Rintik Miris

Malam itu, hujan gerimis tiba-tiba mengguyur kota yang panas. Semua orang tenggelam dalam panik, sibuk menutupi diri dengan apapun. Ini adalah hujan pertama di musim kemarau. Orang bilang, hujan yang turun pertama kali mendatangkan sakit karena air itu membawa semua debu dan hawa panas.

Tampaknya itu benar. Tepat setelah hujan turun, satu peluru melesak di antara rintik gerimis. Terus melaju hingga menembus jantung seseorang. Seperti hujan gerimis yang turun, sama sekali tidak terduga. Bahkan sang malaikat maut berulang kali memeriksa catatannya untuk memastikan apakah sudah benar nyawa yang akan dicabutnya itu.

Kebingungan, kekhawatiran, dan ketakutan yang membuncah. Darah yang mengalir. Juga tubuhnya yang jatuh ke tanah. Pemandangan itu membuatku ingin berteriak, tapi hanya keheningan yang tersua. Dengan napas tersengal, aku berusaha keras untuk mengendalikan tubuh dan menghampirinya.

Kuraih tubuhnya yang terkulai dengan tangan gemetar. "Tidak. Jangan..." Tidak peduli sekuat apa aku menggeleng dan menggigit bibir, air mata tetap mengalir. Tetesan-tetesan hujan itu terasa menusuk kulit. Dan napasnya yang telah berhenti itu menusuk hatiku.

"Tidak! Kumohon..."

Fakta bahwa dia tersenyum padaku sebelum mengembuskan napas terakhir membuatku mengutuk diri sendiri. Kenapa ini harus terjadi padanya? Kalau saja tadi aku berlari dan membawanya pergi sebelum hujan turun, dia tidak akan mengalami ini. Kenapa aku tidak bisa menyelamatkannya? Kenapa aku hanya diam saja dan melihat? Sebanyak apapun aku bertanya-tanya, tetap tidak mengubah kenyataan.

Kalau waktu bisa diputar ulang, aku ingin mencegah kejadian ini. Aku ingin menyelamatkannya. Aku tidak bisa kehilangan dirinya seperti ini.

"Aku ingin memutar balik waktu..."

~~~

Sore itu, hanya ada langit kelabu dan hujan gerimis yang tiba-tiba mengguyur kota. Semua orang tenggelam dalam panik, sibuk menutupi diri dengan apapun. Ini adalah hujan pertama di musim kemarau. Orang bilang, hujan yang turun pertama kali mendatangkan sakit karena air itu membawa semua debu dan hawa panas.

Tampaknya itu benar. Tepat setelah hujan turun, sebuah pisau membelah rintik gerimis. Terus melaju hingga menembus jantung seseorang. Seperti hujan gerimis yang turun pada senja hari, sama sekali tidak terduga. Bahkan sang malaikat maut berulang kali memeriksa catatannya untuk memastikan apakah sudah benar nyawa yang akan dicabutnya itu.

Kebingungan, kekhawatiran, dan ketakutan yang membuncah. Darah yang mengalir. Juga tubuhnya yang jatuh ke tanah. Pemandangan itu membuatku ingin berteriak, tapi hanya keheningan yang tersua. Dengan napas tersengal, aku berusaha keras untuk mengendalikan tubuh dan menghampirinya.

Kuraih tubuhnya yang terkulai dengan tangan gemetar. "Tidak. Jangan..." Tidak peduli sekuat apa aku menggeleng dan menggigit bibir, air mata mengalir. Tetesan-tetesan hujan itu terasa menusuk kulit. Dan napasnya yang telah berhenti itu menusuk hatiku.

"Tidak! Kumohon..."

Fakta bahwa dia tersenyum padaku sebelum mengembuskan napas terakhir membuatku mengutuk diri sendiri. Kenapa ini harus terjadi padanya? Kalau saja tadi aku berlari dan membawanya pergi sebelum hujan turun, dia tidak akan mengalami ini. Kenapa aku tidak bisa menyelamatkannya? Kenapa aku hanya diam saja dan melihat? Sebanyak apapun aku bertanya-tanya, tetap tidak mengubah kenyataan.

Kalau waktu bisa diputar ulang, aku ingin mencegah kejadian ini. Aku ingin menyelamatkannya. Aku tidak bisa kehilangan dirinya seperti ini. Tidak lagi.

"Aku ingin memutar waktu kembali..."

~~~

Siang itu, hujan gerimis tiba-tiba membelah terik matahari. Semua orang tenggelam dalam panik, sibuk menutupi diri dengan apapun. Ini adalah hujan pertama di musim kemarau. Orang bilang, hujan yang turun pertama kali mendatangkan sakit karena air itu membawa semua debu dan hawa panas.

