Nine Reason I Want to Die
Trigger Warning: Pembahasan Tentang Kematian
Beberapa kali aku meminta mati. Mungkin sudah tidak terhitung lagi. Aku sudah lupa, atau mungkin sengaja melupakan hitungannya. Hanya sedikit hitungan yang bisa aku sebutkan, hanya sedikit dari permintaan matiku yang bisa aku ingat.
Pertama, saat aku masih anak SD. Aku selalu dirundung dan tidak punya teman. Jangankan teman, yang membela pun tidak ada seorang pun. Aku sendirian. Aku harap aku bisa mati dan bisa tenang, atau aku mungkin berharap mereka mati dan aku tenang.
Kedua, saat aku naik kelas 6 SD. Aku sudah punya teman, tapi masih dirundung, dan mereka juga dirundung. Kami adalah kumpulan orang yang ter-bully. Intinya kami adalah pecundang. Aku hanya diperlakukan dengan tidak baik di lingkungan perumahanku, dan sekarang di sekolahku pun begitu. Di rumah aku dirundung anak-anak di kompleks, di sekolah aku dirundung bersama anak korban bully lainnya. Dimana-mana aku hanya samsak mereka. Tempat mereka melepas emosi ketika mereka dimarahi guru atau orang tua mereka. Dulu aku mau mati, tapi sekarang aku tidak peduli.
Ketiga, saat aku SMP. Aku hanya anak aneh yang bersuara cempreng dan bibirku yang dower menarik perhatian pembuli untuk menghujat dan menghina. Aku selalu di teriaki "anak aneh". Walau bagiku yang terlalu polos dan pernah di bully lebih parah, hal itu tidaklah parah. Tapi tetap saja, di hina oleh anak laki-laki di-angkatanmu karena penampilanmu, dimana saat itu kecantikan adalah hal yang selalu dilirik mereka, bisa membuatmu down juga. Aku berharap mati dari pada aku di-bully mereka, atau aku berharap mereka mati dari pada aku yang di-bully. Tapi aku sudah tidak peduli, lagi.
Keempat, aku ingin mati karena aku kehilangan HP. Aku tahu itu terdengar tidak worth it, tapi percayalah, kehilangan merupakan hal yang menyakitkan. Apalagi yang hilang adalah sesuatu yang kau dapatkan dengan segala usaha dan upaya. Dan aku merasakan sakit itu. Dan yang menambah rasa sakitnya yang bahkan sampai sekarang tidak hilang adalah, aku tahu siapa pencurinya setelah lima tahu berlalu. "Sial!" adalah kata-kata yang aku lontarkan ketika aku mengingatnya. Dan yang menambah beban hatiku adalah, pelakuknya adalah orang yang kuanggap teman. Takdir memang sebercanda itu kepadaku. Aku menyesal tidak menanyainya, walau dia tidak akan mengakuinya. Aku menyesal aku tidak mempercayainya. Aku menyesal aku tidak segera memberi tahu orang tuaku. Aku menyesal mempercayai guruku ketika dia bilang "akan saya sampaikan ke teman sekelasmu." Hah, Bullshit! Dan karenanya, keinginan untuk mati terus muncul dan semakin besar dari waktu ke waktu. Aku sempat me-realisasi-kannya, aku pernah mencoba bunuh diri. Tapi temanku datang dan mencegahnya. Dan setelah itu aku tidak lagi bisa mencoba bunuh diri, aku terlalu pecundang untuk melakukannya lagi. Ah... aku sangat ingin mati.
Kelima, aku ingin mati saat aku menjadi penyebab amarah ayah dan membuatnya menghancurkan HP-nya. Dan aku juga secara langsung menjadi alasan bertengkarnya ayah dan ibuku. Ah... aku tidak berguna, aku ingin mati.
