16. Rahasia Dirga

16. Rahasia Dirga

Benar saja, setelah mengetahui keadaan Dirga jauh lebih baik dan akan menjadi lebih baik lagi. Kesehatan Sesil pun berkembang pesat. Stres berlebih karena kekhawatiran yang tak bisa dilepaskan, perlahan mereda. Sesil pun berkonsentrasi meredakan kekhawatiran pada kandungannya dan fokus untuk menyembuhkan diri.

Setelah empat hari, tekanan darah wanita itu kembali normal dan janin dalam kandungannya pun keadaannya sudah lebih kuat. Saga menekan kecemburuannya ketika benaknya berpikir bahwa keadaan Dirga berperan cukup besar dalam kestabilan emosi istrinya. Menyadari bahwa ikatan Sesil dan Dirga tak semudah itu akan terputus begitu saja.

Ya, Dirga mencintai Sesil dengan tulus, begitu pun sebaliknya. Terkadang ia berpikir, bahwa semua alasan yang dimiliki Sesil untuk kembali ke pelukannya hanyalah Kei, pun dengan Sesil yang mengatakan mencintai dirinya. Tapi jelas Dirga memiliki porsi tersendiri di hati wanita itu. Wanita itu tak bisa mengabaikan keberadaan Dirga begitu saja saat pria itu masih hidup, apalagi jika mereka sekarang berada dalam satu atap.

Saga menarik resleting tas setelah barang terakhir Sesil sudah masuk ke dalam. Wajahnya menoleh ke arah pintu kamar mandi dan melihat sang istri yang melangkah keluar. “Pelan-pelan, Sesil,” ucapnya pelan tak bosan-bosannya memperingatkan wanita itu.

Sesil hanya tersenyum, tetapi sama sekali tak mengurangi kecepatan langkahnya karena memang sudah sangat pelan dan hati-hati. Kemudian bibirnya terlipat ketika menemukan kursi roda yang diletakkan di tengah ruangan. “Aku tidak mau menggunakan benda itu, Saga.”

“Kalau begitu aku akan menggendongmu sampai ke lantai bawah.”

“T-tapi ini di rumah sakit. Orang-orang akan melihatnya.”

“Ya, mereka punya mata. Jadi … kau pilih benda itu atau aku?”

Tentu saja itu pilihan yang sulit. Ia tak mungkin menjadi tontonan orang-orang di hadapan umum dengan berada dalam gendongan Saga. Seperti remaja yang sedang kasmaran saja. Padahal mereka akan segera memiliki tiga anak. “Aku pilih kakiku sendiri.”

“Itu tidak ada dalam pilihan.”

Sesil pun mengalah dan mendudukkan diri di kursi roda. Saga mengangkat tas barang-barang Sesil dan memberikannya pada salah satu pegawal, lalu mendorong kursi roda Sesil keluar dari kamar.

“Jadi kau lebih memilih benda ini dibandingkan aku?”

“Kau ingin aku memilihmu?” Suara Sesil terdengar ceria, menciptakan senyum tipis di sudut bibir Saga.

“Hanya aku pilihan yang kau miliki, bukan?”

Sesil tertawa, memegang punggung tangan Saga yang menyentuh pundak kirinya. Saat wanita itu menoleh ke samping kanan, ia mendaratkan kecupan di punggung tangan Saga. “Pastikan saja hanya aku wanita yang kau miliki.”

Senyum Saga melebar. Tanpa membalas kalimat Sesil meski ia ingin mengatakan pernyataan yang sama. Rasanya belum pernah ia mengalah sebanyak ini terhadap seseorang. Ya, hanya Sesillah kelemahannya.

*** 

Setelah satu jam lebih sedikit, mobil akhirnya berhenti di halaman rumah Saga. Pria itu turun lebih dulu dan membantu Sesil turun dari dalam mobil. Menuntun langkah wanita itu dengan hati-hati. Baru saja keduanya masuk ke dalam ruang tamu, Alec muncul.

“Ada apa?” tanya Saga, menangkap keseriusan di wajah Alec. Tanpa sepatah kata pun, ia tahu Alec membutuhkan dirinya. “Aku akan turun dalam sepuluh menit.”