Tampaknya itu benar. Tepat setelah hujan turun, sebuah truk melesat melewati lampu merah dan rintik gerimis. Truk itu menabrak seseorang yang sedang menyebrang. Seperti hujan gerimis yang turun, sama sekali tidak terduga. Bahkan sang malaikat maut berulang kali memeriksa catatannya untuk memastikan apakah sudah benar nyawa yang akan dicabutnya itu.

Kebingungan, kekhawatiran, dan ketakutan yang membuncah. Darah yang mengalir. Juga tubuhnya yang terbaring. Pemandangan itu membuatku ingin berteriak, tapi hanya keheningan yang tersua. Dengan napas tersengal, aku berusaha keras untuk mengendalikan tubuh dan menghampirinya.

Kuraih tubuhnya yang terkulai dengan tangan gemetar. "Tidak. Jangan lagi... Kumohon..." Tidak peduli sekuat apa aku menggeleng dan menggigit bibir, air mata mengalir. Tetesan-tetesan hujan itu terasa menusuk kulit. Dan napasnya yang telah berhenti itu menusuk hatiku.

"Tidak! Tidak lagi..."

Fakta bahwa dia tersenyum padaku sebelum mengembuskan napas terakhir membuatku mengutuk diri sendiri. Kenapa ini harus terjadi padanya? Kalau saja tadi aku berlari dan membawanya pergi sebelum hujan turun, dia tidak akan mengalami ini. Kenapa aku tidak bisa menyelamatkannya? Kenapa aku hanya diam saja dan melihat? Sebanyak apapun aku bertanya-tanya, tetap tidak mengubah kenyataan.

Kalau waktu bisa diputar ulang, aku ingin mencegah kejadian ini. Aku ingin menyelamatkannya. Aku tidak bisa kehilangan dirinya seperti ini lagi.

"Kumohon, izinkan aku memutar balik waktu lagi..."

~~~

Malam itu, aku merasa deja vu. Hari ini langit sangat cerah hingga cahaya bintang terlihat bersinar. Sebagian orang yang hari-harinya selalu sibuk, sudah pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan sebagian lagi menunggu di peron stasiun kota. Cukup lama aku duduk di kursi peron stasiun kereta. Dan dia ada di sampingku, menunggu kereta selanjutnya. Syukurlah, dia aman.

Namun, tak lama kemudian, hujan deras tiba-tiba mengguyur kota yang panas. Ini adalah hujan pertama di musim kemarau. Orang bilang, hujan yang turun pertama kali mendatangkan sakit karena air itu membawa semua debu dan hawa panas.

Tampaknya itu benar. Tepat setelah dia bangun dan berjalan ke tepi peron untuk menerima telepon, kakinya terpeleset. Dia terjatuh ke rel sesaat sebelum kereta melaju. Tubuhnya tertabrak kereta. Seperti hujan yang turun, sama sekali tidak terduga. Bahkan sang malaikat maut berulang kali memeriksa catatannya untuk memastikan apakah sudah benar nyawa yang dicabutnya itu.

Kebingungan, kekhawatiran, dan ketakutan yang membuncah. Pekikkan klakson kereta. Orang-orang yang berteriak. Kereta yang melesak pergi seolah tidak terjadi apa-apa. Pemandangan itu membuatku ingin berteriak, tapi hanya keheningan yang tersua. Dengan napas tersengal, aku berusaha keras untuk mengendalikan tubuh dan mendekati kerumunan orang.

Tubuhku jatuh terduduk. Pandanganku kabur karena air mata. "Tidak. Tidak! Kenapa begini lagi?" Tidak peduli sekuat apa aku menggeleng dan menggigit bibir, air mata mengalir. Udara dingin menusuk kulitku. Dan bunyi derai hujan di atap stasiun menyayat hatiku.

"Tidak! Jangan lagi..."

Fakta bahwa dia tersenyum padaku sebelum terpeleset membuatku frustasi. Kenapa ini harus terjadi padanya? Kalau saja tadi aku berlari dan membawanya pergi dari stasiun, dia tidak akan mengalami ini. Kenapa aku tidak bisa menyelamatkannya? Kenapa aku hanya diam saja dan melihat? Sebanyak apapun aku bertanya-tanya, tetap tidak mengubah kenyataan.

Kalau waktu bisa diputar ulang, aku ingin mencegah kejadian ini. Aku ingin menyelamatkannya. Aku tidak bisa kehilangan dirinya seperti ini. Namun, akankah memutar balik waktu adalah keputusan yang tepat? Pada kenyataannya, sebanyak apa pun aku mengulang waktu, kematiannya tidak bisa kucegah. Takdirnya tidak dapat kuubah. Hujan gerimis di musim kemarau ini membuatku sakit, meremukkan jiwaku.

"Kumohon, aku ingin berhenti... Aku juga ingin mengakhiri hidupku..."

Tamat 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top