21. Ancaman Dari Sisi Lain

Sesil menjerit dan kedua lengannya kontak mendekap tubuh Kei kuat-kuat. Tubuhnya tersentak ke samping dengan keras bersamaan suara hantaman keras dari arah samping kanan, menyusul dari samping kiri. Kepalanya pusing dengan hentakan yang begitu keras, semua terjadi hanya dalam hitungan detik. Ketika ia menyadari apa yang terjadi, sebuah mobil yang sempat berhenti di depan mobil mereka, melaju pergi dengan kecepatan tinggi.

Erangan pelan terdengar dari dalam pelukan Sesil, yang segera mengalihkan perhatian Sesil. "Kei, apa kau baik-baik, Nak?" cemas Sesil sambil merangkum wajah sang putra. Kemudian matanya memindari tubuh Kei dengan seksama. "Apa Kei merasa ada yang sakit?"

Kei menggeleng pelan. Kedua lengannya masih memeluk Sesil dengan ekspresi ketakutan yang mulai menyelimuti permukaan wajah polos bocah itu. "Mama?"

Sesil mengangguk meski rasa pusing di kepalanya masih tersisa. Kemudian ia beralih pada sang sopir. Yang memutar tubuh menghadap ke belakang.

"Apakah Anda baik-baik saja, Nyonya."

"Ya. Apa yang terjadi?"

Sopir itu terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Anda tunggu di dalam, saya akan bicara dengan Tuan."

Sesil tak sempat menahan sopir tersebut, yang ternyata sudah memegang ponsel dan panggilannya baru saja dijawab dari seberang. Sopir itu kemudian membuka pintu mobil dan melangkah turun sambil menempelkan ponsel di telinga. "Tuan ..."

Sesil tak mendengar lebih. Pintu kembali ditutup, bahkan dikunci dari dalam sebelum sopir itu turun. Kedua matanta masih mengamati sopir yang berdiri di bagian depan mobil, yang mungkin tengah menjelaskan kejadian atau kerusakan pada mobil.

"Mama?" Kei memanggil, semakin mengeratkan kedua lengannya pada tubuh sang mama. "Apakah semuanya baik-baik saja?"

Sesil menunduk dan menatap wajah sang putra. Berusaha keras menampilkan ketenangan meski ia merasakan firasat yang burut atas kecelakaan yang merupakan kesengajaan ini. Hantaman itu cukup keras dan membuatnya syok, meski tidak ada satu pun yang terluka di sini.

"Nyonya, sebentar lagi tuan akan datang untuk menjemput," beritahu sopir itu setelah kembali duduk di balik kemudi, dan tak lupa mengunci pintu kembali.

Sikap siaga tersebut sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi Sesil, ketika musuh Saga mulai mengincarnya. Apakah mobil tadi juga sebuah ancaman? Musuh Saga? Atau ... bahkan musuh Dirga?

Pertemuannya dengan Gio mendadak menciptakan firasat yang buruk di dadanya. Sesil ingin bertanya lebih banyak pada si sopir, tetapi pertanyaannya tertahan dengan keberadaan Kei. Ia pun menahannya. Mungkinkah itu adalah Gio?

Tak lebih dari sepuluh menit, Saga datang dengan wajah yang dipenuhi ketegangan. Beberapa pengawal dengan sikap siaga berpencar ke area sekitar ketika pria itu membuka pintu di samping Kei.

"Papa?" Kei segera melepas pelukannya di tubuh Sesil.

"Kau baik-baik saja?" tanya Saga pada Sesil.

Sesil mengangguk.

"Turun," perintah Saga sambil membawa Kei ke dalam gendongannya, kemudian membantu Sesil turun dari mobil. Merangkulkan lengannya di tubuh wanita itu erat-erat dan langsung mengarah ke mobil yang terparkir di pinggir jalan, yang sudah dibukakan oleh kepala pengawal Saga.

"Langsung ke rumah," perintah Saga pada sopir setelah memberikan perintah pada kepala pengawalnya untuk mengurus semuanya. Mobil pun melaju meninggalkan area café.

"Kau yakin kau baik-baik saja?" tanya Saga lagi pada Sesil setelah memastikan tidak ada luka apa pun di tubuh putranya. Di balik ketegangan wajahnya, hatinya menggeram. Bersumpah dalam hati, siapa pun yang berani menyentuh anak dan istrinya, pasti akan mendapatkan bayaran yang sangat mahal.

