Seduh Sedih
Trigger Warning: Tragedi, Trauma, Mental Illness, Perkataan Kasar
Kopi yang sejak satu jam lalu belum juga habis, masih kupandangi beberapa kali sembari sesekali mengusap dahi dengan kasar. Rasanya pusing, lelah, ingin tidur tapi tak bisa. Aku terus memikirkan dia, Risa, perempuan lugu yang meneleponku berkali-kali. Bukan tanpa alasan, beberapa jam yang lalu, aku bilang padanya kalau aku sedang tidak baik-baik saja. Namun, rasanya sulit untuk berbicara kepadanya. Maksudku, untuk mengeluarkan apa yang ada di kepalaku, itu susah.
Telepon kembali berdering lalu berhenti. Kutunggu beberapa menit, tidak ada panggilan susulan lagi. Kembali kuseruput kopi. Kurasa itu panggilan terakhir darinya. Aku mengecek ponsel, kubuka WhatsApp, puluhan pesan darinya sudah menanti di sana. Aku tidak membacanya, karena kupikir itu hanya akan membebani pikiran. Tanpa pikir panjang, aku menghapus semua pesannya.
Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, aku belum beranjak dari kafe pinggir jalan ini, yang sudah sepi dari tadi. Jika bukan karena kafe buka sampai jam 3 pagi dan aku pelanggan yang cukup sering ke sini, mungkin aku sudah ditendang dari tadi oleh pramusaji. Aku juga tidak menyenyapkan ponselku dan lebih memilih mengabaikannya sambil mendengarkan musik.
***
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Risa melalui WhatsApp.
"Iya, lumayan," jawabku singkat. Hal seperti ini sangatlah lumrah. Risa sudah biasa aku abaikan. Aku tidak mengerti kenapa? Aku butuh dia, tapi seperti sulit sekali mengobrol dengannya, setidaknya untuk mengucapkan terima kasih. Selalu saja begitu.
Sampai pada suatu hari, Risa mengajakku bertemu.
"Ketemu di kafe Seduh Sedih seperti biasa ya, Zam. Jam 7 malam." Aku mengiakan.
Kafe Seduh Sedih sederhananya adalah tempat di mana kami sering bertemu. Tempat di mana aku menceritakan semuanya sekaligus mengabaikan apa yang dia ceritakan. Kuakui dia adalah teman terbaik, tapi aku bukanlah teman yang baik untuknya.
Kami akhirnya bertemu, dia cantik sekali dengan setelan blus biru muda serta rok putih panjang dengan rambut model simple bun. Kuakui aku menyukainya sejak kelas 2 SMA. Saat itu rambutnya tidak begitu, tapi tetap menjadi yang tercantik dari yang cantik.
"Kemarin kamu ke sini?"
"Iya, maaf, tidak mengajakmu," jawabku.
"Bagaimana bisa kamu mengajak kalau telepon dan pesan dariku tidak direspons?"
"Maaf," jawabku lagi.
"Boleh lihat WhatsApp-mu?"
"Lihat saja." Aku memberikan ponselku.
"Sudah kuduga, kamu menghapus semua pesanku. Apa yang mengganggu pikiranmu?" tanya Risa.
"Aku mengamuk lagi di kantor."
"Obat masih ada?"
"Tidak ada, belakangan aku sulit dapat izin karena kerjaan cukup banyak."
"Kamu tidak coba cari dokter yang buka di akhir pekan?" tanya Risa.
"Kamu tahu, 'kan? Gajiku tidak banyak untuk berobat dengan biaya mandiri. Biaya konsultasi sama obat itu cukup membuatku rusak. Sementara agar biaya ditanggung, dokternya hanya tersedia di hari kerja," jawabku.
"Tanganmu habis diapain?" tanya Risa sambil menarik tanganku yang diperban.
"Pukul pintu kaca di kantor sampai pecah. Gajiku akan dipotong untuk menggantinya. Kamu tahu, 'kan, harga pintu kaca buat kantor berapa? Aku tidak punya uang lagi."
"Astaga."
"Maaf, pikiranku cukup kacau untuk berbicara denganmu kemarin."
