab Saga sambil meraih tubuh Sesil dan merangkulnya erat-erat. Satu-satunya tempat bersandar yang ia miliki.

"Aku masih mengantuk," gumam Sesil lirih sambil menguap.

"Kauingin tidur lagi?"

Sesil mengangguk. Membiarkan Saga menggendongnya dan membaringkan di tempat tidur.

Saga membiarkan Sesil tidur di dadanya dan menarik selimut hingga menutupi bahu. Matanya masih terbuka ketika merasakan napas Sesil yang mulai teratur. Memastikan istrinya telah terlelap, dengan gerakan sehati-hati dan sepelan mungkin, Saga mengurai pelukannya. Turun dari ranjang dan berjalan ke ruang ganti.

***

"Saga?" Max muncul dan terheran menemukan Saga keluar dari lobi hotelnya. Sejak Sesil berhasil menaklukkan pria itu, sekali pun Max tak pernah menjumpai pemandangan Saga keluar dari sebuah hotel. Sepagi ini. Meski pagi ini minus dengan wanita dengan pakaian kurang bahan. "Bertengkar dengan istrimu?" tanyanya setengah bercanda.

Tatapan Saga terlihat dingin, tapi ancaman yang tersirat di manik gelap itu sangat tajam. "Beruntung aku sedang tak berminat membunuh seseorang, Max."

"Hm, okey. Anggap saja aku tak tahu apa yang kubicarakan," cengir Max.

Saga melewati Max, melihat mobilnya sudah siap di halaman gedung.

"Dari kamar berapa dia?" tanya Max pada petugas hotel yang berjaga di balik meja resepsionis setelah melihat Saga naik ke dalam mobil dan meninggalkan gedungnya.

"Rooftop," jawab wanita muda itu. "Datang dua jam yang lalu."

Max mengerutkan kening dan mengangguk paham. Saga dan Dirga selalu berada di tempat yang berseberangan, tapi satu-satunya tempat mereka berdua pernah menginjakkan kaki di tempat yang sama hanyalah rooftop gedung hotel miliknya. Tempat nyawa gadis muda bernama Rega Ganuo melayang.

Max mendesah keras. Seingatnya, Rega Ganuo adalah gadis muda yang periang. Di balik kelemah-lembutan dan kerapuhannya, Rega adalah gadis yang kuat. Gadis itu tak berhenti menebarkan semangat.

Bukan hanya Dirga dan Saga yang terkejut dengan kematian Rega. Dirinyalah salah satu orang yang mengenal Rega yang tak pernah membayangkan gadis muda itu akan menjejakkan kaki pada pilihan pengecut seperti itu. Rega Ganuo bukanlah seseorang seperti itu. Darahnya yang mengalir di tubuh gadis muda itu sama dengan milik Saga dan Arga Ganuo. Yang tak akan mati semudah itu.

***

Sesil menggeliat dan membuka matanya. Sinar matahari pagi yang menghangatkan membangunkannya dengan cara paling lembut. Hanya saja, sambutan pagi harinya tak ada Saga di sampingnya. Kepala Sesil otomatis mengarah ke kamar mandi, tak ada suara ataupun gerakan yang menandakan bahwa Saga ada di sana.

Sesil turun dari ranjang, memeriksa ruang ganti. Mungkin Saga ada di ruang kerja, pikirnya sambil berjalan ke kamar mandi. Selesai mandi, Saga masih belum muncul. Ia pun berjalan ke kamar Kei. Melihat anaknya yang baru selesai mandi dan mulai sibuk mengeringkan rambut di depan cermin di lemari.

"Kau ingin Mama bantu?"

Kei menoleh, berpikir sejenak lalu mengangguk. "Kei belum menyiapkan sapu tangan."

Sesil mengangguk. Bergegas ke sudut ruangan tempat lemari setinggi pinggang dengan belasan laci yang tersusun. Ia pun mulai membuka laci teratas.

"Hijau?" tanya Sesil.

