32. Menyesal

Sepanjang sisa hari, Sesil sama sekali tidak keluar dari kamar. Berbaring di tempat tidur dan hanya bangun untuk memakan makanan yang terasa hambar di lidahnya. Bayangan masa depannya yang tanpa Saga membuat seluruh tenaganya raib entah ke mana.

Malamnya, pria itu tidak tidur di kamar. Dan Sesil tak peduli. Menekan rasa membutuhkan yang meronta di dalam hatinya. Memaksa matanya terpejam meski sulit. Ia ingin memeluk Saga. Entah karena ia mencintai pria itu atau memang hormon kehamilan yang membuat keinginan itu sulit ditahan. Lelah memikirkan semua itu, pada akhirnya Sesil tertidur.

Keesokan pagi, Sesil terbangun lebih pagi dari biasanya. Rasa kosong dan hatinya yang patah menyambut harinya dengan muram. Memaksa kedua kakinya turun dan melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Menghabiskan waktu di dalam kamar pun ternyata lebih membosankan.

Saat ia keluar dari kamar dan hendak ke kamar Kei, ia melihat Saga yang baru keluar dari ruang kerja. Pandangan mereka bertemu sesaat dan Saga memutus kontak lebih dulu yang membuat Sesil bergegas masuk ke dalam kamar Kei.

Hatinya terasa berdenyut. Bersandar di balik pintu sambil meremas dadanya. Menggigit bibirnya demi menahan isak tangis yang hendak tumpah.

"Mama?" Suara Kei membuat Sesil menoleh. Bergegas mengerjapkan mata mengurai air mata yang hendak terjatuh.

"Kei sudah bangun?" senyum Sesil menghampiri sang putra dan duduk di sisi tempat tidur.

Kei tersenyum. "Kei senang melihat mama."

Senyum Sesil semakin mengembang. Mengelus rambut di kepala Kei dengan lembut. "Apa Kei ingin melihat mama setiap bangun tidur?"

Kei mengangguk. "Tapi papa bilang, Kei tidak boleh merepotkan orang lain dan harus mandiri."

Sesil manggut-manggut. "Sesekali menjadi manja tidak apa-apa. Mama akan membangunkan Kei setiap pagi. Juga ..." Sesil menundukkan wajahnya dan mendaratkan kecupan di pipi kanan, kiri, dan kening sang putra. "Melakukan ini."

Senyum di wajah Kei semakin cerah, bocah itu tergelak saking senangnya.

"Sekarang waktunya ke kamar mandi, lalu ke bawah." Sesil membawa sang putra turun dari tempat tidur dan mengantarnya hingga ke pintu kamar mandi. Lalu berjalan ke lemari pakaian. Mengambil setelan pakaian santai yang berada paling atas dan menyiapkannya di meja. Sambil menunggu Kei selesai mandi, ia membersihkan tempat tidur sang putra.

***

Meja makan sudah dipenuhi menu sarapan ketika Sesil dan Kei turun. Keduanya mengambil tempat masing-masing dan Saga tidak turun hingga mereka selesai makan.

"Papa tidak makan?"

"Ya, papa sedang di ruang kerjanya." Setidaknya itu yang Sesil lihat sebelum masuk ke kamar sang putra.

Kei manggut-manggut.

"Apakah Kei ada kelas?"

Kei mengangguk. "Papa bilang hari ini pelatih renang Kei akan datang."

Sesil mengangguk-angguk pelan, menyeka sisa air di ujung bibir sang putra. Melihat senyum Kei, sejenak melupakan semua kesedihan yang memenuhi dadanya.

***

Senyum tak memudar dari bibir Sesil yang tengah duduk di kursi di pinggir kolam. Pandangannya tak lepas dari Kei yang sedang berada di kolam renang bersama pelatih.

"Kalian masih bertengkar?"

Sesil menyadari Dirga yang tiba-tiba muncul di sampingnya. "Kau tahu?"

