Sorry, I am Done

Tw: Mental illness, suicide.


Pintu kaca bergeser pada balkon lantai dua. Memperlihatkan sosok kurus dengan celana pendek dan kemeja kebesaran. Rambutnya pendek. Sambil berdiri mematung, diangkat wajahnya yang cantik. Menatap gelapnya angkasa. Kosong; tak ada rembulan, apalagi bintang, persis seperti matanya.

Sesak. Hampa.

Katanya, rasa sakit paling pedih adalah tidak merasa, tapi itulah yang kini ia rasa. Apa bedanya kini ia dengan boneka? Atau, katakan saja robot; mesin yang berlakon seperti manusia. Tersenyum, tertawa, sedih. Lucunya, itu hanya tergambar di wajah, dari otaknya, bukan sesuatu di antara rongga dada. Hatinya telah hilang. Tertelan fakta mengerikan bahwa, yang merasa akan lebur.

Ia mendengkus. Diselipkannya jemari pada kantong celana, meraih sebungkus tembakau yang akhirnya diletakkan pada celah bibir, dibakar dan diisap. Dibiarkannya asap memenuhi paru, yang menghilangkan sesak beberapa waktu, hingga keluar, mengepul, terbang dan hilang.

Bukankah dunia ini penuh dengan permainan? Bukankah dunia ini penuh dengan iblis? Ia muak.

Ponselnya berdering di kantung celananya yang lain. Pesan dari seseorang yang telah mengambil hatinya, lalu dibuang entah ke mana. Tidak peduli ke mana ia mencari, tak pernah lagi ia dapati. Ia menyerah.

Pesan itu berbunyi: "I'm sorry."

Dadanya bergemuruh. Ia terkekeh, lalu tawa itu membesar dan menjadi terbahak-bahak. Seolah itu lucu.

Lalu, pesan lain muncul dan bertuliskan: "Hey, apa kabar?"

Kali ini ia tidak tahu harus bagaimana bereaksi. Tiba-tiba tubuhnya gemetar, dan tak kurang dari satu sekon, dilemparkannya benda itu ke atas langit. Jatuh entah di mana, dan hancur.

Matanya memanas, tungkainya melemah. Ia tersungkur jatuh dengan kedua tangan memegang pembatas balkon. Tak kuasa lagi menahan air mata yang kini merembes dan jatuh ke lantai.

Tidak ada yang tersisa. Ia hanya ingin mati.

--

Keesokan hari, ia terbangun dengan tubuh sakit dan lelah. Matanya sembap, namun bola matanya kosong. Butuh sepuluh menit ia untuk terbangun, setelah berjam-jam lalu tak bisa tidur.

Di tepi kasur, diliriknya surat yang ia siapkan semalam—tergeletak di meja kerja—lalu dengan susah payah bangkit menuju kamar mandi.

--

Di kantor tempatnya bekerja, seorang pria berperut buncit berteriak-teriak memanggil sebuah nama, "Mana Dewi?"

Orang-orang di sana melihat satu sama lain, dan seorang wanita berambut panjang melirik bangku dari meja sebelahnya yang kosong, "A-anu, Pak. Dewi belum datang."

"Bangsat! Hari ini ada meeting penting dan proposalnya belum diberikan ke meja saya!"

Pintu kaca terbuka. Dengan celana jeans pendek, hoodie hitam beserta sepatu kets ia masuk.

"Saya di sini, Pak!" serunya nyaris berteriak.

Semua orang menatapnya dengan tak percaya, termasuk pria berperut buncit; Pak Iwan, atasannya.

"Ini proposalnya." Dewi mengambil berkas di dalam ras dan memberikannya pada Pak Iwan dengan masa bodoh. "Dan, saya resign. Terima kasih."

Pak Iwan menatap berkas dan surat pengunduran diri itu, diam, lalu menatap wajah Dewi dengan bingung. "Tapi hari ini kamu—"

Dewi mengangkat telapak tangannya. "Kasih aja kerjaan saya sama Sandra, Pak. Menurut Bapak kan dia lebih hebat segala-galanya dari saya."

Semua mata menatap wanita—yang menurut sebagian besar lelaki—paling cantik di ruangan itu. Sedangkan yang ditatap entah kenapa merasa begitu malu.

