Bab 9 - Nyanyian Burung Kecil

Lexa merapikan tumpukan kertas yang berserakan di meja. Kemarin ia meninggalkan Cleo sendirian di sana setelah pria itu mempersilakan Lexa kembali ke asrama. Entah apa yang dilakukan pria itu sampai semua kertas itu kembali berantakan. Lexa mendengus membayangkan rutinitas membosankan yang harus ia lakukan setiap hari.

Sesekali ia membaca kertas di meja. Beberapa kertas berisi data diri murid, peraturan kelas, dan banyak dokumen yang tidak ia pahami. Gadis itu menumpuk semua kertas di tepi meja sesuai kategori masing-masing fail. Kemudian ia duduk di kursi dengan napas terengah. Bulir keringat menetes dari kening dan membasahi sebagian pakaiannya.

Suhu di ruangan tidak begitu panas. Namun, ia merasa gerah setelah merapikan semua kertas menjengkelkan itu. Sejenak ia berpikir untuk memprotesnya pada Cleo, agar pria itu lebih berhati-hati meletakkan setiap helaian kertas.

Setelah tubuhnya mendingin, ia bergerak ke rak buku. Jemarinya menunjuk deretan punggung buku. Telunjukknya berhenti pada sebuah buku bersampul cokelat. Gadis itu menariknya keluar, mengamati sampul depannya dengan saksama. Ia tidak ingat pernah melihat buku itu di sana. Kemarin ia mengelap semua sampul buku dan ia yakin tidak melihatnya.

Ia membolak-balik buku, tetapi buku itu tersegel. Ada semacam akar pohon yang meliuk-liuk di sampul depan, kemudian merambat ke bagian belakang buku dan mengunci buku itu. Lexa berusaha membukanya, menarik paksa segelnya. Namun, usahanya sia-sia. Buku itu tetap terkunci. Lexa menilik ke atas lewat anak tangga. Samar-samar terdengar suara langkah kaki di atas, tetapi tidak ada siapa pun yang turun. Lexa yakin Cleo sedang sibuk mengerjakan sesuatu.

Namun, saat akan melangkah pergi, ia mendengar Cleo berbicara. Sepanjang yang ia tahu, Cleo bekerja sendirian di sana. Apakah mungkin ia berbicara sendiri atau sebenarnya ada orang lain di sana?

Perhatian Lexa teralihkan saat mendengar suara cicitan burung persis seperti yang kemarin ia di taman. Gadis itu memutar tubuh dan menemukan burung kecil itu bertengger di jendela yang terbuka. Lexa tersenyum ke arahnya yang dibalas dengan cicitan. Kemudian burung itu terbang.

Lexa keluar dan melihat burung itu terbang rendah di depan pintu, seakan-akan menunggunya. Kemudian, burung itu terbang menyusuri jalan diikuti Lexa. Hewan berbulu itu berhenti tepat di jamur yang kemarin Lexa datangi. Gadis itu bingung, kenapa burung itu membawanya ke sana?

“Hai, burung kecil. Kenapa kau membawaku kemari?”

Lexa berharap burung itu berbicara dan menjawabnya. Namun, hanya cicitan seekor burung yang keluar dari paruh kecilnya. Hewan bersayap itu bertengger pada jamur setinggi satu meter. Ia mengangguk-angguk ke arah Lexa.

Gadis itu mengartikannya sebagai permintaan untuk duduk. Lexa duduk bawah jamur dan menyandarkan punggungnya ke batang jamur itu. Burung itu menelengkan kepala, tampak mengamati buku di tangan Lexa. Gadis itu tersadar ia lupa meninggalkan buku itu di sana.

Burung itu bercicit, seolah-olah sedang mengatakan sesuatu. Namun, Lexa tidak bisa bahasa burung. Hal itu membuat Lexa semakin gusar. Burung itu pasti punya maksud menemuinya. Namun, bagaimana ia bisa memahami maksud ucapannya?

Lexa menatap lesu pada burung itu. Buku itu diletakkan di bebatuan di sampingnya.

“Maaf burung kecil, aku tidak mengerti bahasamu,” ucapnya.

Burung itu terbang dan mendarat di atas buku. Ia bercicit lagi kemudian mematuk sampulnya beberapa kali. Sepertinya burung itu tertarik pada buku itu. Lexa mengambil buku itu, kemudian mencoba menyentuh burung itu. Namun, ia langsung terbang, kemudian bertengger pada jamur yang sebelumnya ia hinggapi.

“Burung kecil, kau suka buku ini?” Gadis itu mengamati dan takjub saat burung itu mengangguk. Ia mengerti ucapan Lexa. “Tapi buku ini tersegel dan aku tidak bisa membukanya. Aku akan meminjam buku lain dan membacakannya untukmu.”

Burung itu bercicit sembari menggeleng. Lexa semakin penasaran apa yang sebenarnya diinginkan burung itu. Lexa mengamati sekali lagi sampul buku itu. Tidak ada apa-apa di sana. Buku itu polos tanpa gambar ataupun tulisan.

Bayi yang mungil telah lahir. Ibunya menangis. Ayahnya bersorak. Seorang bayi mungil, lahir dalam petaka.

