14. Tidak Baik-Baik Saja

14. Tidak Baik-Baik Saja

Ketiganya membeku, keheningan membentang di antara ketiganya dalam perjalanan Sesil menutup jarak di antara mereka dan berhenti tepat di samping Saga, menatap dokter Juan.

“Jadi Dirga sudah bangun?” Sekali lagi Sesil mengulang pertanyaan tersebut karena ketiganya membisu akan kedatangannya.

Dokter Juan mendapatkan satu kedipan mata dari Saga, pria itu langsung mengangguk sekali dan berpamit.

Sesil pun beralih pada Alec dan Saga yang tetap bergeming. Saga dengan kemarahan yang terpendam sedangkan Alec terlihat salah tingkah. Tak ingin terlihat memihak Sesil dengan kemarahan Saga yang sangat jelas. Rasanya pertengkaran Saga dan Sesil belum pernah terasa begitu menyesakkan seperti ini. Ya, ia tahu pemicunya. Ada Dirga di balik pintu yang ada di belakang mereka.

Sesil menunggu jawaban yang sia-sia. Ia menyelipkan tubuhnya di antara Saga dan Sesil, hendak meraih gagang pintu untuk memastikan apa yang baru didengarnya. Tetapi pergelangan tangannya ditangkap oleh Saga dan ditarik menjauh.

“Kembali ke atas,” desis Saga memerintah, membawa Sesil kembali ke arah tangga.

“Kalian belum menjawab pertanyaanku, Saga.”

“Kau hanya butuh tahu dia mendapatkan perawatan yang layak, Sesil. Satu-satunya hal yang perlu kau pikirkan hanyalah anak dalam kandunganmu.”

“Aku baik-baik saja.”

Saga menggeram rendah ketika Sesil sengaja menghentikan langkah sedangkan dirinya tak bisa berbuat lebih kasar dengan menyeret. Pria itu berbalik, menatap kekeras kepalaan dalam kedua mata sang istri yang tak akan berhenti sampai pertanyaan tersebut dijawab. Tanpa sepatah kata pun, Saga membungkuk dan dalam satu gerakan yang sigap membawa wanita itu dalam gendongannya. Tak memberi pilihan bagi Sesil selain mengalungkan kedua lengan di leher.

“Sebenarnya apa yang kalian sembunyikan? Kenapa aku tidak boleh tahu kalau Dirga sudah bangun? Apakah keadaannya memburuk?”

“Keadaanmulah yang memburuk, Sesil,” jawab Saga dengan kasar dan dipenuhi emosi.

Sesil terdiam, butuh dua kali mengulang kalimat Saga bagi wanita itu untuk terkejut. “Apa maksudmu, Saga?”

Saga tak menjawab. Terus menaiki anak tangga dan tetap tak menjawab pertanyaan Saga hingga keduanya masuk ke kamar tidur dan ia menurunkan Sesil di ruang ganti. Saga kemudian membuka pintu lemari pakaian Sesil dan mengambil satu lembar pakaian yang ada di hadapannya. “Pakai ini.”

Sesil hanya menatap pakaian itu tanpa menerimanya. “Untuk?”

Tak butuh mengulur waktu lebih banyak lagi, Saga membuka ikatan jubah tidur Sesil, tapi wanita itu bergerak mundur.

“Kenapa kau tak menjawab semua pertanyaanku?” Sesil mulai kesal dengan kebisuan Saga yang membuat rasa penasaran di dadanya semakin melonjak tak terkendali.

Saga pun tak kehilangan akal. Dalam satu langkah ke depannya, tangan pria itu meraih bagian depan baju tidur Sesil dan merobeknya. Sesil tersentak, keseriusan yang menggenapi kemarahan  di wajah pria itu membuatnya membeku. Membiarkan Saga melepaskan seluruh pakaian tidurnya dan mengganti dengan pakaian yang diambil pria itu dari lemari. 

Seteleh selesai, Saga mengambil jam tangan, kunci mobil, dan dompet pria itu di nakas. Dengan Sesil yang berada dalam genggaman tangan pria itu.

Sesil tak bertanya lagi ke mana Saga akan membawanya, tetapi semakin lama perjalanan keduanya berada keheningan dan hanya mengamati jalanan. Saat itulah Sesil menyadari keduanya tengah menuju rumah sakit.

