31. Dijemput

"Mama, kita mau ke mana?"

Sesil yang tengah melamun terkesiap pelan mendengarkan pertanyaan Kei. Kepalanya berputar dan menatap wajah putranya dalam diam. Lalu menghela napas panjang dan bertanya, "Kei lelah?"

Kei tak mengangguk, juga tak menggeleng,

Sesil merangkum wajah sang putra dan mengelusnya dengan lembut. Mata putranya tampak sayu. Sudah lebih dari satu jam keduanya naik taksi tanpa arah dan tujuan. "Kei mengantuk?"

Kei menggeleng.

"Kalau begitu kita akan istirahat dulu." Sesil menyuruh sopir membawa mereka ke hotel terdekat. Dalam perjalanan, Sesil singgah sebentar untuk membeli pakaian ganti Kei. Ya, mereka berdua jelas tak membawa apa pun ketika menyelinap keluar. Tetapi beruntung ia membawa uang cash yang cukup banyak dari lemari penyimpanan Saga untuk membayar tagihan taksi yang membengkak.

"Kenapa Kei hanya diam saja? Apakah Kei tidak suka pergi dengan mama sendiri?"

Kei menggeleng.

Mendadak Sesil bertanya, apakah bocah ini tahu kalau diajak melarikan diri? "Kei rindu papa?"

Kei mengangguk. "Tapi papa akan segera datang."

Kening Sesil berkerut.

"Papa akan menemukan kita."

Sesil terdiam. Keyakinan yang polos di mata Kei membuat mulutnya terkatup rapat. "Apa kau ingin papa datang?"

Kei tampak kebingungan saat akan menjawab pertanyaan tersebut. Sesil memahami kebimbangan tersebut. Hidup Kei sejak kecil terikat dengan sosok Saga. Meski tanpa dirinya, Saga memastikan Kei tak kekurangan kasih sayang dari kedua orang tua. Bahkan Saga menyembunyikan fakta bahwa ialah yang pergi dari hidup mereka berdua.

"Atau Kei ingin tinggal bersama papa?" Sekali lagi Sesil bertanya meski tahu itu akan menyakiti perasaan Kei. Terlebih dirinya.

Kei menggeleng. Memeluk Sesil dengan kedua lengannya. "Kei ingin menemani mama sampai papa datang. Papa berjanji tidak akan membuat kita bertiga berpisah lagi. Kita akan selalu bersama. Juga adik kecil."

Sesil memaksa sebuah senyuman di bibirnya. Tak tahu harus merasa senang atau sedih dengan kata-kata putranya. Sekaligus miris akan keyakinan Kei terhadap Saga. Saga jelas akan mengirim mereka ke luar negeri. Ia hanya mempercepatnya saja. Atau setidaknya jika Saga punya alasan yang kuat untuk melakukan hal itu, pria itu bisa bicara dengannya lebih dulu. Bukankah ini pernikahan mereka berdua? Bukan pernikahan pria itu sendiri.

Sesil menarik tubuh Kei dan memeluknya dalam-dalam. Mengerjapkan matanya berkali-kali demi mengurai kaca yang mulai membentuk di kedua matanya.

"Kenapa mama pergi?" Pertanyaan Kei sekali lagi membuat Sesil sesak. "Apa mama dan papa bertengkar lagi?"

Sesil menggeleng. "Tidak, sayang. Mama ... mama hanya sedang kesal dan bosan di dalam rumah."

"Benarkah?"

Sesil mengangguk. "Hmm, tentu saja."

"Kei juga bosan. Tidak bisa bertemu teman Kei di sekolah."

Sesil menghela napas dalam hati. Setidaknya ia dan Kei kali ini sependapat. Saga tak bisa menentukan kebebasan mereka dengan tanpa penjelasan seperti ini.

Tapi ... Sesil pun menyadari musuh pria itu yang mungkin mengincar dirinya atau Kei. Kepala Sesil terasa pusing. Dengan saling mencintai dalam pernikahan mereka, nyatanya masih tak cukup membuat hidup mereka tenang.

Taksi berhenti di depan teras gedung berlantai lima. Bukan hotel mewah, tapi lebih dari cukup bagi mereka berdua untuk bermalam. Mereka mendapatkan kamar yang cukup bagus.

"Kei ingin ganti baju dulu?"

Kei mengangguk. Mendekati sang mama yang membuka kantong belanjaan berisi pakaiannya. Kemudian membawa pakaian gantinya ke kamar mandi.

Sesil terduduk di kursi. Kepalanya benar-benar pusing, entah ke mana mereka akan pergi. Ia yakin dengan pasti pelariannya hanyalah sementara. Cepat atau lambat, Saga akan menemukan mereka. Hanya untuk kembali dikirim ke rencana awal pria itu.

