15. Tidak Akan Meninggalkan
15. Tidak Akan Meninggalkan?
Saga dan Sesil memucat menemukan Kei yang berdiri di ambang pintu ruang perawatan yang masih terbuka. Ketegangan di antara keduanya pun terpaksa dikendorkan. Wajah keduanya tampak melunak. Saga menaikkan Sesil kembali ke tempat tidur kemudian berjalan keluar untuk menggendong sang putra. Bersamaan dengan Alec yang muncul dari lorong.
Alec segera menyadari ada yang tidak beres menangkap raut tenang yang dipaksaan di wajah Saga. Ia bertanya ada apa tanpa suara pada Saga.
“Kenapa kau membawanya kemari?”
“Dia bersikeras ingin melihat Sesil. Kau tahu terkadang dia mendapatkan sifat keras kepalanya seperti Sesil, kan?” jawab Alec setengah berbisik.
Saga hanya diam, kemudian memberi isyarat gerakan ke dalam ruang perawatan Sesil. Setelah Alec masuk dan menutup pintu di belakangnya, Saga berjongkok di depan Kei, menyejajarkan wajah mereka dan kedua tangan memegang tangan mungil sang putra.
“Kenapa papa berteriak pada mama?” Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Kei dengan polos.
Saga kesulitan menjelaskan. Kei sudah terlanjur mendengar perdebatan sengitnya dengan Sesil dan belum pernah mereka bersuara setinggi itu ketika berada di hadapan Kei. “Kau tahu, terkadang orang dewasa melakukan kesalahan. Terjadi kesalah pahaman dan bertengkar. Kau terkadang juga seperti itu dengan temanmu, kan?”
Kei tampak berpikir sejenak, kemudian bertanya lagi, “Apakah itu artinya mama akan meninggalkan kita? Apa mama akan pergi lagi”
Saga benar-benar dibuat tak berkutik oleh kata-kata sang putra. Salah satu tangannya merangkum wajah mungil Kei dan menggeleng. “Tidak, jagoan. Mama tidak akan meninggalkan kita. Mama tidak akan pergi.”
“Papa janji?”
Saga memberi satu anggukan dengan penuh kemantapan.
“Mama sakit lagi. Apakah dia akan pergi lagi dengan adik kecil?”
Saga menelan ludahnya. Kepergian Sesil ketika putranya baru dilahirkan adalah karena Sesil sakit. Tentu saja ia bisa memahami kesedihan yang melapisi wajah mungil Kei. “Mama tidak sakit. Kau tahu, ada adik kecil di perutnya. Itu yang membuatnya sedikit lemah dan butuh perawatan. Kami hanya sedikit bertengkar dan akan segera berbaikan. Pertengkaran kami tak akan membuat kita berpisah. Mama dan adik kecil tidak akan meninggalkan kita berdua.”
“Papa janji?”
Saga memberi satu anggukan lagi. Kemudian bangkit berdiri dan membawa sang putra masuk ke dalam. Begitu masuk, tatapannya langsung bertemu dengan kekhawatiran di kedua mata Sesil.
“Kei sayang. Kau datang?”
Kei mengangguk, melepaskan tangannya dari pegangan Saga dan menghampiri sang mama.
“Kemarilah.” Sesil membuka kedua lengannya, ingin memeluk sang putra. Tetapi karena tinggi tempat tidur membuat bocah kecil itu kesulitan naik. Saga pun mengangkat sang putra dan mendudukkannya di pinggiran tempat tidur. Membiarkan Sesil memeluk sang putra.
“Melihat wajah anak mama yang tampan ini, rasanya mama sudah sembuh kembali,” gumam Sesil sambil mencium kening dan kedua pipi gembul Kei bergantian. Berkali-kali demi melepaskan kerinduan. “Mama sangat merindukan Kei.”
“Kei juga.” Kei merangkulkan kedua lengan kecilnya ke tubuh sang mama. “Mama sakit lagi?”
