24. Teman Lama

"Apakah menurutmu dia sedang mencari Dirga?" tanya Sesil. "Tapi dia bahkan tak tahu kalau kami sudah putus dan aku menikah denganmu. Dia bilang, sudah enam atau tujuh tahun mereka tak saling bertemu. Aku ingin memastikannya pada Dirga, tapi ... aku tahu kau akan marah padaku jika aku ke ruangan Dirga."

Dan jelas masalah ini lebih serius dari Sesil yang diam-diam menyelinap menemui Dirga. "Apa lagi yang dikatakannya?"

"Hanya itu. Apa kau mengenalnya juga?"

Saga tak menjawab. Gionino Arsyaka Bayu. Tentu saja ia mengenalnya. Juga Dirga. Cukup dibilang saling mengenal. Sekarang ia paham kenapa pria itu menargetnya Dirga, juga dirinya. Masa lalu mereka jelas lebih rumit dari permusuhan antara keluarganya dan Dirga.

Sesil mengamati Saga yang tampak sedang berpikir keras, tetapi ia tak berani menanyakan hal apa pun tentang Dirga. "Apa kau bisa menanyakan hal ini pada Dirga? Mungkin ini akan sedikit membantunya untuk waspada pada siapa pun."

Saga mengangguk singkat, pasti akan melakukannya tanpa diminta oleh Sesil. Ya, jelas Giolah yang sengaja menabrak mobil yang ditumpangi Sesil dan Kei. Cukup membuat anak dan istrinya syok meski tak melukai sama sekali. Itu hanyalah sapaan, dari seorang teman lama.

"Berbaringlah, Sesil. Kau harus tidur." Saga menarik lengan Sesil untuk kembali dalam pelukannya.

"Aku belum mengantuk."

"Hanya pejamkan matamu. Kau tahu ibu hamil tak boleh tidur larut."

Sesil tersenyum di rahang Saga. Menenggelamkan wajahnya di cekungan leher sang suami dan menghirup aroma pria yang menyenangkannya. Terkadang ia mual jika mencium bau-bau tertentu, tetapi aroma Saga jelas pengecualian. "Siapa yang membuatku tidur selarut ini?"

"Kehangatan ranjang kunci nomor satu keberhasilan sebuah hubungan." Saga terkekeh pelan, tetapi kemudian berkata dengan tegas, "Tidur."

Sesil terkikik, semakin memperdalam pelukannya di tubuh Saga, begitu pun Saga.

***

"Kau yakin tak saling berhubungan dengannya?" desis Saga dengan tuduhan yang tak pernah memudar sejak mengisahkan pertemuan Sesil dan Gio di café, juga kecelakaan yang menimpa sang istri. Keseriusan dan kecemasan terlihat memekati kedua matanya dengan jelas. "Jika kau menggunakan dia untuk mengusikku, kupastikan sebelum kau membusuk di tanah, aku akan membuatmu membayar semua ini dengan amat sangat mahal, Dirga."

Dirga menatap kekejaman yang menggelapi wajah Saga. Tak ada keraguan sedikit pun di kedua mata pria itu, dan bahkan bulu kuduknya pun berdiri oleh ancaman tersebut. Saga tak pernah main-main dalam kata-katanya. Salah satu buktinya adalah dengan Sesil yang berada dalam pelukan pria itu saat ini. –Meski perasaan Sesil dan Saga adalah hal yang sama sekali tak terduga dan berada jauh di luar rancangan keduanya-.

"Kau tak percaya padaku?" Hanya kata itu yang bisa diucapkan oleh Dirga untuk membalas Saga.

Saga mendengus dengan keras. "Apakah ada alasan aku percaya padamu? Hanya karena kau kubiarkan menginjakkan kaki di rumahku, bukan berarti hubungan kita membaik, apalagi meletakkan kepercayaan padamu. Tak ada yang berubah, Dirga."

Dirga mendesah berat dan apa yang dikatakan oleh Saga memang benar adanya. "Dan kau pikir aku akan menggunakan Sesil untuk mengusikm u."

