Bab 4 - Akademi Laetus
"Hallah, paling alesan doang biar dia bisa main sama temen-temennya." Amena melipat tangan di dada. Wajahnya tegang sejak beberapa saat lalu. Lexa yang berdiri di pintu kamarnya termenung. Sesekali ia memandang ayahnya penuh harap.
"Sayang, tadi aku udah telepon temannya Lexa dan mereka beneran akan pergi mengikuti olimpiade." Dion berusaha menjelaskan agar Amena tidak terus menyudutkan Lexa. "Harusnya kamu bangga dong anak kita punya banyak prestasi."
Amena menatap tajam. Mendengar kata "anak kita" membuat darahnya mendidih.
"Dia bukan anakku dan aku tidak peduli dia punya prestasi apa," ketus wanita itu. "Aku cuma gak mau nanti dia kenapa-napa di luar sana. Kalo sampai dia hamil gimana? Kan, kita yang malu."
Lexa mendongak, menatap ibunya penuh keterkejutan. Seburuk itukah Lexa di mata ibunya sampai berpikir Lexa mungkin saja melakukan tindakan tak terpuji dengan teman-temannya. Dadanya terasa sesak. Ingin rasanya Lexa memaki dan menentang semua ucapan Amena. Namun, ia tak berdaya. Air mata membasahi pipinya sebagai ganti amarah dan rasa sakit yang tak bisa ia tumpahkan.
"Amena, apa-apaan kamu ini," bentak Dion. "Lexa tidak mungkin ngelakuin hal seperti itu. Nanti aku akan mengantar Lexa dan menemui orang yang akan membawa mereka pergi. Aku akan memastikan Lexa dijaga dengan baik."
Amena mencebik, kemudian pergi ke kamarnya. Dion membuang napas kasar. Pria itu mendekati Lexa, kemudian menariknya ke pelukan. Tangannya yang kasar mengusap kepala Lexa.
"Papa minta maaf, ya. Papa belum bisa bikin kalian berdua akur," ucapnya lirih.
Lexa tak menjawab. Ia membenamkan kepalanya ke dada pria itu dan sekuat tenaga menahan diri agar tidak terisak. Lagi-lagi, bayangan kedua orang tuanya kembali melintas. Kenapa mereka tega membuangnya kala itu? Mungkin jika dirinya tidak dibuang, Lexa tidak akan mendapat perlakuan yang demikian.
"Ya, udah kita berangkat, ya. Nanti kamu telat lagi," ucap Dion seraya melepaskan Lexa dari rangkulannya. Gadis itu mengangguk, kemudian mengambil tas berisi pakaian di tempat tidur.
Setelah menempuh perjalanan beberapa waktu, mereka tiba di tempat yang sudah ditentukan. Namun, mobil yang dikendarai Dion tidak masuk ke pekarangan. Gerbangnya tertutup dan ketiga teman Lexa berdiri di dekat sana. Gadis itu turun dan menghampiri mereka.
"Kok kalian gak masuk?"
"Digembok, Xa," ujar Reka. "Tadi aku tanya satpam yang jaga, katanya gak ada orang di dalam dan gak ada yang bikin janji buat ketemu di sini."
Lexa mulai ragu. Apakah mereka ditipu?
Tak lama kemudian Dion datang dan menanyakan hal yang sama. Akhirnya, menunggu beberapa waktu. Lima menit lebih dari waktu yang disepakati, sebuah mobil sedan berhenti di dekat mereka.
Seorang pria berkemeja biru muda dan celana kain keluar dari mobil. Ia tersenyum ramah pada orang-orang yang sudah menunggunya. Dion menyalami pria itu sembari memperkenalkan diri dan sebaliknya.
"Maaf membuat kalian menunggu," ucapnya. "Kalian sudah bawa perlengkapan?"
"Sudah," ucap Reka mengacungkan tas di tangannya.
"Maaf sebelumnya, tapi kenapa berangkatnya harus malam?" Dion mengajukan pertanyaan saat Cleo hendak meminta mereka memasukkan barang ke bagasi mobil.
"Ah, itu. Sebenarnya mereka harus berangkat beberapa hari yang lalu. Tapi karena ada salah paham mengenai jadwal, sehingga mereka harus dibawa malam ini. Mengingat, besok mereka harus bersiap-siap untuk mengikuti pelatihan."
Mereka saling berpandangan.
"Pelatihan apa?" tanya Chris.
Cleo meremas tangan, ia tampak gugup seolah baru saja salah bicara.
"Ya, pelatihan fisik. Maksud saya olahraga dan sekaligus memperkenalkan teman-teman dari sekolah lain demi menghindari adanya konflik antar sekolah."
Dion mengangguk. Ia menjabat tangan Cleo. "Tolong jaga mereka dengan baik, ya."
Cleo mengangguk seraya tersenyum. Setelahnya, mereka memasukkan barang ke bagasi dan berpamitan pada Dion. Setelah mobil melaju dan lenyap di ujung jalan, Dion bergegas pulang.