"Sejujurnya aku khawatir dengan maksudku mengajakmu ke mari, tapi aku lebih khawatir jika memberi tahumu via chat." Risa memberikan secarik kertas merah muda yang dibalut plastik. Aku mengambilnya, sebuah undangan dengan nama Risa dan nama pria yang asing bagiku.
"Apa ini?" tanyaku.
"Undangan," jawab Risa singkat.
"Aku bisa baca, Ris, tapi apa maksudnya ini?"
"Aku akan menikah, Zam. Itu undangan untukmu." Aku diam sejenak, rasanya tangan ini gemetaran.
"Ris, aku ...."
"Aku tahu kok. Aku tahu kamu suka denganku. Kamu sempat mengungkapkannya di WhatsApp beberapa hari lalu, tapi kamu hapus lagi. Aku hanya pura-pura tidak melihat."
"Kenapa tidak bilang?"
"Sejujurnya aku juga suka sama kamu, Zam. Namun, semuanya terlambat. Kamu tidak pernah mengungkapkannya padaku, sampai akhirnya aku harus menerima lamaran dari Randy."
"Risa ...." Seperti ada yang mencekik leherku, tidak ada yang bisa kukatakan.
"Maaf, Zam. Setelah ini, aku akan pergi ke Kalimantan dan tinggal di sana bersama suami. Kamu tenang ya, kita masih satu negara kok," ucap Risa sambil tersenyum. Aku masih diam. Jika tanpa ruangan dingin di sini, aku mungkin sudah banjir keringat.
Kami saling diam, cukup lama. Aku perhatikan dari jam kasir yang kebetulan ada di hadapanku, kita sudah saling diam sekitar 20 menit. Aku tidak bisa bicara apa pun. Kemudian Risa bangkit dari tempat duduknya.
"Kalau begitu aku pamit ya, Zam. Semoga kamu bisa datang di pesta pernikahanku minggu depan." Aku masih diam, wanita itu pun berlalu pergi. Aku pun meremas kertas undangan darinya dengan tatapan kosong.
Apa Risa benar-benar mendengar apa yang aku keluhkan tadi? Apa Risa benar-benar mengerti keadaanku?
Tanganku masih gemetaran, tapi aku harus sanggup berdiri untuk pulang.
***
Hari berganti, tentu saja peristiwa kemarin terasa tidak nyata bagiku. Namun, setelah kupikir sembari melihat chat terakhir yang Risa kirim, perihal permintaan maafnya sepulang dari kafe, sakit itu kembali menyebar bak pandemi.
"Zam, kenapa lagi lu?" ucap Joni, teman kantorku.
"Ah, enggak ada apa-apa."
"Ya elah, masih kaku aja lu sama gue. Cerita sini!"
Aku tidak yakin sebenarnya untuk bercerita dengan orang kantor. Mereka semua bahkan tidak mengerti keadaan mentalku, tentang penyakitku. Namun, kurasa aku butuh bercerita untuk menghilangkan beban ini.
"Cewek yang gue suka mau nikah minggu depan."
"Ah gitu doang, santai kali. Gue udah ditinggal nikah 3 kali aja masih strong. Cari lagi aja, cewek banyak. Jangan cengeng jadi cowok," ucapnya dengan wajah seolah mengejek.
Bajingan.
"Makasih, loh," jawabku singkat.
"Jangan ngambek gitu lah, Zam. Bawa santai aja kita."
Bajingan! Bajingan! Bajingan!
"Ah ya, santai kok gue," jawabku tersenyum sambil menutupi tangan yang mulai gemetar.
"Ya sudah, gue cabut dulu ya." Aku mengangguk.
Pergilah sana, jangan balik lagi.
Sesampainya di rumah, tepatnya di kamar. Aku tinggal bersama seorang adik laki-laki di kontrakan kecil sederhana seharga di bawah satu juta rupiah sebulan. Aku terancam tidak bisa bayar kontrakan kecil bulan ini karena harus ganti rugi biaya pintu kaca di kantor. Adikku masih kuliah. Terasa orang tuaku lebih peduli pada adikku. Kedua orang tuaku bersikap berbeda ketika mengetahui gangguan mental yang kuderita. Seolah aku adalah produk gagal.