"Aku tahu kau tak benar-benar melepaskan Sesil, Dirga. Jangan bermain kata denganku."

Dirga terdiam, matanya terpejam. Seberapa banyak penjelasan yang diberikanya pada Saga hanya akan dipandang sebagai dalih oleh pria itu. Tak ada kepercayaan apa pun di antara mereka.

"Apakah semua ini sandiwaramu, Dirga? Untuk datang ke kediamanku? Menggunakan kelemahanku untuk menyelinap kemari?"

"Aku nyaris mati, Saga. Jika bukan Sesil yang datang untuk menyelamatkanku. Apakah itu terlihat seperti sandiwara di matamu?"

"Aku memanipulasi ingatan Sesil untuk merebutnya darimu. Tak ada cara yang tak mungkin bisa kau lakukan untuk merebutnya kembali. Hanya yang kuatlah yang bertahan, kita berdua tahu itu."

"Aku bisa melakukannya dan aku akan melakukannya," yakin Dirga dengan penuh emosi. "Jika tak ada kesempatan, aku akan menciptakan kesempatan itu untuk diriku sendiri. Tapi ... Sesil satu-satunya orang yang tulus yang pernah datang di hidupku setelah Rega. Perasaan Sesil padaku adalah sebuah ketulusan. Kau pikir aku akan membunuh ketulusan itu demi keegoisanku semata?"

Saga terdiam. Tak ada kebohongan di mata Dirga tetapi ia juga tak bisa percaya begitu saja. Hanya saja, ia tahu ucapan Dirga bisa ia pegang.

"Sesil mencintaimu. Selama berada di pelukanku, aku tahu itu dengan pasti. Aku hanya menyangkalnya. Dan kupikir ia hanya terbawa suasana. Kupikir aku akan bisa mengembalikan semua yang pernah kami miliki. Tapi dengan cara yang licik kau menggunakan anaknya untuk menyeretnya kembali ke hidupmu." Dirga tak berniat mengungkap semua itu. Dan meskipun ada kelegaan Sesil kembali ke hidup Saga. Jika tidak, mungkin Sesil pun akan menjadi salah satu target yang tak bisa ia lindungi karena ketololannya.

Setidaknya Saga memiliki orang-orang kepercayaan yang tak akan mengkhianati pria itu. Tak akan menusuk pria itu dari belakang seperti yang anak buahnya lakukan. Ia terlalu lengah dan ia menyadari itu dengan baik.

Dirga berniat menyimpan semua pemikiran itu, tetapi lagi-lagi insting Saga bekerja dengan baik.

"Dan kau pikir Sesil akan tetap hidup jika dia tidak datang kepadaku?" dengus Saga dengan sengit. "Aku tak tahu ini takdir atau kebetulan, tapi sekarang aku mempercayai keduanya."

Dirga menghela napas panjang. "Jadi sekarang kau percaya padaku?"

"Tidak. Aku akan tetap mengawasimu. Sebaiknya kau hati-hati, Dirga," pungkas Saga kemudian berbalik dan melangkah keluar dari kamar.

Dirga hanya tercenung menatap pintu kamar yang ditutup dengan setengah dibanting.

***

Arga membelalak melihat pelayan yang membawa keluar koper dari kamar tempat ia dan anak istrinya bermalam sedangkan rencana kepulangan mereka masih besok. Ketika ia melangkah masuk, ia berpapasan dengan Reynara yang menggendong baby Cyara, sudah siap akan pergi. "Ada apa ini?"

"Aku ingin pulang."

"Kenapa?"

"Apa aku harus punya alasan untuk keinginanku?" Suara Reynara dingin da nada kesinisan yang terselip. Yang membuat Arga terheran.

"Kenapa? Apakah aku melakukan kesalahan?" Arga menangkap lengan Reynara. Tadi malam keduanya baik-baik saja, kenapa tiba-tiba istrinya itu terlihat sedang menahan amarah yang begitu dalam di kedua mata.