“Rumah sakit? Kenapa kita ke sini?” Sesil akhirnya kembali buka sua  ra ketika mobil Saga benar-benar berhenti di depan rumah sakit.

“Turunlah.” Saga mengulurkan tangan setelah membukakan pintu untuk sang istri.

“Siapa yang sakit?” Sesil tetap menerima uluran tangan tersebut meski merasa begitu kesal Saga bersikeras tak menjawab pertanyaannya. Membawanya masuk dan mengarah ke ruangan dokter kandungan yang ada di lantai empat. Lelah bertanya dan yakin tak akan mendapatkan jawaban apa pun, Sesil membiarkan Saga melakukan apa pun yang pria itu inginkan. Bahkan ketika di ruangan dokter, dokter hanya bertanya segala macam keluhannya. Tanpa mengatakan apa pun.

“Apakah dia baik-baik saja?” tanya Sesil menangkap kegelisahan yang semoat tersirat di wajah sang dokter sebelum dokter itu saling bertatap muka dengan Saga. “Dia baik-baik saja, kan, Dok?”

Dokter tersebut hanya memberinya seulas senyum tipis. Kemudian Saga membantunya kembali merapikan pakaian dan memakaikan sandal serta menurunkannya dari ranjang pasien.

“Duduklah.” Saga mendekatkan kursi roda yang dibawa oleh perawat.

Sesil menatap kursi roda itu dengan penuh tanda tanya yang semakin besar. “Aku bisa jalan dengan kedua kakiku,” tolaknya dengan kasar sambil mendorong kursi roda tersebut menjauh.

Saga mendesah pendek dan dengan penuh kesabaran serta ketegasan yang begitu jelas, kembali mendekatkan kursi roda tersebut dan mendudukkan Sesil di sana. Lalu mendorong kursi roda tersebut keluar dari ruangan dokter.

Sesil masih mencoba menekan rasa penasaran dan kesabarannya menghadapi kebungkaman pria itu. Dan bukannya menuju lantai satu untuk kembali pulang, pria itu malah membawanya naik ke lantai 16 dan masuk ke dalam salah satu ruang perawatan. Dan sudah ada empat orang perawat yang sudah menunggu di dalam untuk mempersiapkan kedatangannya.

Saga menggendongnya dan mendudukkannya di ranjang.

“Kau masih tak ingin bicara?” Sesil kembali mengalah untuk bicara lebih dulu.

Saga mengambil pakaian khusus pasien yang diberikan oleh perawat, tetapi ketika Saga hendak membantu mengganti pakaian, Sesil kembali berulah dengan menyentakkan tangan Saga dan membuang pakaian tersebut ke lantai.

“Kenapa aku harus mengenakannya? Aku tidak sakit.”

Saga mendesah pelan, menatap kedua mata Sesil dan akhirnya membuka suara. “Kau harus berada dalam pengawasan dokter selama 24 jam.”

“Aku baik-baik saja. Apakah kau masih tidak mengeri?”

“Kau pikir untuk apa aku membawamu ke rumah sakit jika keadaanmu memang baik-baik saja, hah?”

“Karena kau tak ingin aku berada di rumah.”

Jawaban Sesil membuat Saga mengusap wajahnya dengan kasar. Walaupun ia tak ingin berada di rumah karena ada Dirga, tetap saja itu tak cukup membuatnya mengurung Sesil di rumah sakit. “Tidak bisakah kau tidak membantahku, hah?” Suara Saga mulai diselimuti ketegasan yang tak terbantahkan. “Sejauh ini, aku sudah menuruti semua keinginanmu. Untuk pria sialan itu atau untuk semua kebutuhanmu. Tidak bisakah kau menjadi penurut dan istri yang patuh untukku sebagai balasannya, hah?”

Sesil terdiam. Tak mengatakan apa pun lagi karena keseriusan di wajah Saga benar-benar membuatnya tak berkutik. Ia pun membiarkan Saga mengganti pakaiannya dengan pakaian pasien, kemudian perawat memasangkan jarum infus di punggung tangannya sedangkan Sagar berjalan keluar.