Kei menggeleng.

"Kuning?"

Kei menggeleng.

"Hitam?"

Kei menggeleng lagi.

"Ini tidak mudah terlihat kotor."

"Hari ini baju Kei berwarna biru muda, Ma." Kei selesai mengeringkan rambutnya kemudian menunjuk seragam yang sudah dikenakannya.

Sesil mengangguk-angguk paham. "Jadi kauingin membawa yang ..." Mata Sesil memindai laci yang disekat kecil-kecil berisi sapu tangan di setiap kotaknya. Mencari warna biru muda yang dimaksud putranya. Tapi ada tujuh macam warna biru yang ada di deretan paling atas bagian dalam. Sesil menoleh ke arah Kei yang sibuk mengancingkan baju seragam di depan lemari pakaian. "Ada banyak warna biru di sini."

"Biru muda."

Sesil menunduk, menatap laci di hadapannya sekali lagi karena merasa tak puas dengan jawaban Kei. "Ada tiga biru muda di sini. Bermotif garis melengkung dengan warna gelap, motif ..." Sesil mengerutkan kening ketika berpikir keras menamai gambar dengan segala bentuk yang tidak bisa ia ungkapkan. Sibuk dalam pikirannya, mendadak ia terkesiap ketika tangan kekar terjulur dari arah belakang tubuhnya. Meraih sapu tangan berwarna biru muda yang ada di tengah lalu menunjukkannya pada Kei.

Kei melihat sejenak dan langsung mengangguk.

"Fashionmu benar-benar kacau, Sesil," decak Saga sambil melangkah melewati Sesil dan mendekati Kei.

"Pilihan di sini terlalu banyak." Sesil beralasan. Lagi pula, tidak seharusnya naak berusia empat tahu memiliki pakaian selengkap dan seberagam ini seperti orang dewasa.

"Ya, aku punya banyak uang untuk menuruti hobinya." Saga mengangkat bahunya lalu membungkuk sedikit untuk memasukkan sapu tangan tersebut ke saku celana Kei. Entah apa yang membuat anak laki-lakinya itu begitu menyukai sapu tangan. Mungkin karena ia juga punya koleksi sapu tangan yang selalu ia gunakan untuk menyeka sesuatu di bibir Kei? Atau ketika anak itu menangis ketika teringat mamanya? Saga rasa kedua-duanya.

"Terima kasih, Pa."

"Kau tidak ingin membawa dua?" tawar Sesil kemudian, dengan salah tingkah. Meski ia sering mendapatkan ucapan terima kasih dari Kei, tapi ekspresi ketika anak itu mengucapkan tidak seperti yang terpasang untuk Saga.

"Kau akan membuat kantong celananya menonjol," sahut Saga.

"Hm, okey." Sesil berbalik, menggigit bibir bagian dalam dengan kecewa yang merayapi dadanya. Menata ekspresinya senormal mungkin sambil mendorong laci khusus sapu tangan tersebut dan berbalik menghadap suami dan anaknya dengan memaksa satu senyuman untuk mereka. Tapi suami dan putranya sudah berdiri di depan meja belajar dan sibuk membicarakan tentang jadwal kelas Kei, seolah dirinya tak ada.

"Kalau begitu mama akan menyiapkan sarapan di bawah," gumam Sesil lirih. Karena tahu kalimatnya juga tak akan didengar oleh Saga ataupun Kei. Ia berjalan keluar, menutup pintu dengan pelan dan bersikap seolah memang dirinya juga tak ada di sana.

Empat tahun berpisah dengan Kei, Saga benar-benar merawat putranya dengan baik. Menjadi figur seorang ayah sekaligus ibu yang baik untuk anak mereka. Seharusnya ia senang akan hal itu. Kei tak kehilangan kasih sayang seorang ibu meski ia pernah menukar anak itu dengan kebebasannya. Tetapi kenapa sekarang ia merasa kecewa? Pada dirinya sendiri?

***

Thursday, 4 February 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top