Prolog
Baru saja Partia keluar dari ruangan beraroma pinus itu saat Cleo masuk membawa gulungan kertas di tangannya. Wajahnya tampak tegang dan kelelahan. Ia menatap Levian sesaat sebelum berjalan mendekati meja persegi yang dipenuhi tumpukan buku dan kertas yang sepantasnya dirapikan.
“Kau tampak sangat kelelahan, Tuan,” sapa Cleo. Ia menahan diri untuk tidak menyampaikan maksud kedatangannya secara langsung. “Perlu kubuatkan teh?"
Pria itu mendesah, kemudian menggeleng. Ia memaksakan senyum, meski Cleo tahu itu sama sekali tidak membuatnya tampak lebih baik. Levian jauh lebih kurus dari yang pernah diingat Cleo. Bobot tubuhnya berangsur menyusut sejak beberapa tahun terakhir yang Cleo sadari bahwa itu adalah tahun-tahun yang buruk bagi mereka.
“Terima kasih, Cleo,” ucap pria itu. Suaranya terdengar parau dan lemah. “Tapi kau lebih membutuhkan segelas teh herbal untuk memulihkan tenagamu. Kurasa aku lebih tertarik dengan kertas yang kau bawa.”
Cleo menoleh pada kertas di genggamannya. Ia berpikir untuk menyerahkan kertas itu dan menyimpan kegusarannya. Anak muda itu menyerahkan gulungan kertas yang dengan cepat diambil oleh Levian. Tangannya yang gemetar membuka gulungan dan ia menembuskan napas berat. Bahunya memerosot seolah-olah isi kertas itu membebani punggungnnya.
“Apakah tahun ini kita akan mencoba kembali?”
Ada kekhawatiran sekaligus kesedihan dalam suara Cleo. Levian juga merasakan itu. Pria itu meletakkan gulungan kertas di meja, kemudian bangkit berdiri. Tubuhnya nyaris limbung. Cleo dengan sigap mendekat, tetapi Levin mengangkat tangan untuk menghentikan.
“Aku baik-baik saja,” ucap Levian. Ia berjalan pelan menuju satu-satunya jendela yang ada di ruangan itu. Matanya menatap keluar ruangan, menghirup udara sebanyak yang ia bisa. Aroma manis dan segar menusuk hidngnya, memberi sedikit kelegaan.
“Kita tidak bisa berhenti,” ucapnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. “Setiap kesempatan harus kita ambil. Aku cukup yakin dengan kemampuan siswa kita.”
Cleo meneguk ludah. Ia tidak ingin menceritakannya sekarang, tetapi juga tidak ingin membuat Levian merasa tenang sementara mereka punya masalah yang harus diatasi.
“Maaf sebelumnya, Tuan. Aku tidak bermaksud mematahkan harapanmu, tapi tahun ini akademi Sychra turut berpartisipasi.”
Sesaat kemudian, Cleo menyesali ucapannya. Wajah Levian berubah gelap, kedua tangannya ditopang pada kusen jendela. Ia tampak semakin lemah, seolah-olah semua tenaganya terserap habis. Akademi Sychra. Nama itu berputar-putar di kepala Levian, menhantamnya dengan sangat keras, memaksa agar Levian mengambil tindakan.
“Kau boleh pergi,” ucap Levian lirih. Cleo ragu untuk meninggalkan Levian sendirian, tetapi akhirnya ia menyeret langkah dari sana. Setelah kepergian Cleo, Levian memandang ke langit. Matanya terpejam, kemudian ia teringat seseorang. Ingatan itu membuatnya tersadar dan ia memutuskan untuk menemui orang itu. Tidak ada pilihan lain. Tahun ini, harus menjadi tahun kemenangan bagi mereka.
Dengan penuh tekad, Levian menyelinap pergi dari Akademi. Saat itu tengah malam, mungkin sekitar pukul satu pagi. Dengan jubah hitam bertudung yang menjuntai hingga ke ujung kaki, ia berjalan tanpa suara menyusuri lorong akademi dan keluar menyongsong kegelapan. Ia menciptakan sebuah portal begitu tiba di luar dan lubang putih keunguan itu menyedotnya masuk, menyisakan kegelapan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top