Sesil masih tak yakin dengan semua yang terjadi. Saga terlihat begitu khawatir, yang membuat Sesil ikut resah kalau memang janin dalam kandungannya memang tidak baik-baik saja.

Telapak tangan Sesil menyentuh perutnya yang masih rata, merasakah kehangatan di dalam sana. Ya, ia memang sering mendapatkan pusing maupun mual dan muntah yang tak tertahankan. Tetapi semua gejala itu normal untuk wanita hamil. Ia pernah mengalaminya ketika hamil Kei empat tahun yang lalu.

Saat Saga kembali ke dalam dan perawat selesai mengurusnya serta membawakan senampan makan pagi, Saga kembali ke dalam. Mengambil mangkuk sup di nakas dan menyuapkannya untuk Sesil.

Perhatian Saga yang penuh kelembutan tersebut menahan Sesil untuk berdebat. Ia sedang lapar dan ada rasa tak nyaman di perutnya. Ia kembali mual dan muntah di toilet sama banyak dengan yang masuk ke dalam perutnya.

Selama dua hari dirawat di rumah sakit, Saga masih tak mengatakan bagaimana persisnya keadaan dirinya dan janin mereka. Pria itu sibuk di sofa dengan berbagai macam pekerjaan meski tak pernah melewatkan untuk memberi perhatian yang lebih besar untuk Sesil. Setiap dokter selesai memeriksanya, Saga dan dokter akan bicara tanpa melibatkan dirinya. Lalu pria itu masuk kembali dan memastikannya beristirahat dan tak memikirkan apa pun.

Sesil tak tahan lagi dengan ketidaktahuannya, puncaknya sore itu. Setelah Saga selesai bicara dengan dokter yang memeriksanya, Sesil turun dari tempat tidur dan melepaskan jarum infus di punggung tangannya dengan paksa. Mengaduh kesakitan ketika darah mengalir dari punggung tangan.

“Apa yang kau lakukan, Sesil?” Saga tak menahan suara bentakannya keluar dengan kasar mendapati pemandangan mencengangkan tersebut. Menyambar dua lembar tisu dan menahan darah tersebut mengalir lebih deras. “Apa kau sudah gila!”

“Ya, aku benar-benar akan menggila jika aku bertahan lebih lama lagi di tempat ini!” Sesil mendongakkan wajahnya dengan kedua mata menatap lurus pada Saga yang wajahnya mengeras dengan kedua mata menggelap. “Aku ingin pulang.”

“Kau akan tetap di sini, Sesil.” Saga menarik tangan Sesil untuk kembali naik ke ranjang pasien. Tetapi bukannya menurut, Sesil malah mendorong dadanya menjauh.

“Setidaknya katakan alasan kenapa aku harus tetap ada di tempat menyesakkan ini, hah?” Kemudian tatapan Sesil menyipit, dengan kecurigaan yang memekat di permukaan wajahnya. “Apa kau menahanku di sini karena tak ingin aku bertemu dengan Dirga? Karena kau tidak bisa menghadapi kecemburuanmu? Jangan konyol, Saga.”

Rahang Saga semakin mengeras.

Sesil mendengus keras akan kediaman Saga. “Kau benar-benar kekanakan, Saga.”

“Apa? Aku?! Kekanakan kau bilang?!” desis Saga dengan tajam. “Lalu bagaimana denganmu, hah?”

“Karena tekanan emosi yang begitu sulit kau cerna, kau mendapatkan stress yang cukup serius. Tekanan darahmu tinggi, hingga saat ini masih belum kembali normal dan bahkan beberapa kali semakin tinggi. Apa kau masih tidak paham dengan situasimu, hah? Dengan keseriusan janin dalam kandunganmu?” Kalimat rentetan Saga keluar dengan penuh emosi. Menguarkan ketegangan yang membuat Sesil bergerak mundur karena tercengang dengan keras ketika menelaah lebih dalam kalimat penjelasan Saga.

“A-apa maksudmu?” Suara Sesil keluar dengan getaran yang tak bisa ditahannya. Tubuhnya bersandar pada ranjang pasien dan menatap wajah Saga yang berusaha bernapas dengan normal dalam engahannya. Wajahnya yang pucat semakin pucat, sekali lagi bertanya dengan bibir yang bergetar hebat dan kedua tangan memegang perut. “Apa yang kau katakan, Saga?”