"Ini semua rencanamu, kan?"

Kening Arga berkerut, semakin tak mengerti. "Rencana? Rencana apa yang kau maksud, Nara?"

"Kau puas sekarang?" Reynara melempar testpack di tangannya tepat di wajah Arga yang berdiri di ambang pintu.

Arga tersentak pelan, kemudian pandangannya turun ke bawah dan melihat benda yang cukup familiar di lantai tepat di samping kakinya. Matanya membelalak menatap dua garis sebagai hasilnya. "Kau hamil?"

Kekesalan di wajah Reynara semakin tak tertahankan, ia mendorong dada Arga yang menghalangi jalannya. Kemudian berjalan melewati pria itu dengan baby Cyara yang masih terlelap berada dalam gendongannya.

Arga segera menyusul Reynara, menangkap lengan sang istri. "Kenapa kau begitu marah?"

"Kau tahu kita belum siap memilikinya, Arga. Aku sudah mengatakan padamu dengan cukup jelas. Dan kau sengaja melakukan ini padaku, kan?" desis Reynara. Masih dengan suara yang dibuat selirih mungkin karena takut akan membangunkan Cyara di pelukannya. Tetapi ketegangan di antara keduanya tetap saja tak mampu disamarkan. Baby Cyara menggeliat dan kemudian menangis.

Reynara menggoyang-goyangkan tubuhnya, tetapi tangisan baby Cyara semakin kencang.

"Berikan padaku." Arga mengulurkan kedua tangannya dan mengambil sang putri dari gendongan Reynara. Dan tak butuh waktu lebih lama bagi Arga untuk menenangkan kembali bayinya sementara Reynara duduk tertunduk di sofa panjang. Seolah beban ribuan ton telah diletakkan di pundak wanita itu.

Arga menatap wanita itu sejenak sebelum kemudian hendak menyuruh pelayan memanggil pengasuh Kei untuk menjaga bayinya sebentar. Tapi tiba-tiba Sesil muncul dari arah tangga dan seketika menyadari pertengkarannya dengan Reynara.

"Ada apa?"

Arga hanya menghela napas pendek. "Bisakah kau membawa Cyara ke kamar Kei?"

Sesil mengangguk, dan saat itulah pandangannya tak sengaja menangkap testpack yang tergeletak di lantai tepat di depan pintu kamar Arga dan Reynara. Ia pun terkesiap pelan dan membekap mulutnya tak percaya. "Jadi dia benar-benar hamil?"

"Kau tahu?"

Sesil mengambil baby Cyara dari gendongan Arga sambil memberikan pelototan tajam pada adik iparnya tersebut. "Kau benar-benar keterlaluan, Arga," desisnya lirih.

"Apa? Bukankah kau setuju saat aku mengatakan ide itu padamu kemarin?"

"Sebelum aku tahu kalau ternyata Reynara belum siap. Seharusnya kau mendapatkan persetujuan itu darinya lebih dulu."

"Aku tak perlu persetujuan saat menidurinya. Siapa yang tahu salah satu di antara percintaan panas kami benar-benar akan membuatnya hamil."

"Kau sengaja menghamilinya, kan?"

"Ya, apa salahnya menghamili istri sendiri?"

"Ada apa ini?" Saga yang baru saja muncul dari arah lorong mengamati perdebatan antara istri dan adiknya.

Arga dan Sesil menoleh. "Dia menghamili Reynara," jawab Sesil seolah melaporkan perbuatan tak baik Arga.

Arga menoleh dan mendelik ke arah Sesil. "Kenapa kau juga tak menyalahkan Saga yang menghamilimu, hah?"

"Itu berbeda."

"Tak ada bedanya. Tapi kau menatapku seolah aku menghamili pelacurku."

Sesil hanya mendengus mengejek kata-kata pembelaan Arga.

"Pergilah, Arga."

Arga pun berbalik dan menghampiri Reynara yang masih tertunduk lesu di ruang tengah. Meninggalkan Saga dan Sesil yang masih menggendong baby Cyara.