Sesil mengangguk pelan. “Tapi mama baik-baik saja.”
“Kapan mama pulang ke rumah?”
Sesil melirik ke arah Saga.
“Secepatnya, Kei. Setelah dokter mengatakan mama boleh pulang ke rumah.” Saga mengambil alih jawaban.
Kei mengangguk patuh pada jawaban sang papa. “Semoga mama cepat sembuh,” ucapnya sambil memajukan wajah dan mendaratkan ciuman di pipi kanan dan kiri Sesil.
Sesil tersenyum. “Rasanya mama akan sembuh dengan ajaib. Bolehkah mama mendapatkannya lagi?” Sesil memajukan wajahnya dan mendapatkan ciuman di pipi dari Kei sekali lagi.
Keduanya pun berbincang dan bercanda tanpa menyadari waktu sudah satu jam berlalu dan waktunya Kei pulang. Alec membawa bocah kecil itu pulang.
Saat Saga menutup pintu ruang perawatan setelah memastikan Kei dan Alec menghilang di ujung lorong. Raut wajah pria itu seketika berubah dingin dan Sesil terlihat terdiam. Tak ada jejak senyum dan tawa yang diberikannya pada Kei beberapa saat yang lalu.
“Kau puas?”
Sesil seperti tertohok dengan pertanyaan Saga yang dipenuhi kesinisan tersebut. Selama ini ia pikir semua perhatian yang diberikan oleh Saga karena pria itu terlalu mengkhawatirkannya. Menganggap semuanya terlalu berlebihan. Tanpa Sesil duga kalau keadaan janin dalam kandungannya memang cukup buruk.
Detak jantung janin di perutnya sangat lemah, lebih pada pengaruh stress berlebih yang dialaminya. Sesil pikir kekhawatirannya pada Dirga hanya miliknya sendiri, tanpa mengira akan berdampak pada janin dalam kandungannya.
Sesil menekan kedongkolannya akan kemarahan Saga padanya. Dengan suara yang lebih lunak, ia bertanya, “Apa saja yang dikatakan oleh dokter?”
Saga tak langsung menjawab. Terdiam mengamati kelunakan yang ditampilkan oleh wanita itu. Rupanya wanita itu memilih mengalah pada keadaan yang lemah dan memutuskan untuk menurutinya.
“Berapa lama aku harus melakukan perawatan ini?”
“Sampai keadaanmu baik-baik saja, tentu saja.”
“Apa yang bisa kulakukan untuk membantu keadaannya lebih baik?”
“Apa kau akan melakukan apa saja?” Saga masih tak bisa menahan nada sinis yang terselip dalam suaranya.
Sesil mengangguk. Mengabaikan kesangsian di wajah Saga. Apakah pria itu pikir dirinya tidak peduli pada anak mereka? Tetapi ia tak bisa menyalahkan pikiran Saga, dirinya tanpa sadar memang tak peduli pada keadaan anak mereka.
Saga terdiam, perlahan kemarahannya memudar dan tidak tega dengan sikap kasarnya. “Hanya turuti kata-kataku, Sesil. Dan berhenti mengkhawatirkan tentang apa pun dan siapa pun. Semua akan menjadi urusanku. Kau hanya perlu memikirkan anak dalam kandunganmu.” Jawaban Saga cukup panjang, tetapi kali ini suaranya lebih lunak dan lembut.
Sesil tak membalas atau bertanya lagi. Wanita itu berbaring miring dan menarik selimut hingga ke perut. Dengan tangan menempel di perut dan mengusapnya sejenak.
Saga masih terdiam di samping ranjang pasien. Duduk di kursi yang ditarik ke samping ranjang dan ikut menempelkan telapak tangannya di perut sang istri lalu mengusapnya pelan. “Lebih baik?”
Sesil mengangguk. Selalu dan selalu, sentuhan Saga membuatnya merasa jauh lebih baik. “Aku ingin tidur di pelukanmu,” pintahnya dengan suara yang lirih karena mengabaikan rasa malunya pada Saga.