“Kau bohong, kan? Semua yang kau lakukan ini hanya karena kecemburuanmu? Kenapa kau tidak percaya padaku? Aku hanya mencintaimu. Apa yang kulakukan untuk Dirga, itu untuk membayar semua hal yang diberikannya padaku. Kau ingat aku pernah berhutang nyawa dengannya. Aku tak mungkin bisa mengabaikan keberadaannya. Aku tak mungkin membiarkannya sekarat sementara aku bisa mengulurkan tanganku untuk menyelamatkannya.” Sesil mencoba menjelaskan. Memberi penjelasan yang sama yang tampaknya tak juga dimengerti oleh Saga. Dan berharap semua yang dikatakan oleh Saga hanyala kebohongan pria itu untuk bersandiwara.

Saga menatap wajah Sesil, dengan emosi yang masih menguat. “Karena tekanan darahmu yang tinggi, itu bisa membuat komplikasi yang serius untukmu atau janin. Yang lebih buruk adalah keduanya.”

Sesil menggeleng. Selama ini ia merasa baik-baik saja. Tubuhnya juga cukup kuat meski terkadang lemah dan sering mual dan muntah. Semua itu gejala yang normal.

“Aliran darah ke plasenta menurun, yang membuat janin dalam kandunganmu lebih sedikit menerima oksigen dan nutrisi yang diperlukan. Kau tahu artinya itu, kan? Detak jantungnya melemah. Apa ini masih tidak cukup serius di matamu?” tambah Saga menjelaskan. Menjelaskan setiap detailnya agar wanita itu paham apa yang tengah terjadi pada dirinya sendiri.

“Lalu kenapa kau tidak memberitahuku sejak awal, hah?”

“Kau pikir aku akan memberitahumu? Dengan semua pikiranmu yang dipenuhi pria sialan itu, apa kau punya tempat untuk memikirkan anakku, hah?”

“Dan kau pikir aku tidak peduli dengan anakku?”

“Itu yang terjadi, kan? Apa aku salah?”

Sesil tak menjawab. Kalimat Saga benar-benar mencengkeram dadanya dengan keras. Bibirnya bergetar, menahan tangis yang hendak tumpah. Ya, mungkin ia terlalu berlebihan memikirkan Dirga. Ia sendiri tak tahu bagaimana caranya berhenti meresahkan keadaan pria itu. Rasanya tak ada waktu yang terbuang tanpa memikirkan keadaan Dirga meski tahu pria itu sudah bangun. Semua karena Saga yang terus bungkam.

“Sudah cukup aku merasa muak dengan semua keraguanmu, Sesil.” Suara Saga menggelegar memenuhi seluruh ruangan. “Sekarang kau bisa memilih, anakku atau dia?”

Air mata Sesil tumpah, tanpa sepatah kata pun jawaban lepas dari bibirnya. Ia tak bisa memilih antara Dirga dan anak dalam kandungannya. Tidak ada pilihan di antara keduanya.

“Kau selalu menyesal setelah meninggalkan Kei, sekarang apakah kau akan menyesal setelah dia pergi? Mungkin aku dan Kei masih memberimu kesempatan untuk kembali bersama kami, Sesil. Tapi sekarang aku tak yakin kesempatan itu akan terulang.”

“Hentikan, Saga!” Isak tangis Sesil bercampur dengan rasa bersalah yang teramat besar. Bayangan jika ia harus hidup tanpa Kei dan kehilangan anak dalam kandungannya saat ini benar-benar terasa begitu mengerikan. “Aku tak ingin kehilangan Kei lagi maupun anak ini. Aku tak bisa.”

“Kata-katamu saja tak cukup, Sesil.”

Tangisan Sesil semakin tersebut. “Lalu apa yang …”

“Mama? Papa?” Suara Kei yang lirih mendadak menyeruak ketegangan di antara Saga dan Sesil yang berdiri saling berhadap-hadapan. Wajah mungil anak itu memucat dan kedua mata polosnya tercengang dengan keras menemukan kedua orang tuanya yang saling berteriak dengan penuh emosi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top