Alec mengangguk sekali dan kembali menghilang di ujung lorong yang mengarah ke ruang tamu tempat Dirga dirawat.

“Semua baik-baik saja, kan?” tanya Sesil menoleh ke samping.

“Ya, tentu saja.” Saga membungkuk dan menggendong Sesil. Membawa wanita itu menaiki anak tangga menuju kamar utama. Biasanya Saga akan membiarkan Sesil di kamar bawah karena kehamilan, tetapi sekarang jelas bukan pilihan yang bijaksana karena ada Dirga di rumah ini. Hanya sebatas ini ia bisa menahan kecemburuannya.

“Istirahatlah.” Saga menarik selimut hinga ke perut. Mendaratkan kecupan singkat di kening dan mengusap perut Sesil yang sudah sedikit menonjol sebelum berjalan ke arah pintu. Saga langsung ke kamar tamu tempat Dirga dirawat, Alec menunggunya di depan pintu.

“Dia ingin bicara denganmu.” Alec memberitahu.

“Kenapa wajahnya terlihat begitu kusut?”

Alec menggeleng dengan wajahnya muram.

“Istrimu membuat ulah lagi?”

“Ini bukan pertama kalinya, tapi kenapa aku masih saja terkejut,” gerutu Alec kemudian. “Apa ini yang kau rasakan pada Sesil? Gemar membuat kepala orang berdenyut.”

Saga tak menyangkal. “Apa dia mengatakan sesuatu?”

Alec kembali serius dan mengangguk. “Kau ingat Arza Mahendra. Kakak angkat Alea sudah sadar beberapa hari yang lalu.”

Saga mengangguk.

“Apa yang dikatakannya sepertinya benar.”

Mata Saga menyipit. Selama seminggu ini ia sibuk mengurus Sesil di rumah sakit dan mengabaikan semua laporan Alec. “Apa yang dikatakannya?”

“Dia memang kaki tangan Dirga yang dibunuh oleh Jimi.”

Kedua mata Saga melebar, tanpa menunggu lebih lama untuk melewati Alec dan masuk ke dalam kamar tamu. Dirga duduk bersandar di kepala tempar tidur, jarum infus dan perban masih menghiasi di beberapa bagian tubuh pria itu. Terutama di bagian perut dan dada, yang memiliki luka paling serius. Dan kedua kaki, yang masih digips. Patahnya cukup serius, seperti dugaannya. Butuh waktu sebulan lebih untuk sembuh seperti semula. Dan itu jelas akan menjadi masalah untuk pernikahannya dan Sesil, sekaligus beban untuknya.

Kedua pandangan pria itu bertemu, untuk pertama kalinya keduanya berada dalam satu ruangan. Dan tanpa ketegangan yang saling menyelimuti. Saga masih dengan keangkuhannya dan Dirga dengan ketidak berdayaannya. Yang sulit disembunyikan dengan tubuhnya yang berbaring lemah di tempat tidur, di salah satu ruangan di rumah Saga. Musuh besarnya.

“Kau menyelamatkanku.” Suara Dirga lirih, meski ada kesinisan dan ketulusan yang bercampur.

Saga mengambil tempat di sofa tunggal. Membentangak jarak sejauh mungkin dengan Dirga. Kedua kaki dan lengannya saling bersilang. “Aku tak butuh terima kasihmu. Aku hanya membayar hutang nyawa istriku.”

“Dan aku menyelamatkannya bukan untuk mendapatkan pembayaran kembali,” balas Dirga dengan sisa keberaniannya yang masih dimilikinya karena Sesil. Ya, karena Sesillah ia masih hidup. Berada di sarang musuh besarnya. Dan ia sangat tahu kalau Saga tak akan berani menyentuhnya karena Sesil. Ia merasa puas dengan ketidak berdayaan Saga menghadapi Sesil, meski dadanya masih bergemuruh karena itu artinya Saga benar-benar mencintai Sesil.

Saga mendengus. “Kau ingin mendebatkan hal ini? Semua sudah impas.”

Dirga tak menjawab. Hening sejenak.

“Apa yang ingin kau katakan?”