Saga tak menunggu lebih lama. Bangkit berdiri dan memanjat naik ke ranjang. Membalik tubuh Sesil dan memeluknya dari belakang. Hanya dengan satu sikap manja ketika wanita itu membutuhkannya, semua kemarahan Saga seketika luntur. Ya, Sesil masih membutuhkan keberadaannya. Hanya itu yang dibutuhkannya. “Lebih baik?”
Sesil menggumam puas sambil memejamkan matanya. Kenyamanan dan kehangatan Saga selalu menjadi tempat terbaik yang dimilikinya. “Sangat.”
Keheningan menyelimuti keduanya untuk waktu yang cukup lama, tapi Saga tahu Sesil belum tidur.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Saga, tak ada lagi kemarahan dalam suaranya meski suaranya sedikit kesal.
“Apa kau akan membuangku jika aku bersikap menyebalkan sekali lagi?”
Saga tak langsung menjawab. “Kau pikir kau bersikap menyebalkan hanya sekali ini saja? Kenapa kau tidak bertanya saja, berapa banyak kesabaran yang sudah kuberikan untukmu? Apakah sudah menipis? Atau sudah habis?”
Sesil tak menjawab. Ia tak bisa menghitung berapa banyak sikapnya yang membuat Saga muak. Berapa banyak kemarahan Saga akan sikap keras kepalanya. Tentu saja ia tak bisa menghitungnya. Akan tetapi … “Aku tak bisa membayangkan jika harus kehilanganmu, Kei, dan juga mereka Saga.” Telapak tangan Sesil mengusap lembut perutnya.
Saga semakin merapatkan pelukannya. Mendaratkan kecupan dalam di kening Sesil dan berbisik, “Aku tak akan membiarkan kita terpisah lagi, dengan alasan apa pun.”
‘Kecuali dengan keinginanmu sendiri, Sesil. Kali ini kau yang berhak menentukan pilihanmu sendiri,’ lanjut Saga dalam hati.
***
Esok pagi, Sesil terbangun dan dokter datang untuk memeriksa. Tekanan darahnya masih cukup tinggi. Ia menangkap kekhawatiran di wajah Saga dan dokter ketika kedua pria itu saling pandang tanpa sepatah kata pun. Kemudian keduanya keluar, Sesil yakin sang dokter tengah menjelaskan keadaan janinnya yang sangat lemah pada Saga.
Tangan Sesil menyentuh perutnya, mengusapnya dengan lembut dengan tangisan yang tertahan. Ketakutan mulai merebak menyelimuti dadanya. “Bertahanlah, Nak,” bisiknya lembut. “Kalian harus baik-baik saja. Kumohon.”
Pintu terbuka dan Sesil mengangkat wajahnya. Wajah Saga masih terlihat muram meski pria itu berusaha keras terlihat semuanya berada dalam kendali pria itu. Sesil sendiri tak bertanya lebih jauh. Semua sudah terlihat jelas.
“Siang nanti kita akan melakukan USG.” Saga merapikan selimut Sesil yang sudah rapi. “Istirahatlah. Jika kau butuh melakukan sesuatu atau merasa tidak nyaman, aku di sofa.”
Sesil mengangguk. Kedua matanya masih melekat pada langkah Saga yang mengarah ke set sofa. Sibuk menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Ya, pria itu tak pernah meninggalkan ruangan ini sejak Sesil dirawat di rumah sakit. Semua pekerjaan dilakukan di ruangan ini. Hanya beberapa kali Saga meninggalkannya, ketika sepertinya situasi benar-benar mendadak. Itu pun dengan penjagaan yang ketat di depan pintu dan perawat yang mengawasinya.
Siang hari, Saga membawanya untuk melakukan USG. Usia kandungannya sudah menginjak sepuluh minggu. Ukuran kedua janin normal, dokter juga mengatakan pertumbuhan cukup baik meski rautnya menyiratkan sesuatu pada Saga.
