23. Gionino Bayu
"Dia sudah tidur?" Sesil meletakkan nampan berisi teh hijau di meja untuk Reynara yang baru saja menidurkan Cyara di kamar tamu. Ia pun baru saja turun untuk mengantar Kei tidur.
Reynara mengangguk, mengambil cangkir di depannya dan mulai menyesapknya. "Apakah masih tidak ada yang turun?"
Sesil menggeleng. Setelah acara makan malam selesai, para pria –kecuali Dirga- naik ke lantai dua dan masuk ke ruang kerja Saga. Sebelum turun, Sesil sempat melihat dua pengawal yang berjaga di depan pintu. "Apa kau tahu sesuatu?"
"Tentang Saga? Atau Dirga?" Salah satu alis Reynara terangkat. Menatap Sesil yang duduk di seberang meja.
"Kupikir keduanya masih saling berhubungan. Ada masalah serius tentang Dirga, kan?"
"Hmm, satu-satunya hal yang membuat mereka saling berhubungan hanya Rega, kan? Arga juga tak mengatakan apa pun. Saat aku bertanya tentang penjagaannya yang semakin ketat, dia malah mengatakan sesuatu yang tak masuk akal tentang adik untuk Cyara. Apa dia sudah gila?" gerutu Reynara. "Apakah dia pikir kita bisa memiliki anak hanya karena pria itu menginginkannya? Meski ..., ya, kehamilan Cyara juga menyenangkan dan hubungan kami membaik karena itu. Tetap saja Cyara masih terlalu kecil untuk memiliki seorang adik. Apakah dia pikir hamil itu mudah?" dengusnya lagi.
Sesil terdiam, ya. Jadi tak hanya Saga yang memperketat penjagaan. Tetapi juga Arga. Dan ... satu-satunya hal yang menghubungkan Dirga dan Saga memang hanya Rega. Bukankah kematian Rega sudah menjadi titik balik dalam permusuhan mereka?
"Apa kau mendengarku?" Reynara terlihat kesal akan Sesil yang tampak sibuk dengan pikiran wanita itu sendiri. Ya, ia akui hubungannya dan Sesil tidak begitu dekat. Tapi setidaknya mereka bisa saling berbagi cerita sebagai seorang istri dari pria Ganuo. Yang jelas tak pernah bisa memiliki banyak pilihan ataupun kebebasan. Dan walaupun ia juga mulai mencintai Arga.
Sesil mengerjap dan tetap mengangguk tak sepenuhnya mendengarkan apa yang digerutukan oleh Reynara tentang Arga
"Apa kau punya?"
Sesil terdiam sejenak, matanya mengerjap dengan pelan. Tak mengerti dengan pertanyaan yang diajukan Reynara. "P-punya a-apa?"
Reynara memutar kedua bola matanya. "Aku sudah menduga kau tak mendengarku. Apa yang kau pikirkan? Dirga?" dengusnya.
Sesil hanya memberikan ringisan tipis.
"Seandainya aku bisa memikirkan pria lain tanpa membahayakan nyawa pria itu, Saga jelas lebih penyabar dari Arga."
Sesil menyadari akan hal itu dan hanya memberikan senyuman tipis sebagai tanggapan akan kalimat Reynara.
"Jadi ... apa kau punya benda itu?" Reynara kembali bertanya dan kembali pada topik awal.
"Apa?"
Reynara mengedarkan pandangan ke sekeliling mereka sebelum memajukan tubuhnya ke arah Sesil. "Testpack."
Sesil terpaku, kemudian matanya melebar terkejut. "K-kau ha ..."
"Shhh ..." Reynara meletakkan jari terlunjuknya di depan bibir. "Tidak."
"Lalu?"
"Aku hanya melakukan pemeriksaan rutin."
"Hmm?" Sesil tak mengerti.
"Sejak melahirkan Cyara, aku belum pernah mendapatkan haidku kembali. Dan Arga yang tiba-tiba mengungkit tentang hal itu, aku hanya curiga dia diam-diam memang sudah merencanakan semua ini."
Sesil pun teringat kata-kata Arga tadi pagi dan hanya manggut-manggut.
"Jadi, apa kau memilikinya?"
"Sepertinya aku masih menyimpan beberapa di laci kamar mandi. Aku akan memeriksanya."