***

Esok paginya, suara ketukan dari pintu membangunkan Sesil yang tidurnya yang tak terlalu lelap. Tersentak kaget ketika menyadari di mana dirinya dan segera menoleh ke samping. Mendesah lega menemukan Kei yang masih terlelap berbaring di sampingnya.

Sekali lagi suara ketukan memenuhi kamar tidur, Sesil menoleh ke arah pintu. Tubuhnya seketika menegang ketika ketukannya semakin membabi buta dan gagang pintunya digerakkan dengan paksa.

Sesil menurunkan kedua kakinya. Hanya menatap pintu di seberang ruangan dengan napas tertahan. Tentu saja ia tahu siapa yang ada di balik pintu itu.

Ketukan itu akhirnya berhenti, hanya untuk sejenak. Ketika kemudian kunci dimasukkan ke lubangnya dan pintu didorong membuka. Wajah Saga mengeras dan merah padam. Menatap Sesil dan Kei yang tengah berbaring di tempat tidur dengan kedua mata yang masih terpejam.

"Apa yang membuatmu berpikir bisa melarikan diri dariku, Sesil?" desis Saga tajam. Ada dengusan geli dalam suaranya ketika Sesil bergerak memeluk Kei erat-erat seolah takut ia akan merebut putranya sendiri dari pelukan ibunya.

"Aku tak mau pergi, Saga," desis Sesil tak kalah tajamnya. "Kau pikir aku tak tahu ke mana kau akan mengirim kami?"

Kening Saga berkerut, tampak berpikir sejenak kemudian matanye menyipit tajam. "Kau mendengar pembicaraanku?"

Sesil tahu Saga tak butuh jawaban darinya. "Kau bahkan akan melenyapkan kami dan mengubah identitas kami, kan?

Saga menghela napas panjang dan berat. Inilah sebabnya ia benci melepas CCTV di area dalam rumah. Lupa kalau istrinya akan selalu punya pendapatnya sendiri. "Aku memiliki alasan untuk melakukannya."

"Kau selalu punya alasannya, Saga."

"Kita akan membicarakannya di rumah."

"Atau kau hanya menunda rencana itu?" sengit Sesil. Dan kali ini ia tahu tebakannya benar, Saga tak mengatakan apa pun."

Hening sejenak

"Kita pulang sekarang." Suara Saga setengah membujuk.

"Hanya dengan satu syarat."

Saga kembali membisu. Ia tahu syarat yang diberikan Sesil tak akan mudah. Bahkan tak mudah masih lebih baik jika dibandingkan dengan tak masuk akal. "Kau tak tahu seberapa besar bahaya yang mengintaimu dan Kei, Sesil."

"Setidaknya tak akan lebih buruk dari ingatanku yang hilang dan terbangun sebagai tunangan dari musuh kekasihku, kan?"

Kata-kata Sesil berhasil menohok hati Saga. Mulut pria itu membuka, tapi kembali terkatup.

"Atau apa mereka akan mengincar nyawaku?"

Saga terdiam.

Sesil menyadari keseriusan ancaman tersebut dari kedua mata Saga yang dingin.

Keduanya saling berpandangan untuk detik yang lama. Hingga tubuh Kei yang berada dalam pelukan Sesil menggeliat pelan. Kedua mata bocah itu bergerak membuka dan bangun terduduk. Mengucek kedua mata dengan tangannya yang kecil, sebelum kemudian menyadari sosok lain yang berdiri di ambang pintu.

"Papa sudah datang." Kei membebaskan diri dari pelukan Sesil. Turun dari tempat tidur dan berlari menghampiri Saga dengan kedua lengan yang dilebarkan. Dan Saga menangkap tubuh mungil sang putra lalu menggendongnya. Tak lupa mendaratkan kecupan di pipi kanan dan kiri dengan tatapan yang tak lepas dari kedua mata Sesil. Ada seringai yang tersungging di ujung bibirnya.

"Ya, papa pasti datang," ucap Saga. Seringai di wajahnya lenyap ketika menatap wajah polos sang putra. "Kita pulang sekarang?"

Kei mengangguk. "Bersama mama."

"Ya, tentu saja. Bersama mama." Saga menatap Sesil yang bergeming di pinggiran tempat tidur. Tangannya terulur ke arah Sesil.

Sesil masih bergeming, cukup lama. Tetapi ketika menatap wajah penuh harap Kei, ia pun melangkah maju. Menerima uluran tangan Saga.

***

Begitu sampai di teras gedung, Sesil baru menyadari kesunyian di seluruh lobi. Yang berbanding terbalik dengan lalu lalang para tamu hotel ketika ia dan Kei datang kemarin.

Satu-satunya yang bisa ia lihat dari kesunyian itu adalah pengawal Saga yang menyebar ke area gedung ini.