Ketika adikku bercerita tentang kuliahnya atau proyek kecil yang dapat menghasilkan uang meski sedikit, orang tuaku begitu antusias menanggapinya. Namun, ketika aku bercerita aku sudah bisa sedikit olahraga dan bangun lebih pagi, orang tuaku hanya mengiakan singkat. Namun, ketika aku mengamuk, aku dibuat seakan-akan makhluk yang paling bersalah. Sebenarnya, gajiku juga cukup banyak, makanya aku bisa beberapa kali ke kafe, tapi karena pengeluaran yang kebanyakan dari ganti rugi atau ganti barang-barang pribadi yang rusak karena aku hilang kendali, itu cukup menghabiskan uangku.
Ponselku berbunyi, WhatsApp dari Risa. Dia bilang, dia akan berangkat besok jam 5 pagi naik pesawat. Calon suaminya sudah menunggu di sana. Dia berangkat sedikit lebih awal agar tidak terlalu mepet waktunya.
"Iya, hati-hati," jawabku.
Amarahku membuncah. Semua tampak layak untuk dibanting. Ponselku menjadi yang pertama menghantam tembok. Kupukul pintu kencang, kubanting kursi, kuhantam cermin, kutendang pun meja. Aku berteriak tanpa nada. Semuanya acak, tak beraturan. Kudengar teriakan dari luar dan pukulan dari arah pintu.
"Berisik, lebai lu, Bangsat!" ucap adikku.
Teriakanku semakin keras.
"Woi, Anjing, berisik lu," ucapnya lagi.
"Lu yang anjing!" jawabku.
"Bangsat lu ya! Malu-maluin lu, keluar sini!" jawabnya.
Aku baru diam setelah kudengar ada tetangga yang masuk dan menanyakan ada keributan apa di sini. Aku tak bersuara, meski tetangga berulang kali menanyakan keadaanku.
"Saya tidak apa-apa, Pak. Cuma butuh istirahat," jawabku pelan. Jika tidak kujawab, mungkin kamarku akan didobrak.
Keesokan harinya, aku tidak masuk kantor. Badan rasanya remuk, emosi masih campur aduk. Aku juga kesiangan, kulihat sudah jam 11 siang. Terserah apa kata atasan, aku tidak peduli. Risa mungkin sudah sampai tempat tujuan. Kulihat televisi, sambil menyantap makanan yang seharusnya menjadi sarapan.
Pesawat Erane Air 207 tujuan Kalimantan meledak pagi tadi di Laut Jawa, diperkirakan tidak lama setelah take off. Semua penumpangnya sebanyak 152 orang dinyatakan meninggal termasuk awak pesawat.
"Eh?" Segera kubesarkan volume suaranya.
Berikut nama-nama penumpang pesawat yang menjadi korban.
Kulihat nama-nama pada layar, satu demi satu dengan cepat.
Nomor 24. Risa Tiara Rahmah.
Jantungku berdetak tak tentu. Rasanya sesak tapi aku masih mematung di depan televisi. Air mataku keluar, meski hanya beberapa tetes. Setelah sadar, segera kulihat ponsel yang masih tergeletak di lantai setelah benturan semalam. Layarnya retak, tapi untungnya tidak mati. Ada WhatsApp dari Risa tadi pagi.
Sial! Kenapa begini? Kenapa?
Risa masih sempat berpamitan kepadaku. Sebelum akhirnya satu pesan suara kubuka.
"Zam, aku minta maaf sebelumnya. Zam, aku takut. Pesawat ini terbakar, aku tidak bisa mengetik saking takutnya. Zam, maafkan aku ya ...." Terdengar teriakan dan ledakan, lalu suara pun berakhir.
Aku menangis histeris, menjambak rambut, memukul wajah, mengamuk. Aku tidak bisa berkata apa pun. Orang-orang berdatangan, mereka tidak bisa menghentikanku lewat kata-kata. Pertanyaan mereka tidak bisa kujawab. Tubuhku dipukul dengan kayu yang besar sampai terjerembap ke tanah. Beberapa orang mengikat tangan dan kakiku. Mereka pun mengikat tubuhku di pohon. Mulutku ditutup dan diikat dengan kain yang tebal hingga aku tidak bisa lagi berteriak.
Tolong, Risa. Tanyakan lagi, bagaimana keadaanku? Kali ini akan aku jawab sungguh-sungguh. Jawab aku, Risa.
***
Selesai.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top