Dirga masih terdiam, menatap lekat wajah Saga cukup lama sebelum membuka mulut. “Ini mengenai kematian Rega.”

Seketika tubuh Saga membeku, tanpa bisa menyembunyikan kekagetannya. Satu-satunya hal yang menghantui mimpi buruknya selama ini adalah kematian Rega. Adiknya yang masih berteriak minta tolong meski sudah terkubur di bawah tanah.

“Rega tidak bunuh diri.”

Keterkejutan yang besar memucatkan wajah Saga. Pria itu tersentakdan napasnya tertahan.

“Kau menyelidiki kematiannya, kan. Sama sekali tidak ada kekerasan dalam tubuh Rega saat gadis itu melompat dari gedung. Jimilah yang membuatnya melompat dari gedung sehingga terlihat seperti bunuh diri.”

Saga benar-benar tak bisa mengendalikan gemetar yang menyerang tubuhnya. Kedua tangannya yang saling tersilang kini terurai, menempel di lengan sofa dan mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Rasanya tak bisa membendung lebih banyak lagi kemurkaan yang memenuh dadanya. Luka yang terpendam jauh di dasar hatinya, meraung-raung ingin meluapkan kesakitannya.

Saga tak tahu, apa yang membuatnya bertahan di tempatnya saat ini. Ia butuh tahu semuanya. Secara mendetail. Sebelum memutuskan menghukum orang-orang yang terlihat dengan kematian adik perempuannya tersebut. Ia akan memastikan membayar mahal untuk setiap darah yang diteteskan oleh adiknya.

“Aku mengetahuinya ketika menyadari ada yang tak beres dengan laporan perusahaanku. Satu persatu orang-orangku berpaling dan menyelidiki ini diam-diam. Aku ingin menemuimu, tapi kau sedang tidak ada di negara ini. Dan aku sedang menuju makam Rega ketika anak buahnya menyerangku. Setelahnya aku hanya mengingat Sesil. Rupanya ponsel cadanganku masih berfungsi dan setelahnya tidak ingat apa yang terjadi.”

“Dia memanfaatkan permusuhan keluarga kita untuk menyiram bensin ke api yang sudah berkobar. Aku yakin Jimi jugalah yang memberitahumu tentang hubunganku dan Rega.”

Saga masih bergeming di tempatnya, tak menyangkal kalimat terakhir Saga. Sata itu ia hanya peduli tentang adiknya dan tak peduli siapa yang mengirim surat kaleng tersebut. Wajahnya campuran antara kepucatan dan amarah yang berapi-api. “Apa lagi yang kau ketahui?”

Dirga menggeleng. “Alec mengatakan kaki tanganku juga berada dalam bahaya setelah identitasnya terbongkar.”

Saga tak mengangguk. “Apa aku bisa memegang omonganmu?”

Dirga mendengus. “Aku selamat dari kematian. Kau pikir apa yang membuatku harus membohongimu?”

Mata Saga menyipit penuh kecurigaan, tepat ke dalam kedua mata Dirga. “Siapa yang tahu kau mengatakan ini agar aku membantumu mengambil alih perusahaanmu dari tangan Jimi? Memanfaatkan dendamku.”

Dirga hanya menyeringai, meski ia memiliki motif yang kuat untuk melakukan itu. “Itu cara yang licik, Saga. Aku pasti akan melakukannya, hanya saja … bukan dengan tanganmu. Aku tak sudi.”

Saga mendengus keras. “Kenapa kau tidak mengatakannya saat kau berada di ambang kematianmu, Dirga? Sehingga aku tak perlu melakukan semua kerepotan ini.”

Dirga terdiam, menyadari ke sekelilingnya. Bahkan pakaian yang dikenakannya saat ini adalah pemberian Saga. “Aku harus merelakan harga diriku untuk tetap hidup. Kau tahu, terkadang napas lebih penting dibandingkan harga diri,” dengusnya, lebih kepada dirinya sendiri. “Setidaknya setelah aku membuat Jimi membayar kematian Rega.”

“Tak perlu repot. Aku yang akan melakukannya.” Saga bangkit berdiri dan berjalan keluar kamar. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top