Tidak Perlu Menangis
Tidak ada yang perlu ditangisi di dunia ini. Sedih ya sedih saja secukupnya, karena kesedihan akan selalu datang meski kita tidak siap.
***
Mungkin semua kisah di sini terasa seperti buku harian pribadi yang notabene-nya tak pantas untuk diketahui dan disebar. Namun, mari mulai saja.
Trust issues, bahasa keren dari ketidakpercayaan, saat kalian berhadapan dengan suatu hal yang tampak bisa dipercaya padahal sebenarnya tidak, baik keluarga, teman, maupun sebagainya.
Kata itu adalah kata pertama saat aku berhasil melangkahkan kaki di kelas 11.
Tidak ada yang buruk, aku tipe yang mudah bergaul. Namun, sepertinya kelas semester ini sedikit keterlaluan. Entahlah, tidak bisa dideskripsikan. Tetap lanjutkan saja bacamu, kemudian simpulkan sendiri.
Satu hal yang aku ketahui saat ini, aku sudah berumur 16 tahun. Sebentar lagi dapat kartu tanda penduduk, artinya sebentar lagi sudah menjelang dewasa. Apa yang dilakukan orang-orang dewasa? Menentukan jalan hidupnya mau bagaimana ke depannya.
Entah kapan dimulainya, tetapi aku berusaha untuk tidak mencari contekan saat mengerjakan sesuatu, karena sudah satu jalan hidup yang kupilih meskipun belum dewasa secara matang: hidup dengan penuh pemikiran kritis. Gunakan internet saja daripada minta teman, meski bisa dibilang sama saja mencari contekan.
Namun, ini kasus yang berbeda. Seminggu yang lalu, sekolah mengadakan penilaian tengah semester. Penilaian untuk mengukur sejauh mana pemahaman kita mengenai materi pembelajaran selama tiga bulan.
Aku bisa mengerjakan semuanya meski dengan hasil yang tak memuaskan. Ada banyak soal salah karena kurang teliti dan semuanya terpaku pada materi, bukan pendapat. Jadi, jika A adalah opsi yang benar dan B adalah opsi yang salah, tetapi kamu tahu bagaimana cara membenarkan B. Namun, hal ini tidak berlaku pada penilaian kali ini, bahkan meski ada alasan pun jawaban B akan dianggap tidak benar.
Pantas saja pemikiran kritis pelajar sekarang masih dipertanyakan.
Mengenai nilai, asal semuanya di atas standar, aku tidak terlalu memikirkan karena di atas standar artinya aku sudah menguasai materi semester sebanyak 80 persen. Tinggal bagaimana cara untuk memahaminya dalam kehidupan.
Namun, di sinilah permasalahannya dimulai. Teman-temanku mendapatkan nilai yang sangat tinggi, bahkan angka 100 saja bisa jebol—ibaratnya. Entah bagaimana anak-anak pendiam itu bisa dapat segitu saat selama pembelajaran sebelum penilaian mereka tidur di kelas atau memainkan ponsel mereka.
Mereka bisa saja belajar giat di rumah, lebih giat dariku, tapi semua itu dipatahkan saat aku tahu bahwa mereka sudah mendapatkan contekan dari kelas lain.
Begini, jika kelas A sudah ulangan Seni Budaya, dan esok hari kelas B akan ulangan Seni Budaya, maka murid-murid kelas B akan meminta jawaban dari kelas A.
"Hei, nomor 1 sampai 20 apa jawabannya?" tanya murid-murid kelas B.
"Oh, nomor 1 jawabannya ...." Begitulah.
Kemudian, saat tiba masanya, mereka mengerjakan ulangan Seni Budaya dengan contekan yang sudah ada. Tanpa belajar, tanpa banyak usaha yang berlebihan, mereka bisa dapat nilai tinggi. Berbeda denganku yang harus berusaha keras memahami materi, tetapi mentok di nilai standar karena kurang teliti saat pengerjaan.
Salahku sendiri.
Apakah cuma satu kasus? Tidak, ada banyak kasus seperti ini. Mereka mendapatkan nilai yang tinggi di berbagai mata pelajaran. Bagaimana denganku? Aku sudah menyerah dengan mereka, jadi aku menurunkan nilaiku sendiri.
Tidak ada gunanya nilai setara dengan mereka-mereka yang mencontek.