Mobil yang pintunya sudah dibuka menunggu mereka di depan hotel. Sesil masuk lebih dulu dan menyusul Saga yang mendudukkan Kei di pangkuannya.

Sepanjang perjalanan, hanya celoteh Kei yang terdengar sedangkan Sesil berpura tertidur.

Ia bisa mendengar bocah itu yang tak berhenti bicara. Tidak seperti biasanya. Seolah sedang berbahagia karena Saga telah datang. Bahkan dengan Kei yang menuruti semua keinginannya, tetap saa anak itu yakin Saga akan datang. Sejak awal pelariannya memang tak ada guna. Dan seharusnya ia pun tak berharap banyak.

Sesil sendiri tak tahu tujuannya akan ke mana. Ia tak punya keluarga. Satu-satunya hal yang dimiliki hanya Saga dan Kei. Juga anak dalam kandungannya.

Sesil tak menghitung berapa lama perjalanan hingga mobil melambat dan berhenti. Matanya terpejam sehingga lama kelamaan benar-benar tertidur. Semalam ia tidak bisa tertidur. Beberapa kali terbangun karena gelisah.

"Bangun, Sesil." Pundaknya disentuh dengan lembut. Sesil terbangun dan melihat keluar mobil. Mereka sudah sampai.

Dengan menggendong Kei, Saga turun lebih dulu. Memanggil pengasuh Kei untuk membawa putranya naik ke kamar. Sementara Saga berbalik dan melihat Sesil yang sengaja melambatkan langkahnya.

"Lebih cepat, Sesil," desis Saga. Yang tak sabaran dan menarik lengan Sesil.

Sesil menyentakkannya dan melangkah lebih cepat mendahului Saga. Langsung masuk ke kamar dan menuju kamar mandi. Mengunci pintunya untuk membersihkan diri. Saat ia keluar, Saga sudah menunggu di sofa.

"Duduklah."

"Aku ingin ma ..." Belum sempat Sesil mengatakan keinginannya, ia sudah melihat piring berisi omelet dan jus di meja. Ia pun duduk dan tanpa sepatah kata pun mulai menyuapkan makanan ke mulut. Sejak semalam, ia hanya makan beberapa potong roti, membuatnya kelaparan di pagi hati. Dan tak butuh lama untuk menandaskan isi piring dan gelasnya. Juga vitamin ibu hamil yang juga sudah disiapkan oleh Saga.

"Tidak adakah yang ingin kau katakan padaku?" Saga memulai pembicaraan.

"Kaulah yang harus menjelaskan, Saga."

Saga terdiam. "Apa kau masih tak memahami posisimu? Kau membawa Kei menyelinap keluar dari rumah ini. Apa kau tak memperhitungkan kemungkinan orang melukai kalian di luar sana?"

"Dan kaupikir kami lebih aman jika kau buang di sana."

"Aku tak membuang kalian."

"Menyembunyikan?"

"Demi keamanan kalian."

Sesil mendesah dengan gusar. Sudah cukup kebebasannya terenggut, bahkan sekarang ia harus bersembunyi dari dunia. "Sudahlah, Saga. Aku tak ingin membahas hal ini. Hanya memikirkannya saja membuatku marah." Ia bangkit berdiri. Berjalan ke tempat tidur dan berbaring.

"Seharusnya kau juga tahu kehidupan macam apa yang akan kau jalani saat memutuskan kembali, Sesil."

Sesil kembali duduk dan berteriak kesal. "Kau yang membuatku kembali, ingat!"

"Kau jelas tidak bisa hidup tanpaku. Apa kau masih mencoba menyangkal?" Suara Saga pun lebih kuat. "Selama empat tahun, kau tak berhenti menyesali keputusanmu, kan?"

"Seharusnya itu juga bukan urusanmu!" jerit Sesil penuh kefrustrasiannya. "Jika kau memang ingin merebut Kei, seharusnya kau menyembunyikannya hingga akhir. Biarkan aku menyesal sampai mati."

"Apa sekarang kau menyesal kembali ke hidupku?" desis Saga tajam. Tatapan dinginnya menusuk kedua mata Sesil.

Sesil terdiam. Keheningan yang panjang membentang di antara keduanya. Ia tak pernah menyesali kembali ke hidup Saga. Pun keberadaan Kei.

"Itukah yang kau inginkan? Lalu apa bedanya sekarang, Sesil?" Saga kembali memecah keheningan tersebut. "Aku akan membiarkanmu dan Kei hidup tanpaku. Keputusanku sudah bulat. Kalian akan pergi dalam seminggu," pungkas Saga kemudian berbalik dan berjalan keluar kamar.

"Seharusnya kau melakukan itu sebelum aku mencintaimu!" jerit Sesil pada pintu yang sudah tertutup. Ia terisak dengan keras. Meringkuk dan menangis di tempat tidur.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top