Keenam, aku akhirnya lulus SMP dan segera masuk SMA. Tapi karena masalah finansial, akhirnya aku pindah ke kampung halaman ayah. Di sini aku memulai hidup sebagai anak SMA sambil membantu kedua orang tuaku berjualan. Aku tidak mempermasalahkan keadaan apa pun yang terjadi pada keluargaku, tapi aku tetap tidak bisa tenang dengan perlakuan apa pun yang aku terima. Sebelum benar-benar pindah ke sana, aku datang terlebih dahulu, baru disusul keluargaku. Dan untuk sementara aku tinggal bersama bibiku. Aku melakukan yang terbaik untuk tinggal di sana. Seperti membantunya memasak, berinisatif mencuci piring setelah makan, membantu menjemur baju, membantu menjaga anaknya, apa pun itu aku lakukan. Tapi aku tetap saja mendapat nyinyiran. Itu karena siafat introvert (dan aku juga terlihat agak malas dibandingkan anak perempuanya) yang aku punya, jadinya setelah pulang sekolah aku hanya ada di rumah, dan hal itu membuatnya agak kesal (?) ya... aku berniat mati, jadi aku tidak peduli gunjingan ibu-ibu itu.
Ketujuh, ketika aku kelas 2 SMA, keluargaku sudah datang ke kampung halaman dan akhirnya kami bisa serumah lagi. Aku, ayah, ibu, adik-adikku, dan kucing-kucingku kami berkumpul lagi. Aku senang, tapi seperti biasa, takdir tidak suka aku bahagia, akhirnya aku kembali merasakan perasaan ingin mati karena kejadian itu.
Saat itu liburan semester, aku bersama keluargaku dan saudara-saudaraku yang lainnya berlibur ke ibu kota. Itu sudah di rencanakan satu bulan sebelumnya. Semua orang berpikir itu akan jadi liburan yang menyenangkan. Tapi tentu saja tidak. Seminggu saat kami sampai di ibu kota, aku terkena demam. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba demam, tapi yang pasti itu demam paling tinggi selam hidupku. Padahal aku sudah berjanji bersama ayahku untuk mengambil surat kelulusan SMP-ku, tapi harus batal karena demam ini. Dan begitulah, seminggu berlalu dan akhirnya demam ini turun. Setelah demam turun (walau masih ada pusing yang tersisa) akhirnya, aku dan ibuku pergi mengambil surat kelulusan itu. Tapi, di jalan pulang ada kejadian di mana kelalaianku menyebabkan motor kami hilang dilarikan seorang pria muda. Tentu saja aku terguncang, terutama setelah melihat ibuku menangis. Aku merasa sangat tidak berguna, merasa sangat bersalah, aku merasa sangat pantas mati saat itu. Ditambah ayahku yang mendengar hal ini ikut memarahiku dan menghinaku di depan sanak saudaraku. Aku ingin benar-benar mati.
Kedelapan, saat itu aku kelas 3 SMA. Semua orang di-angkatanku sibuk mengurus ujian dan pilihan study lanjutan yang akan dipilih. Tak jauh bedanya dengan diriku. Dan seperti yang bisa di tebak, aku gagal dalam seleksi yang disediakan sekolah. Dan yang lebih menyesakkannya adalah, aku gagal karena aku kalah saing dengan orang yang mengambil jurusan yang sama sepertiku. Malam hari setelah pengumuman itu, aku berusaha sepelan dan setenang mungkin menyampaikannya kepada kedua orang tuaku. Tapi, tetap saja orang tuaku tidak terima. Ibuku menangis dan menyalahkanku. Dia bilang kalau aku yang salah karena tidak memilih jurusan yang dia suruh untuk kupilih. Aku hanya merasa sakit dan sesak. Malam itu aku menangis dan terus berdoa untuk mati sampai aku tertidur. Dan pagi itu, aku sangat-sangat menyesal dan sedih kenapa aku masih bisa bangun. Aku capek, aku ingin mati.
Kesembilan, aku tidak ingat bagaimana aku bisa berkuliah pada akhirnya, aku tidak ingat prosesnya, tapi ya, akhirnya aku bisa berkuliah di luar kota. Jauh dari keluargaku dan dari orang-orang yang mengenalku. Aku merasa bebas, untuk sebentar. Tapi keinginan untuk matiku terlalu kuat untuk di lepas. Aku sanggat ingin mati.
Aku ingin mati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top