13. Dirga Sudah Bangun
13. Dirga Sudah Bangun
“Tidak habis lagi?” Saga menggeram. Membanting nampan berisi sisa makanan yang dipegang pelayan di depannya kemudian melangkah masuk ke dalam kamar. Tidak ada Sesil di tempat tidur, dan pintu kamar mandi terbuka setengah. Menyusul suara muntahan yang begitu keras.
Saga bergegas mendatangi suara yang terdengar semakin menyiksa itu, membuka pintu kamar mandi dan membungkuk di belakang Sesil. Mengusap punggung wanita itu meski dadanya masih bergemuruh oleh kemarahan. Sudah berhari-hari wanita itu tak bisa menelan makanan lebih dari tiga suap dan lebih banyak yang wanita itu muntahkan. Bersikeras tak ingin ke rumah sakit. Saga yakin berat badan wanita itu sudah turun beberapa kilo. Jika keadaan ini terus berlanjut, pasti akan membuat anak di perut Sesil berada dalam bahaya.
Sesil mengusap bibirnya dengan punggung tangan sambil menengok ke belakang. Matanya berair dan keringat membasahi seluruh wajah. Kehilangan tenaga bahkan untuk bersuara.
Saga mengangkat tubuh lemah itu dalam gendongannya dan membawanya keluar kamar mandi. Setelah membaringkan Sesil, pria itu mengambil segelas air putih di nakas dan memberikannya pada Sesil. Sesil meminumnya beberapa teguk dan kembali berbaring.
“Apa kau benar-benar ingin membunuh anakku secera perlahan, huh?” sergah Saga dengan nada dingin.
Pertanyaan tersebut segera membuat Sesil kembali membuka mata. Menatap kemarahan di wajah Saga. Pria itu pasti mengira keadaannya yang semakin menggenaskan ini karena ia terlalu banyak mengkhawatirkan Dirga. “A-apa maksudmu, Saga?”
“Aku tak akan menunggu sampai pria itu sembuh.”
Sesil meraih pergelangan tangan Saga.”Ini tak ada hubungannya dengan Dirga, Saga.”
“Begitukah?” Kesangsian begitu jelas menyelimuti wajah Saga.
Sesil tak yakin dengan jawabannya sendiri, tetapi tangannya yang lemas meremas pergelangan tangan pria itu. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya berusaha mempertahankan Saga tetap di sini atau pria itu akan mendatangi ruang perawatan Dirga dan melakukan sesuatu yang tidak diketahuinya.
Saga mendengus, tangannya sudah akan menyentakkan tangan Sesil dengan kesal ketika ia merasakan tarikan tanpa daya wanita itu. Yang tak pernah tak bekerja untuk melemahkannya.
“Bisakah kau memelukku?” Suara Sesil yang lirih dan tak memiliki kekuatan berusaha terlepas. “Aku ingin tidur.”
Kedua mata Saga terpejam. Sesil sudah tak menghabiskan makanannya dan bahkan memuntahkan isi perut wanita itu beberapa saat yang lalu. Kepucatan di wajah sang istri pun membawa Saga naik ke tempat tidur. Memeluk Sesil dari belakang. “Kau puas?”
Sesil tak menjawab, semakin menenggelamkan tubuhnya di dalam pelukan pria itu. Lengan kiri Saga sebagai bantalan dan lengan kanan pria itu yang memeluk perutnya yang masih rata. Kedua matanya terpejam, merasakan kehangatan dan kenyamanan yang hanya dimiliki oleh Saga. Hanya untuknya. Pun dengan kekesalan Saga padanya. Lagipula pria itu hanya cemburu. Yang membuktikan bahwa Saga mencintainya.
“Kau terlihat sangat nyaman berada dalam pelukanku, tapi lihatlah apa yang dipikirkan oleh kepalamu. Kau memikirkan pria itu, bukan?”
Sesil membuka matanya. Tak menyangkal ataupun mengiyakan. Wanita itu membalik tubuhnya menghadap Saga dan sedikit mendongakkan wajah demi menatap seluruh permukaan wajah Saga. Tangannya terangkat, meletakkan telapak tangannya di rahang sang suami sebelum menjawab, “Kau ingin aku menyangkalnya?”
Saga mendengus. “Jangan bermain tebak-tebakan denganku, Sesil.”
“Apa kemarahanmu masih belum hilang meski aku berada dalam pelukanmu?”
Suara Sesil terdengar lembut dan memanjakan telinga Saga. Priaitu tetap bergeming. Kemarahannya memang sudah lenyap ketika Sesil memeluknya, tetaupi jelas tidak dengan kecemburuannya.
“Kalau begitu aku akan jujur. Aku menahanmu.”
Wajah Saga mengeras, geraman rendah terdengar dari antara sela bibir pria itu yang merapat.
“Tapi aku lebih banyak menginginkan pelukanmu. Aku membutuhkannya.”