"Umurnya masih terlalu kecil untuk memiliki seorang adik, aku mengerti apa yang dikhawatirkan oleh Reynara. Tapi Arga benar-benar egois."

"Itu bukan urusan kita, Sesil." Saga mengulurkan tangan mengambil baby Cyara dengan hati-hati kemudian mulai menaiki anak tangga dengan Sesil yang mengekor di sisinya.

"Lihat, dia sangat cantik." Sesil menjulurkan wajahnya ke arah baby Cyara dan menyentuhkan ujung jemarinya di pipi gembul sang keponakan.

Wajah Saga yang tertunduk pun ikut tersenyum. "Kau benar. Dan sepertinya kita akan memiliki dua."

"Ck, kau yakin perempuan?"

"Mungkin."

"Aku suka jika mereka perempuan. Aku hanya tak suka kalau tebakan Alec benar."

Pada awalnya, Sesil berusaha baik-baik saja dengan semua keamanan yang diperketat oleh Saga. Sampai ia tahu ternyata Saga pun mengganti sekolah Kei tanpa bicara padanya. Ya, urusan Kei memang sepenuhnya menjadi urusan Saga, tetapi bukankah sebagai ibu Kei ia juga berhak dimintai pendapat, atau setidaknya perlu diberitahu.

"Apakah semua ini memang diperlukan?" tanya Sesil sekali lagi. "Lalu, sampai kapan, Saga?"

"Jangan mempertanyakan hal yang bukan urusanmu, Sesil. Kau hanya perlu tahu semua ini demi kebaikanmu sendiri. Tidak bisakah kau hanya perlu mempercayaiku?"

Sesil pun terdiam. Tak mengatakan apa pun lagi dan hanya menatap Saga yang berbalik dan melangkah keluar kamar.

Sepanjang sore, tak ada apa pun yang dikerjakan oleh Sesil. Arga dan Reynara pulang di siang hari bersama baby Cyara yang ada dalam gendongan Arga. Dan ia bisa melihat keduanya yang masih perang dingin meski Arga sudah membujuk wanita itu sepanjang pagi hingga siang.

Dan keadaan tersebut berlangsung selama satu bulan lebih. Sesil sudah merasa sampai pada tahap bosan. Saga jelas lebih tegas dari yang diperkirakannya, pun dengan semua keinginannya yang selalu dipenuhi pria itu dengan sangat dermawan. Di dalam rumah.

Bahkan untuk alasan ke rumah sakit saja, -satu-satunya alasan ia bisa melewati pintu gerbang- tapi dengan Saga bersamanya. Juga beberapa pengawal yang berjaga dengan siaga di sekitar mereka.

"Aku tahu ini hanya alasanmu, Sesil," desis Saga ketika Sesil meminta singgah di salah satu restoran yang mereka lewati dalam perjalanan pulang dari rumah sakit.

"Apakah tidak boleh?" Sesil menyelipkan lengannya di lengan Saga. Membuat suaranya keluar dengan pelan.

Saga mendesah pelan. Pengaruh Sesil tak pernah tidak bekerja dengan baik. Sesil tahu itu dan menggunakannya dengan baik. Dan satu-satunya cara selain mengabulkan keinginan wanita itu adalah dengan menghindar.

"Hentikan mobil," perintahnya lirih pada sopir. Yang segera mengurangi kecepatan dan berhenti di bahu jalan.

Senyum sudah terbit di ujung bibir Sesil, tetapi segera lenyap ketika mobil berhenti dan Saga menarik lengannya.

"Langsung ke rumah," perintah Saga pada sopir sebelum membuka pintu mobil dan melangkah turun.

"S-saga!" panggil Sesil, tapi pintu sudah tertutup dan kembali melaju. Pandangannya tak lepas dari Saga yang melangkah ke belakang, tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya dan semakin jauh.

Air mata menggenang di kedua matanya. Sebelum kemudian menangis tersedu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top