Lexa terkesiap. Ia mendengar suara nyanyian itu. Namun, ia sangat yakin itu bukan Cleo. Itu suara perempuan. Lexa mengamati sekeliling, tetapi tidak menemukan siapa pun di sana. Hanya ada burung kecil yang terus menatapnya. Lexa merinding. Mungkin saja tempat itu berhantu dan jamur raksasa itu adalah tempat tinggal hantu itu.

“Kau yang bernyanyi?”

Burung itu mengangguk, membuat Lexa takjub. Matanya berbinar.

“Tapi bukankah kau tidak bisa berbicara?”

Aku bisa, ucap burung itu. Tapi aku tidak suka bicara dengan sembarang orang. Bill selalu memperingatkanku.

Lexa mengernyit bingung. “Bill?”

Burung itu mengangguk.

“Siapa dia?”

Seorang pria tua yang membosankan, oceh burung itu. Aku bosan mendengar nasihatnya.

“Apakah dia tuanmu?”

Burung itu bercicit marah. Tentu saja bukan, bantahnya. Aku bukan peliharaan. Dia temanku.

Lexa mengangguk paham. “Lalu apa yang kau lakukan di sini?”

Bermain, ucapnya ringan. Aku bosan memakan biji kacang setiap hari. Di sini ada banyak jamur yang lezat.

Lexa memelotot. “Kau makan jamur?”

Itu aneh. Lexa tidak pernah tahu seekor burung memakan jamur. Namun, ia tidak mempertanyakan itu pada si burung kecil. Tampaknya burung itu sedikit sensitif dan Lexa tidak ingin membuatnya marah.

Ya, jamur itu lezat, ucapnya. Tapi Bill melarangku. Tempat ini berbahaya.

Lexa merinding mendengarnya, tetapi ia berusaha tidak takut.

“Kau tidak tinggal di daerah sini?”

Burung itu menggeleng. Kalau begitu, pasti ada tempat lain di sekitar sini. Hal itu membangkitkan harapannya melarikan diri. Nanti malam ia harus menemui Chris dan memberitahunya hal ini.

“Boleh aku tahu kau tinggal di mana?”

Maaf sekali, Nona, ucapnya. Tapi aku tidak bisa memberitahumu. Nyawa Bill bisa terancam jika mereka tahu pria tua itu masih hidup.

Mereka? Lexa semakin gusar. Siapa yang dimaksud burung ini? Di tempat macam apa sebenarnya mereka sekarang? Siapa pun yang dimaksud burung itu, pasti orang itu sangat berbahaya dan punya kekuasaan untuk membunuh pria bernama Bill itu.

“Lexa!”

Burung itu mendadak terbang menjauh. Lexa berbalik dan mendapati Cleo berjalan ke arahnya. Apakah Cleo sempat melihat burung itu? Setelah mendengar ucapan burung kecil itu, Lexa semakin waspada terhadap semua orang. Ia tidak tahu siapa yang disebut burung itu sebagai mereka. Lagipula, burung itu langsung pergi begitu Cleo datang. Pasti ia sangat takut jika sampai keberadaanya diketahui seseorang.

“Maaf, aku pergi tanpa pamit.”

Cleo tersenyum. “Tidak masalah,” ucapnya. Ia melirik buku di tangan Lexa. “Buku apa itu?”

Lexa memandang buku itu dan Cleo bergantian. Dari ekspresinya, sepertinya Cleo juga tidak pernah melihat buku itu. “Entahlah, aku mengambilnya dari rak dan buku ini tersegel,” Lexa mengacungkan buku ke depan. “ Apakah kau bisa membukanya?”

“Em, mungkin,” ucap Cleo sedikit gugup. Lexa memperhatikan tangan pria itu sedikit gemetar. Sorot matanya tampak bingung. Lexa yakin pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan buku itu. “Akan kuberitahu jika berhasil membukanya.”

“Ya, terima kasih,” ucap Lexa. “Kau mencariku?”

“Ah, ya. Aku hampir lupa. Aku butuh bantuanmu mencari arsip data murid dua tahun lalu.”

Dalam hati Lexa mengutuki kebiasaan Cleo yang suka menaruh barang sembarangan. Sekarang ia juga yang direpotkan mencari dokumen itu.

Sembari berjalan, Cleo mencuri-curi pandang pada buku itu. Sesekali ia bergumam dan menggaruk kepala.

“Boleh aku menyimpan buku ini?”

Lexa mengangkat bahu. “Ambil saja. Aku tidak bisa membukanya.”

Cleo menepuk-nepuk buku itu pelan. “Terima kasih.”

Lexa tidak menjawab. Namun, ia melihat keanehan pada pria itu dan Lexa yakin ada kaitannya dengan buku di tangannya. Lexa hanya perlu mencari tahu lebih banyak. Di sisi lain, ia berharap akan bertemu lagi dengan  si burung kecil. Sepertinya ia tahu banyak tentang tempat itu.

Beberapa meter dari ruangan Cleo, burung kecil itu bertengger di atas sebuah jamur. Ia mengamati mereka sampai lenyap di balik pintu.

Seorang bayi mungil, terlahir dalam petaka. Ibunya mati. Ayahnya gila. Serang bayi mungil, sungguh malang nasibmu.

Burung itu terbang ke langit, lalu pulang membawa pesan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top