Geraman di dada Saga perlahan mereda. Bukan hanya karena kata-kata pria itu, melainkan karena kejujuran di mata Sesil yang tak bisa ia tolak. Ya, seberapa pun besarnya Sesil mengkhawatirkan Dirga, wanita itu adalah miliknya. Sepenuhnya. Atau masih? Seujung keraguan hinggap di dalam dadanya.
“Kau tahu, kehamilanku kali ini terasa berat. Aku tak tahu kenapa, tapi tubuhku seperti menjadi lebih lemah. Aku …” Sesil menggigit bibirnya. “Aku hanya takut, Saga.”
“Takut apa?”
Sesil menggeleng pelan.
“Katakan, Sesil.”
Sesil tak langsung menjawab, menatap kedua mata Saga dan berkata, “Kau tahu, saat melahirkan Kiano, kupikir aku akan kehilangannya.”
Kerutan membentuk di kening Saga. Teringat saat Sesil melahirkan Saga. Saat itu adalah masa tersuram yang pernah terjadi di hidupnya. Saat dokter memberinya pilihan antara Sesil atau Kiano.
“Aku takut hal itu akan terulang.” Suara Sesil semakin lirih dan sepenuhnya lenyap.
Tangan Saga yang berada di pinggang bergerak naik. Merangkum wajah mungil Sesil yang rasanya semakin tirus. “Kau tahu Kiano baik-baik saja. Dia tumbuh dan sekarang menjadi anak yang hebat.”
“Keadaannya sangat lemah, bukan?”
Saga terdiam. Ya, meski Kiano berhasil hidup. Saat itu keadaannya memang sangat lemah. Butuh waktu beberapa bulan untuk bertahan hidup dengan berbagai alat penunjang hingga akhirnya benar-benar bisa keluar dari rumah sakit. “Kau tahu aku tak akan membiarkan hal buruk menimpa kalian.”
Sesil mengangguk tanpa ragu dengan seulas senyum tipis. “Aku mencintaimu, Saga.”
Dada Saga serasa mengembang dengan puas akan kalimat tersebut, pria itu sedikit menurunkan kepalanya demi mendaratkan satu lumatan yang dalamdi bibir sang istri yang pucat. “Kau tahu aku lebih mencintaimu.”
Sesil tak membalas, ia benar-benar mengantuk dan perlahan matanya tertutup.
Saga tersenyum, lama menatap wajah Sesil hingga akhirnya wanita itu benar-benar terlelap karena kelelahan. Setelah merasa cukup puas melahap kecantikan Sesil, Saga sedikit mengurai pelukannya dan mengambil ponsel di dalam saku celananya. Menghubungi dokter untuk setidaknya memberikan Sesil infus agar wajahnya tak sepucat mayat.
Dan ternyata apa yang dikatakan oleh dokter lebih parah dari itu. Saat dokter Juan mengambil sampel darah Sesil, Hb wanita itu benar-benar drop. 7 g/dL. Saga tak beranjak dari tempat tidur selama dua hari. Hanya untuk memastikan wanita itu memakan semua makanan ke mulut meski beberapa kali memuntahkannya. Obat mual yang diberikan dokter sama sekali tak berpengaruh, wanita itu tetap sering mengalami mual. Beruntung, setidaknya infus masih cukup membantu untuk memberikan asupan gizi untuk tubuh Sesil.
Malam itu, Sesil benar-benar merasa putus asa dan tak berhenti bergerak dengan gelisah di tempat tidur. Saga yang duduk di sofa dengan tumpukan map tebal di meja pun jelas tak bisa mengabaikan keresahan wanita itu.
“Aku ingin ke kamar Kei.” Sesil akhirnya memberanikan diri membuka suaranya di tengah keheningan.
“Dia sudah tidur.” Jawaban Saga singkat dan dingin, tanpa mengangkat wajah dari berkas di hadapannya.
Sesil mendongak, menatap jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan. “Mungkin belum.”
Tatapan Saga menajam, menutup berkas di depannya dengan gerakan setengah membanting dan mengangkat kepalanya secara perlahan. Menatap Sesil yang duduk membeku di tempat tidur.
“Apa kau tak tahu kalau stress juga bisa memengaruhi …”
“Kau berada di pisisi yang tepat untuk mengancamku, Sesil.” Sindiran yang sangat kental bercampur dalam suara Saga yang dipenuhi emosi. “Sangat tepat dan kau tahu bagaimana menggunakannya dengan baik.”
Mulut Sesil yang terbuka seketika tertutup rapat. Menatap ketegasan di mana Saga dan memutuskan tak akan membantah. “Aku hanya ingin membacakan dongeng, Saga,” ucapnya lirih. Kemudian berbaring dan menarik selimut hingga ke pundak. Memunggung posisi Saga yang masih duduk di sofa dengan kemarahan yang terpendam.