"Perutmu?"

Sesil mengelus perutnya dan merasakan sedikit ketidak nyamanan, tetapi ketegangannya sudah mereda.

"Kemarilah." Saga menarik tubuh wanita itu lebih dekat. Dengan Kei yang masih berada dalam pangkuannya, ia merangkul tubuh Sesil. Membiarkan kepala wanita itu jatuh di pundaknya.

Di depan dan belakang ada mobil yang mengiringinya, tetapi ia tak berhenti bersikap waspada.

'Kau pikir dia hanya menginginkan Dirga?' dengus pria itu mengejek meski bibirnya baru saja memuntahkan darah karena tinju yang dihantamkan olehnya di perut pria itu. 'Setelah Dirga, target selanjutnya adalah kau, Ganuo. Kudengar kau menjalani hidup dengan baik? Setelah semua darah yang mengotori tanganmu, setelah semua dosa yang kau buat, kau tak layak mendapatkan kehidupan yang tenang. Kau bahkan memiliki seorang istri. Juga anak laki-laki. Dia akan sangat bersenang-senang denganmu. Lebih dari yang dilakukannya pada Dirga.'

Mata Saga mengerjap teringat kata-kata terakhir pria sialan itu. Jimi hanyalah kaki tangan. Siapa pun yang ada di atas Jimi, harus Saga akui orang itu pasti akan sangat bersenang-senang mengusiknya. Ia memiliki Sesil dan Kei, yang akan menjadi kelemahannya dan cara paling mudah untuk menyerangnya. Rangkulan Saga pada Sesil dan Kei semakin menguat.

Benak Saga mulai memilah, membuka setiap lembaran yang diingatnya tentang siapakah pria itu. Ia memiliki terlalu banyak musuh.

Sesil mengernyit merasakan rangkulan Saga yang menguat membuatnya mulai tak nyaman dan kesulitan bernapas. "S-saga?" lirihnya sambil menggeliatkan tubuhnya demi mengurai lengan pria itu. Wajahnya terdongak, menatap rahang Saga yang mengeras ketika menunduk merespon panggilannya.

Mata Saga mengerjap, tersadar dari pikirannya yang sedang kacau hingga tanpa sadar menyakiti Sesil. "Maaf."

Sesil mengangguk meski dengan kernyitan yang masih menghias kedua alisnya. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan hati-hati. Sejak mendapatkan mimpi buruk itu, Saga memang berubah menjadi aneh. Ia sempat mendengar nama Rega yang terselip di antara rintihan pria itu. Kenapa Saga masih bermimpi buruk? Bukankah hubungannya dan Dirga sudah terluruskan tentang Rega.

Saga mengangguk tipis sambil membawa tubuh Sesil kembali ke pelukannya. Mendaratkan ciuman di ujung kepala Kei dan Sesil bergantian. "Ya. Semuanya akan baik-baik saja," bisiknya lirih.

Sepanjang sisa perjalanan, mobil diselimuti keheningan yang panjang. Hingga mobil berhenti di teras rumah dan Saga langsung membawa keduanya turun. Mengantar Kei ke kamar dan menyuruh Sesil ke kamar lebih dulu. Sesil menurut, bergegas ke ruang ganti untuk mengganti pakaiannya.

Ia berniat membuka pintu balkon dan membiarkan udara masuk ke dalam kamar ketika kedua matanya menangkap gerakan di bawah. Keningnya berkerut menemukan seorang pengawal dengan senjata laras panjang yang menggantung di pundak sedang berdiri tepat di bawah balkon kamar mereka. Sesil melangkah keluar, dan kerutan di keningnya semakin dalam ketika tak hanya menemukan satu orang yang berjaga. Ada beberapa di area halaman belakang, di setiap sudut rumah, berjaga dengan waspada.

Pengawal yang berada di bawahnya segera menyadari kemunculan dan memberikan anggukan sopan padanya. Tepat pada saat itulah pintu kamar terbuka dan Saga muncul. Sesil pun berbalik dan menghampiri pria itu. "Kenapa ada banyak penjaga di bawah?"