"Bisakah kau mendapatkannya sekarang? Sebelum mereka selesai."
Sesil mengangguk. Kemudian bangkit berdiri dan diikuti oleh Reynara naik ke kamar tidur. Masih ada dua. Sesil pun memberikan semuanya pada Reynara yang langsung disimpan wanita itu di saku baju.
Keduanya akan kembali turun ketika para pria keluar dari ruang kerja Saga. Arga segera menghampiri Reynara. "Apa yang kalian lakukan?"
Reynara mengatur eskpresi di wajahnya seapik mungkin. "Hanya melihat koleksi sepatu dan tas Sesil. Aku punya daftar yang cukup banyak. Kenapa dia mendapatkan banyak hadiah."
"Kau ingin hadiah?"
"Ya, tentu saja. Siapa yang tidak suka."
"Kita kembali ke kamar." Arga menangkap pinggang Reynara dan membawa wanita itu turun ke lantai dua.
Sementara Saga masih bicara dengan Alec di samping tangga. Sesil tak bisa mendengar pembicaraan keduanya, tetapi ia yakin ada hubungannya dengan penyembuhan Dirga karena sempat mendengar nama dokter Juan disebut.
"Ada apa?" tanya Sesil begitu Saga datang menghampirinya dan mendaratkan kecupan singkat di bibir sebelum membawanya masuk ke dalam kamar.
Saga hanya menggeleng, mendorong tubuh Sesil ke dinding dan melumat bibir wanita itu. Di antara lumatannya, ia berbisik dengan napas yang semakin memberat, "Aku menginginkanmu."
Hanya dengan mendengarkan keinginan Saga saja sudah membuat wajah Sesil memerah. Debaran di dadanya tak tertahankan dan ia menyukai sentuhan Saga yang penuh gairah. Tubuhnya terasa lebih sensitif. Merasakan sensasi tersengat ketika telapak tangan Saga menyelinap ke balik pakaian dan menyentuh kulit telanjangnya.
Kedua tangannya pun melingkari leher Saga. Menenggelamkan ke sepuluh jemarinya di helaian rambut tebal Saga.
Saga mengangkat tubuh Sesil, berjalan dan membaringkan tubuh Sesil di tengah tempat tidur masih dengan bibir yang saling berpagutan. Tak menunggu lebih dari semenit baginya untuk melucuti setiap helai pakaian Sesil dan melemparnya sembarang.
"Katakan jika aku menyakitimu," bisik Saga di antara napas keduanya yang saling terengah.
Sesil mengangguk, menarik kepala Saga dan kali ini ia yang mendominasi lumatan mereka.
***
Dua jam kemudian, keduanya berbaring di tempat tidur. Tampak lelah dan berkeringat, tapi kepuasan lebih mendominasi wajah keduanya. Kepala Sesil berbantal lengan Saga, sementara telapak tangannya bermain-main di dada bidang pria itu.
Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, tapi Sesil tampak enggan memejamkan mata meski Saga sudah menyuruh wanita itu untuk tidur. Wanita itu malah sibuk memainkan jemari di atas dadanya. Sesekali mendaratkan ciuman di rahang dan memain-mainkan wajahnya sambil terkikik pelan. Saga sendiri tak bisa tidur, selain karena Sesil, juga banyaknya kecamuk di dalam benaknya.
"Sesil?"
"Hmm?"
"Tidak adakah yang ingin kau ceritakan padaku?"
"Tentang?"
"Apa pun?"
Kening Sesil berkerut kemudian menggeleng. Sejak tadi keduanya hanya saling berpelukan, Sesil menikmati momen tersebut sehingga tak banyak bicara. Dan karena Saga mengungkitnya, ia pun berucap, "Aku ingin menanyakan sesuatu padamu tapi aku tahu tak akan mendapatkan jawabannya."
Saga paham, tetapi ia tak menyerah untuk memancing wanita itu. Rasanya ia perlu tahu bagaimana Sesil tak tahu antingnya dicuri oleh orang lain. "Ceritakan apa saja yang kau lakukan dengan Kei hari ini."
Senyum semringah segera melengkung di wajah Sesil dan dengan penuh antusias ia pun bercerita. "Saat menunggu Kei keluar dari kelasnya, aku tiba-tiba ingin makan yang manis yang terbayang es krim. Jadi kami singgah di salah satu café dan aku menghabiskan dua mangkuk. Dark chocolate dan caramel. Mungkinkah anak kita benar-benar perempuan?"