"Ya, Saga mengamuk begitu sampai di rumah. Tak ada siapa pun yang tidak tahu di rumah ini, Sesil. Dia seperti orang gila"

Sesil hanya memberikan ringisan tipis. "Dia memang berlebihan."

"Tidak keterlaluan, Sesil. Dia melakukan apa yang harus dilakukan. Aku pun akan mengamuk jika kau melakukan hal semacam itu di belakangku. Dan ... aku mengajarimu menyetir bukan untuk hal semacam ini."

Mata Sesil menyipit, menatap Dirga semakin lekar. "Tak biasanya kau membela Saga."

"Ini demi kebaikanmu, Sesil."

Wajah Sesil seketika membeku. "Kata-katamu nyaris persis seperti yang dikatakan oleh Saga. Demi kebaikan. Demi keamanan."

Dirga seketika menangkap kekesalan dalam suara Sesil. "Kau memahami situasi kami, kan? Setelah apa yang terjadi padaku, aku memahami bagaimana kekhawatiran pria itu, Sesil. Dan ini tidak berlebihan."

"Ya, aku bahkan kehilangan kata-kata untuk semua situasi ini."

Hening cukup lama.

"Maafkan aku, Sesil. Permusuhanku dan Sagalah yang membawa dan menjebakmu dalam situasi ini."

Sesil hanya menghela napas. "Aku tak menyesali apa pun, Dirga. Hanya saja ... aku merasa ... Saga menyerah untuk kami."

Kedua alis Dirga menyatu.

"Dia akan mengirimku dan Kei. Bahkan membuatkan identitas baru untuk kami. Membuat kami lenyap dari hidupnya. Itu jelas bukan solusi terbaik untukku meski terbaik baginya."

Dirga terdiam. Mengingat ancaman halus Gio, tentu saja ia pun akan memiliki kekhawatiran yang sama besar seperti yang dirasakan oleh Saga. Dan tak menutup kemungkinan akan melakukan hal yang sama. Hanya saja, melihat kekecewaan di wajah Sesil, ia tak ingin membuat wanita itu semakin kesal.

"Apakah dengan seperti itu dia akan baik-baik saja? Apakah dia pikir aku dan Kei juga akan baik-baik saja tanpanya? Aku bahkan tak bisa membayangkan kehidupan macam apa yang akan kami jalani. Semua ... aku menyadari apakah aku terlalu membutuhkannya? Terkadang aku merasa perasaanku juga terlalu berlebihan."

"Apakah aku menjadi beban untuknya? Apakah dia mulai muak denganku? Apakah ... " Sesil berhenti. Mendesah pelan dengan gelombang emosi yang datang berhamburan memenuhi dadanya. "Aku tak tahu, Dirga. Semua membuatku kebingungan."

Dirga hanya terdiam mendengarkan tumpahan perasaan Sesil yang membuat kecemburuan menyeruak di dadanya. Semua kata-kata wanita itu hanya menunjukkan betapa dalam dan kuatnya cinta Sesil untuk Saga.

Tanpa Saga, ia tahu benar apa yang terjadi dengan Sesil. Waktu terus berlalu dan Sesil hanya akan terdiam di tempat. Itu yang terjadi ketika Sesil kembali ke pelukannya selama tiga tahun. Apalagi sekarang ketika Sesil menyadari perasaan yang dirasakan oleh wanita itu adalah cinta. Cinta yang pernah ia miliki.

Dirga menatap sisi wajah Sesil yang melihat ke arah kolam renang. "Kau tahu, bahkan Kei tahu papanya akan menemukan kami. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Kei jika tahu papanya tak akan pernah kembali."

"Dia berjanji pada Kei akan memberikannya keluarga yang utuh dan sekarang ia mengingkarinya. Kenapa dia harus membuat janji jika tidak bisa ditepati? Apalagi pada anak kecil yang ..."