Setelah Saga selesai bicara dengan dokter dan lagi-lagi Sesil menunggu di luar, akhirnya pria itu muncul meski kali ini cukup lama. Saga mendorong kursi roda Sesil, kembali ke ruang perawatan dalam keheningan. Sesil masih tak bertanya. Tak memiliki cukup keberanian untuk bertanya.
“Apa yang harus kulakukan agar semuanya baik-baik saja, Saga?” tanya Sesil setelah Saga membaringkannya di tempat tidur dan menyelimutinya.
Saga terdiam, mengamati kekhawatiran yang menyelimuti wajah pucat sang istri. Sesil jadi lebih banyak diam, tak membantah atau pun banyak bertanya seperti biasanya. Tentu Saga tahu kekhawatiran yang berusaha wanita itu sembunyikan karena takut untuk bertanya. “Semuanya baik-baik saja, Sesil,” jawabnya kemudian.
“Kau tahu itu tidak benar, Saga.”
Saga mendesah pelan dan panjang. “Kau hanya perlu banyak istirahat dan menenangkan pikiranmu.”
“Hanya itu, kan?”
Saga mengangguk sambil merangkum wajah Sesil dan mendaratkan kecupan di bibir.
“Keadaan mereka tak cukup serius, kan?”
Saga menatap lekat kedua mata Sesil. “Mungkin pengaruh dua janin, itulah sebabnya semua butuh perawatan yang extra. Semua perhatian harus lebih extra, dua kali lipat dari kehamilanmu sebelumnya. Jadi tubuhmu pun harus dua kali lebih sehat untuk membuat mereka baik-baik saja.”
Sesil mengangguk.
Saga terdiam. Lama keduanya saling diam, Saga tampak mempertimbangkan sesuatu. Kecemburuan masih menyelimuti dadanya akan kekhawatiran yang dimiliki Sesil tidak sepenuhnya milik kedua anak mereka dalam kandungan wanita itu. Tetapi sebagian adalah milik pria lain. Dirga. Sesil berusaha menyembunyikan hal itu. Sekaligus tak menyadari seberapa besar kekhawatiran yang telah diberikan wanita itu pada Dirga.
Dirga pernah menyelamatkan Sesil, itulah sebabnya wanita itu pun sulit untuk mengabaikan keberadaan ataupun keadaan Dirga. Setelah pengkhianatan besar-besaran yang dilakukan oleh orang-orang kepercayaan Dirga, memang hanya Sesillah satu-satunya orang yang dimiliki oleh pria itu.
Saga ingin menolak mentah-mentah fakta itu, tetapi ia juga tak ingin sang istri berhutang nyawa pada pria lain. Setidaknya dengan menyelamatkan Dirga, di masa depan Sesil tak akan menanggung hutang itu atau Dirga mencari alasan untuk menagih hutang tersebut.
“Dirga sudah bangun.” Suara Saga yang memecah keheningan tersebut membuat Sesil terpaku. Wanita itu mengerjapkan mata dua kali dan ada kelegaan yang besar dalam desah napasnya.
“Apa?”
“Dia sudah bangun. Meski masih belum membuka mata, keadaannya berkembang membaik. Dokter mengatakan tak butuh waktu lama untuk benar-benar bangun dan membuka mata. Keadaan terburuknya sudah terlewati.”
Kelegaan yang lebih besar menerjang Sesil. Wanita itu bernapas dengan baik. Menarik kedua lengan Saga dan membawa pria itu dalam pelukannya. “Terima kasih, Saga. Terima kasih sudah menyelamatkannya.”
Saga tak mengatakan apa pun, hanya membalas pelukan Sesil dan mencium ujung kepala wanita itu. Ia sudah membuang kekhawatiran Sesil untuk Dirga. Sekarang wanita itu hanya akan memikirkan anak-anak mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top