"Hanya penjagaan," jawab Saga. Memastikan suaranya keluar dengan penuh ketenangan.

"Hanya penjagaan?" Sesil berkerut kening. Ya, ia tahu rumah Saga selalu dijaga dengan ketat, tetapi kali ini ada terlalu banyak pengawal yang menyebar di area rumah ini.

"Mulai sekarang kau tidak boleh keluar dari rumah. Tanpaku."

"Kenapa?" Ada protes yang mulai meluap di kedua mata Saga. Sebelumnya Saga melarangnya keluar memang karena kehamilannya yang lemah. Tetapi jika ia dikurung demi alasan keamanan, itu artinya adalah pengurungan.

"Semua demi kebaikanmu, Sesil. Jangan banyak tanya. Kali ini aku tak butuh bantahan."

"Sampai kapan?"

"Sampai semuanya kembali aman."

"Tapi ..."

"Tidak ada tapi." Suara Saga keluar dengan tegas, begitu pun tatapan tajamnya pada Sesil. "Apa kau mengerti?"

Sesil menutup mulutnya meski protes masih menggelitik ujung lidahnya. Terpaksa memberikan satu anggukan tipis dan hanya menatap Saga yang kemudian berjalan ke kamar mandi. Ia menghela napas panjang sambil duduk di sofa. Perasaan terkurung terasa familir di dadanya. Meski kali ini hubungannya dan Saga jauh lebih baik dibandingkan ketika ia masih berada dalam tawanan pria itu, tetapi saja dikurung di rumah ini membuatnya merasa tak baik-baik saja.

Ia tak punya banyak teman, bahkan tak ada satu pun teman yang benar-benar mengenalnya setelah menjadi istri Saga. Ada banyak kenalan ketika Saga membawanya ke pesta, tetapi tak ada satu pun yang benar-benar dekat dan tulus mengenal dirinya. Semua kebaikan yang ditunjukkan mereka di hadapannya semata-mata karena mereka takut pada Saga.

Setelah kembali ke hidup Saga, ia hanya sibuk dengan Kei. Mereka sering bersenang-senang di luar, juga berjalan-jalan. Lalu, apakah semua kebebasan itu akan kembali terenggut?

"Kau lapar?" Saga muncul kembali dari balik pintu kamar dengan rambut yang basah dan handuk kecil di leher yang diusap-usapkan di kepala.

Sesil mengangkat wajah murungnya dan menggeleng.

Saga tentu memahami apa yang membuat wajah Sesil terlihat murung seperti itu, tetapi ia mengabaikannya dan berjalan ke ruang ganti. Ia baru saja mengenakan celana pendeknya ketika Sesil melangkah masuk. Raut wanita itu menunjukkan ada sesuatu yang ingin dibicarakan dan ia tahu topik apa yang akan diambilnya.

"Suruh pelayan menyiapkan makan malam di halaman belakang. Malam ini Arga dan Alec akan bermalam di sini bersama istri mereka."

Sesil yang sudah membuka mulut pun, mengurungkan niatnya. Dan dalam sekejap raut murungnya berubah berseri. "Benarkah?"

Saga mengangguk, mengambil kaos polos yang teratas dari tumpukan yang semuanya berwarna hitam dan mengenakannya. "Kau senang?"

"Sedikit menghibur. Kau punya tujuan dengan acara makan malam ini?" Mata Sesil menyipit penuh curiga.

Saga tak menyangkal, melangkah mendekat dan menangkap pinggang Sesil. "Ada sedikit masalah yang serius. Dan semakin sedikit yang kau tahu, semakin baik."

"Itu hanya terdengar seperti dalih."

Saga terkekeh, kepalanya tertunduk dan mendaratkan kecupan singkat di bibir. "Kita turun?"

Sesil mendesah pelan dan mengangguk. Membiarkan tubuhnya diputar ke samping dan pundaknya dirangkul oleh lengan Saga. Lengannya pun melingkari pinggang Saga. Bergelayut manja di dada pria itu.

Saat kepala Sesil terputar, tiba-tiba pandangan Saga terpaku ketika menangkap telinga Sesil. Yang salah satunya tidak mengenakan anting.

"Ada apa?" Sesil kembali mengangkat wajahnya ketika langkah Saga yang tiba-tiba berhenti.

"Ke mana antingmu?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top