Dewi tersenyum, membungkuk, lalu melenggang pergi tanpa mengatakan apa-apa, atau membiarkan orang lain mengucapkan perpisahan dan lainnya. Baginya, omong kosong tidak diperlukan.

--

Seorang wanita paruh baya meletakkan makanan yang baru dimasaknya ke meja makan. Rambut panjangnya yang sebagian telah memutih dipanggul, dengan baju daster dan sedikit polesan lipstik, meski telah dimakan usia ia tetaplah cantik.

"Ma," panggil Dewi di ambang pintu. "Masak apa hari ini?"

Mamanya melongo. "Eh? Kok kamu udah pulang? Enggak kerja hari ini?"

"Oh, libur, Ma."

"Kenapa?"

"Ada deh."

Dewi tersenyum lalu melenggang mendekati ibunya. Di hadapan wanita yang telah melahirkannya, ia tersenyum. Disentuhnya wajah yang penuh kerut.

"Ma, kok Mama cantik banget sih?"

"Ada apa sih? Bukannya Mama emang tiap hari cantik?"

Dewi terkekeh, lalu mengangguk keras membenarkan. "Mama yang paling cantik. Mama yang paling baik. Mama yang paling Dewi sayang." Lalu gadis itu terkekeh pelan.

Namun, hal itu justru menimbulkan semburat khawatir di wajah sang ibu. "Kamu kenapa?"

"Aku kenapa? Enggak kenapa-kenapa. Yuk, makan!" Dewi menuntun ibunya duduk, dan ia pun duduk di sebelahnya. "Kalo pagi, Dewi kan cuma makan roti. Siang makan di kantor. Malem sering lembur. Jadi Dewi jarang banget makan sama Mama selain di hari Minggu."

Ibunya diam. Tidak bereaksi. Sikap anaknya membuatnya heran.

"Ma, ayo makan," seru Dewi lagi setelah mengisi piring ibunya dengan nasi dan ayam, begitu juga piringnya.

Ibunya mengangguk, tapi gadis itu Sam sekali tidak ada nafsu melahap makanannya, dan di sela acara makan siang mereka, ia kembali berkata, "Ma, kenapa, sih, Mama enggak mau nikah lagi?"

Ibunya pun menghentikan gerakan tangannya dan menatap mata anaknya. "Buat apa? Kan Mama ada kamu."

Dewi tersenyum miris. "Dewi kan udah gede. Pasti nanti Dewi nikah. Harus hidup pisah sama Mama."

Mamanya terkejut. "Kamu udah punya pacar?"

Dewi mengangguk.

"Nanti kenalin sama Mama, ya?"

Dewi terkekeh. "Gampang. Yang penting Mama janji mau hidup sehat dan bahagia buat Dewi. Dewi khawatir kalo Dewi enggak ada Mama mau sama siapa?"

"Kan Mama bisa ikut kam—"

"Enggak. Enggak boleh." Dewi menggeleng lemah. "Mama yang bilang kan enggak baik berkeluarga tapi hidup sama orang tua?"

Mamanya tersenyum getir.

"Makanya nikah."

Mamanya tak membalas, dan itu membuat gadis itu sedih. "Ma, Dewi sayang Mama." Kini matanya berkaca-kaca. "Aku sayang banget sama Mama."

Lalu, tanpa membalas ucapan ibunya ia memeluk wanita itu. Begitu erat. Begitu lama. Dengan rasa sesak dan kalut di dada.

--

Dewi berdiri di tepi sungai, menatap air yang permukaannya tenang. Membayangkan berapa dalam airnya dan seberapa deras arusnya. Berapa lama ia harus menahan sakit karena tak ada oksigen yang memenuhi paru-parunya.

Tapi, dadanya sendiri terlalu sakit. Ia merasa tidak cocok hidup di dunia yang bobrok ini. Sedangkan ibunya, Dewi berharap ia mengerti.

Ia lelah.

Lalu ia mengambil napas panjang, dan memanjat terali besi.

"Pa, Dewi kangen."

Segalanya terasa begitu cepat. Matanya memejam. Tubuhnya terbang. Suara air adalah hal terakhir yang didengar. Serta gelap adalah satu-satunya hal yang terlihat.

Maaf. Ini yang terakhir.

End

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top