Saga menghela napas dengan gusar, mengusap wajah dengan telapak tangan dan bangkit berdiri. Menyesal kata-katanya terdengar sekasar itu. Pikirannya benar-benar sangat penuh. Tentang Sesil dan Dirga yang masih tak menunjukkan tanda-tanda akan bangun dari koma.
Belum lagi ketika dokter memeriksa Sesil dan kandungannya, dokter mengatakan kalau denyut jantung janin mereka lemah. Dan untuk memastikanya, mereka harus pergi ke rumah sakit yang perlengkapannya lebih lengkap. Sekarang ia tak tahu bagaimana harus memberitahu hal yang sesungguhnya pada wanita itu. Pun ia yakin pasti akan membuat Sesil semakin tertekan dan yang paling buruk tekanan tersebut akan semakin memperburuk keduanya.
Saga memperbaiki selimut Sesil dan menyalakan lampu dalam mode tidur sebelum beranjak ke kamar mandi. Mengguyur tubuh dengan air dingin.
***
Esok paginya, Sesil bangun tanpa Saga berada di sisinya. Dengan membawa kantung infusnya, Sesil beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi. Karena Saga tak muncul juga setelah Sesil selesai, wanita itu memutuskan untuk berjalan keluar setelah beberapa menit mempertimbangkan.
Rasanya tubuhnya cukup kuat untuk turun dari tempat tidur maupun berjalan. Ia pun mengendap ke kamar Kei.
“Mama?” Suara terkejut Kei menyambut Sesil begitu wanita itu menjulurkan kepala di antara celah pintu.
Sesil melangkah masuk, menghampiri sang putra yang baru keluar dari kamar mandi dan hendak mengenakan seragam sekolah. Rambut putranya masih basah, yang masih menetes jatuh ke jubah handuk yang dikenakan. “Kau lihat papamu?”
Kei menggeleng.
Sesil tersenyum, membungkuk dan membawa putranya ke dalam pelukannya. Meluapkan kerinduan selama dua hari ini karena hanya dibiarkan bertemu Kei dua kali selama dirinya dipaksa berbaring di tempat tidur oleh Saga. “Mama sangat merindukan Kei.”
Kedua lengan mungil Kei membalas pelukan sang mama. “Kei juga. Apa mama sudah sehat?”
“Ya, tentu saja.” Sesil mengurai pelukannya lalu merangkum wajah mungil sang putra yang sepenuhnya memiliki wajah Saga. Meski begitu, Sesil harap anak keduanya juga akan mirip Saga. “Hanya melihat wajah Kei, rasanya mama mendapatkan banyak kekuatan utuk berjalan kemari. Demi memeluk putra kesayangan mama.”
Senyum yang melengkung di kedua bibir Kei menambah kebahagiaan yang mengembang di dada Sesil. Wanita itu memeluknya sekali lagi, dan akan terus memeluknya jika tidak ingat Kei harus segera bersiap untuk pergi ke sekolah.
“Apa Kei butuh bantuan mama?” tanya Sesil meski tak yakin bisa membantu apa. Di usianya yang mencapai 4 tahun, Kei seolah bisa mengurus diri sendiri lebih baik ketimbang Sesil.
Kei menggeleng, tak ingin membuat mamanya yang baru sembuh terepotkan.
Sesil meringis dalam hati. Kemudian ia menegakkan punggungnya dan berkata, “Kalau begitu mama tidak akan mengganggumu. Mama harus mencari papa.”
Kei mengangguk dan Sesil berbalik keluar setelah sekali mendaratkan kecupan di kening dan kedua pipi gembut Kei. Sampai di luar, Sesil melanjutkan mencari Saga. Di ruang kerja maupun ruang santai pun tidak terlihat. Sepertinya pria itu tidak ada di lantai 2. Sesil pun turun ke lantai satu.
“Apa kau melihat suamiku?” tanya Sesil pada pelayan yang muncul.
“Baru saja bersama dokter Juan dan tuan Cage.”
Sesil pun bergerak ke kamar tamu tempat Dirga dirawat. Benar saja, begitu berbelok di ujung lorong pendek, Sesil melihat Saga dan Alec yang berdiri di depan dokter Juan. Ketiganya tampak terlihat pembicaraan yang serius di depan pintu kamar tamu. Kedua mata Sesil bergerak memindai setiap ekspresi di wajah ketiganya sembari melangkah mendekat. Dan langkahnya sempat membeku ketika telinganya sempat menangkap apa yang dikatakan oleh dokter Juan.
“Apa?” Suara pekikan Sesil mengalihkan ketiga pria tersebut yang segera menoleh. Menemukan Sesil yang mendadak muncul. Karena terlalu fokus dalam pembicaraan sehingga tidak menyadari kedatangan wanita itu. “Dirga sudah bangun?”
***
Di Karyakarsa udabh up bab 39-40 ya. Jangan lupa follow ..
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top