Saga tersenyum dengan cerita tersebut.
"Ini benar-benar tidak adil, Saga. Bagaimana mungkin tebakan Alec benar untuk kedua kalinya."
"Kenapa? Kau tak suka anak perempuan?"
"Bukan seperti itu. Aku hanya merasa kesal padanya. Apakah istrinya sudah hamil."
"Ya."
"Benarkah? Aku benar-benar ingin bertemu dengan Alea. Apakah aku boleh ..."
"Tidak, Sesil," tegas Saga bahkan sebelum Sesil menyelesaikan keinginannya.
"Aku bahkan belum selesai bicara, Saga," kesal Sesil menghadiahkan pukulan di dada Saga yang sama sekali tak sakit.
"Aku tahu kau ingin mendatangi rumah Alec, tetapi kau masih ingat kalau itu tidak akan terjadi, kan?"
"Sampai kapan?"
"Kau sudah tahu jawabannya." Jawaban Saga masih diselimuti ketegasan. "Sekarang kau ingin tidur atau melanjutkan pembicaraan kita sebelumnya."
Sesil memanyunkan bibirnya. Ia belum mengantuk jadi memilih melanjutkan ceritanya. "Jadi kami hanya makan dan pulang, lalu tiba-tiba saja mobil kami ditabrak. Aku tahu kau tak akan menjawabku jika aku bertanya tentang kejadian itu, kan?"
Ujung bibir Saga tersenyum puas oleh kepatuhan Sesil. "Hanya itu?"
"Apa?"
"Yang kau lakukan di café?"
"Hmm." Sesil mengangguk.
Saga merasa tak puas dengan jawaban tersebut. Bagaimana mungkin Sesil tak sadar siapa orang yang telah mengambil anting dari telinga wanita itu.
"Ah, ya." Sesil bangun terduduk, kemudian mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas dan menunjukkannya pada Saga. "Aku menjatuhkan ponselku saat keluar dari toilet. Tadi layarnya masih menyala dan bisa digunakan untuk menjawab panggilanmu. Tapi ... baru saja aku melihatnya dan layarnya sudah mati. Tak bisa dinyalakan lagi."
Saga mengambil ponsel Sesil yang layarnya sudah retak tersebut. Cukup parah dan bahkan sudah tak bisa dihidupkan lagi.
Sesil mengamati wajah Saga dengan hati-hati. "B-bolehkah aku mendapatkan yang baru?"
Saga mengangguk. "Aku akan menyuruh Max mendapatkan satu untukmu."
Senyum segera mengembang di wajah Sesil, memeluk Saga dan mendaratkan ciuman di pipi kanan dan kiri Saga. Beberapa kali. "Terima kasih."
Saga mendengus tipis. "Kau bersikap manja hanya saat membutuhkanku, ya?"
Sesil menahan senyum malunya. Kembali menjatuhkan kepalanya di lengan Saga dan melingkarkan lengannya di dada pria itu. "Lalu, apa kau ingin aku meminta ganti rugi pada pria itu? Ck, jika tahu seperti ini, aku akan menerima tawarannya untuk mengganti ponselku."
Wajah Saga segera membeku ketika Sesil mengungkit tentang pria itu. Menatap wajah Sesil dengan kerutan di kening. "Pria itu?"
Sesil mengangguk, senyum di wajahnya perlahan memudar ketika teringat Gio. "Teman Dirga."
"Apa maksudmu?" Saga nyaris tak bisa mengendalikan emosi yang berkecamuk di dadanya. Teman Dirga?
"Aku tak sengaja menabraknya hingga ponsel dan tasku jatuh ketika keluar dari toilet." Sesil mulai bercerita. "Dia memaksaku mengganti ponselku yang rusak meski aku menolaknya. Tapi ... tiba-tiba dia mengatakan mengenalku. Dan dia tahu namaku."
"Apa?" Wajah Saga segera dibekukan oleh kepucatan. Melompat terduduk dan memegang kedua pundak Sesil. Butuh lebih banyak hal. "Apa saja yang dikatakannya?"
Sesil menggeleng. "Dia hanya memperkenalkan diri. Namanya Gionino Bayu. Teman Dirga."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top