Maksudku adalah apakah mereka semalas itu untuk belajar? Apa susahnya baca materi sedikit demi sedikit? Bahkan salah satu anak di angkatanku yang terkenal dengan kepintarannya pun belajar setiap malam untuk mempersiapkan ulangan. Sangat sial orang-orang yang ditakdirkan mendapatkan jalan pintas seperti mereka.
Ya sebenarnya mencontek memiliki keuntungannya sendiri: guru tidak perlu repot baca hasil jawaban murid-muridnya yang berbeda-beda dan kemudian kecewa karena hasil yang mereka dapatkan rendah dari ekspetasi. Pemalas.
Kerugiannya adalah bagi mereka yang serius belajar. Belajar dengan tekun, ternyata masih kalah dengan yang mencontek. Bayangkan seberapa sakit hati mereka saat itu.
Guruku pernah berkata, "Jika kamu dapat nilai bagus di ulangan ini, kamu punya potensi untuk ikut olimpiade."
Coba kalian tanyakan ke teman-temanku mengenai hal tersebut. "Nilaimu bagus, ikut olimpiade, yuk!"
"Ah, enggak deh. Kapan-kapan saja."
Bayangkan kalau ini ditanyakan ke teman-temanku, aku bisa pastikan mereka tidak akan berani dapat nilai 100 lagi.
Kekesalanku bukan hanya ini.
Begini, setiap jam Matematika, teman-temanku nyaris 80 persen tertidur pulas. Namun, mereka mendapatkan nilai di atas rata-rata.
Mereka mungkin belajar di rumah sebelum aku mengetahui bahwa mereka mendapatkan contekan dari kelas lain, seperti kasus sebelumnya. Jadi, mereka bisa mengerjakan soal tanpa banyak hutang-hitung yang hanya membuang-buang waktu. Ini mengesalkan untukku yang kepalanya sudah mau meledak karena mengingat-ingat semua rumus Matematika semester ini.
Tuhan memang Yang Maha Pemberi Kemudahan, tetapi kenapa Dia lancarkan orang-orang ini berjalan di jalan pintas yang menyakiti hati orang lain? Dia seakan-akan memihak mereka dan menyayangi mereka, diberikan mereka kesempatan dapat contekan, dan sebagainya.
Panggil saja aku bodoh dan siput karena aku tidak secepat mereka untuk mendapatkan contekan dan tidak mencari tahu. Bahkan bagi mereka, aku tidak perlu mencari tahu karena aku sudah pintar sejak masih berupa sel telur di dalam rahim Mamakku.
Bahkan bagi mereka, aku adalah orang yang diwaspadai agar nilainya tidak tertinggi di dalam kelas. Mereka memutuskan untuk mengalahkanku dengan contekan.
Aku sangat minta maaf untuk semua trust issues ini, tetapi itulah kenyataannya. Terkadang aku merenungi perbuatan mereka. Saat jam Matematika, mungkin hanya aku yang memperhatikan dengan seksama dan paling awal mengumpulkan tugas. Saat jam Seni Budaya, mungkin hanya aku yang tetap membaca buku pelajaran untuk mencari jawaban dari soal-soal yang diberikan daripada mereka yang asik memainkan ponselnya sebelum meminta jawaban kepadaku.
Aku tahu bahwa keputusan hidup orang-orang berbeda-beda, tetapi apakah ini keputusan hidup yang mereka inginkan? Meniru orang lain sampai tak bisa bekerja sendiri? Aku berharap di masa yang akan datang, di masa depan saat mereka sudah bekerja, buah kerja licik mereka tidak termakan oleh mereka sendiri.
Kemudian, apa salahnya untuk membiasakan diri mencari jawaban sendiri? Tidak perlu mencontek, cukup belajar dengan rajin dan percaya diri. Kita akan otomatis mendapatkan nilai yang bagus.
Entahlah, aku bukan siapa-siapa yang berhak menghentikan mereka. Setiap mereka beraksi, aku hanya diam. Jika berusaha menegur, mereka malah mungkin akan mengapa-apakanku. Aku tidak mau sedih lebih lanjut.
Mungkin untuk orang-orang yang sudah berjuang, saat mereka mengetahui semua hal di atas, mereka akan menangis karena perjuangan mereka sia-sia dan malah kalah dengan orang yang curang. Mereka bisa putus asa dan tidak mau berjuang lagi.
Untunglah aku tidak termasuk ke sana. Aku hanya sedih karena mereka tidak memikirkan dampak buruknya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top