Tangan Dirga terulur, menggenggam salah satu tangan Sesil yang berada di atas pangkuan wanita itu.

Sesil tersentak pelan, tetapi ia tak menolak. Sejak kemarin ia merasa begitu tak aman dan tak berhenti merasa gelisah. Tak berdaya dan hampa. Ia membutuhkan Saga tapi ia tahu Saga kali ini tak akan memberikan apa yang diinginkannya dari pria itu. Dan genggaman tangan Dirga seolah memberinya kekuatan, setidaknya untuk bertahan tetap berdiri di tempatnya.

"Semuanya akan baik-baik saja, Sesil," gumam Dirga.

Sesil berharap, tetapi ia tak yakin. Dengan seulas senyum tipisnya, ia berkata dengan tulus, "Terima kasih, Dirga."

Dirga memberikan senyum yang lebih lebar. Menatap ujung mata Sesil yang dihiasi setetes air mata, tangannya pun terulur dan menyekanya dengan lembut. "Kau selalu bisa membutuhkanku, Sesil."

Sesil mengangguk, kali ini senyumnya lebih lebar. "Sepertinya sudah sejak lama kita tak pernah bicara seperti ini, ya?"

"Hmm, kau benar."

Obrolan pun mulai mengalir. Sesekali Sesil bercerita dan Dirga tertawa atau Dirga yang bercerita dan Sesil tertawa. Bahkan keduanya juga sama-sama tertawa.

Sementara di balkon kamar lantai dua, Saga hanya berdiri menatap keduanya yang duduk bersama. Menatap tangan keduanya yang tanpa sadar masih saling terpaut. Kecemburuan memenuhi dadanya, bergemuruh layaknya badai di tengah lautan. Tetapi permukaan wajahnya terlalu tenang. Tak ada emosi apa pun yang tertampil.

Ada dorongan yang teramat besar untuk turun ke bawah dan menghampiri keduanya. Menghancurkan senyum di wajah Dirga dan menyeret wanita itu ke dalam kamar untuk memberi hukuman karena telah berani membiarkan pria lain menyentuh miliknya. Tetapi ia berusaha sangat keras menekan keinginan tersebut dalam-dalam.

Tak tahan melihat pemandangan tersebut, Saga berbalik dan berjalan masuk. Kembali masuk ke ruang kerjanya untuk mengurus beberapa hal.

***

"Mama sakit?" Pertanyaan Kei membuat Sesil tersentak pelan menatap sang putra yang baru saja keluar dari bilik shower dengan handuk kecil yang menyelimuti tubuh mungilnya.

Sesil menggeleng dengan seulas senyum tipis. "Tidak, sayang. Mama ... mama hanya memikirkan sesuatu."

"Sesuatu yang buruk?"

"Hmm ..." Kening Sesil berkerut. "Sedikit. Tapi ... sekarang sudah baik-baik saja karena melihat wajah Kei."

Senyum Kei semakin cerah. Melangkah lebih dekat dan menggenggam kedua tangan Sesil dengan kedua tangannya yang mungil. "Papa bilang, Kei harus bisa menjaga mama jika papa tidak ada. Jadi Kei akan selalu bersama mama."

Keterkejutan melintasi wajahnya ketika mencerna kata-kata Kei. Kemudian ia berjongkok dan merangkum wajah sang putra. "Apa maksud Kei?"

"Kei sayang mama. Kei seorang jagoan, jadi harus selalu bisa menjaga mama."

Sesil memaksa seulas senyumm untuk sang putra. Ia senang, tetapi hatinya teriris. "Apakah papa mengatakan seperti itu?"

Kei mengangguk. Kemudian melingkarkan kedua lengan mungilnya di leher Sesil. "Kei akan ikut ke mana pun mama pergi."

Hati Sesil kembali berdenyut. Sekaligus marah. Jadi Saga tak main-main akan mengirim mereka? Air mata jatuh menetes di pipinya. Dadanya terasa sesak dan kesulitan bernapas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top