***
Lexa mengamati setiap sudut ruangan. Meski secara utuh bangunan ini berbentuk silinder, tetapi kamar yang ditempatinya berbentuk persegi. Kamar-kamar lain juga memiliki bentuk yang sama. Berderet sepanjang puluhan meter. Setiap kamar saling berhadapan dan koridor panjang membentang di antaranya. Namun, sebanyak apa pun kamar yang mereka lalui, semua kamar tampak sama. Didominasi warna cokelat dan hijau army. Beberapa kali Lexa mencium aroma yang tidak ia kenali. Perpaduan antara jamur dan bunga.
Lexa berusaha tetap tenang dan menjaga sikap saat perjalanan. Ia tidak ingin menyinggung perasaan Cleo dan terlebih ia takut pria itu akan marah. Sejak turun dari mobil, Lexa hanya diam sembari menyimak Cleo memaparkan tentang tempat itu. Lena sesekali ikut berbicara dan Reka yang paling aktif melontarkan pertanyaan.
Lexa meletakkan tasnya di sebuah meja kayu yang lagi-lagi berwarna cokelat di sudut kamar. Ruangan itu tidak begitu luas. Berukuran 2x2 meter dan diisi dengan sebuah tempat tidur, meja di pojok dan lemari kayu di sebelahnya. Tidak ada hiasan apa pun yang menempel di dinding selain jendela kayu yang mengarah ke luar dan bola lampu yang menggantung di atas.
Lexa duduk di ranjang, kemudian ia bertanya-tanya ke mana ketiga temannya dibawa. Lexa lebih dulu mendapat kamar dan ketiga temannya terus dibawa berjalan sampai tak lagi terlihat. Gadis itu semakin gusar. Entah bagimana ia tak nyaman berada di sana seolah-olah tempat itu bisa menelannya saat lengah. Ia tak yakin mereka ada di asrama dan lebih buruk lagi, sebenarnya mereka diculik.
Pemikiran yang konyol, barangkali Reka akan terbahak-bahak bila Lexa mengatakan hal ini padanya. Namun, sesuatu dalam dirinya terus berteriak dan menyuarakan bahwa mereka tak seharusnya berada di sana.
Mungkinkah itu ulah lawan mereka? Barangkali sekolah lain tidak terima kekalahan dan menculik semua pemenang olimpiade kimia hari ini? Wajah siswi yang sempat menatap tajam pada Lexa kembali muncul. Apakah dia pelakunya?
Lexa tidak menemukan alasan siswi itu melakukan tindakan semengerikan ini. Sepanjang yang Lexa ketahui, ia tidak pernah tahu ada tempat seperti ini. Bangunan apa yang bentuknya menyerupai jamur? Apakah tempat ini dulunya hotel?
Lexa kembali teringat saat mereka berjalan menyusuri gedung-gedung dengan bentuk yang sama dan berjejer rapi di kanan dan kiri jalan. Semua bangunan memiliki warna yang sama. Krim gelap pada bagian badan bangunan dan hijau army pada atapnya yang berbentuk kubah. Yang membedakan tiap bangunan hanyalah ukuran dan barangkali fungsi masing-masing bangunan. Namun, jika diamati setiap bangunan tampak seperti lampu taman. Karena semua atap memancarkan cahaya seperti bola lampu.
Kepalanya mulai nyeri. Ia tidak bisa terus-terusan memikirkan semua ini. Lexa melirik arloji di tangannya dan sadar sudah hampir pukul delapan.
Lexa hendak keluar saat pintu kamarnya diketuk. Gadis itu berlari membuka pintu, berharap itu salah satu temannya. Namun, bahunya mencelus saat mendapati seorang gadis seusianya berdiri di depan pintu. Wajahnya yang pucat sangat kontras dengan rambutnya yang kemerahan. Namun, ia tampak ramah saat tersenyum dan mengulurkan tangan.
"Hai, namaku Diana," ucap gadis itu. Lexa mengulurkan tangan dengan ragu. Diana menggenggam tangan Lexa agak keras, membuat gadis itu meringis pelan dan mengubah pemikirannya bahwa Diana orang baik.
"Namaku—"
"Lexa. Tentu saja." Diana tiba-tiba memotong. Lexa menahan kedongkolannya atas sikap Diana. "Cleo sudah memberitahukan nama kalian berempat. Oh, ya, aku membawakan seragam untukmu."
Lexa menerima dua potong pakaian yang diberikan Diana. Ia mengamati kedua pakaian itu. Satu berwarna hitam pekat dengan tudung dan satu berwarna krim tanpa tudung. Keduanya adalah jubah panjang.
Lexa mendongak, tetapi Diana langsung berbicara.
"Itu pakaian murid di sini," ucapnya. "Yang hitam dipakai setiap hari untuk kegiatan belajar dan yang krim untuk acara tertentu."
Lexa ingin bertanya, tetapi lidahnya kelu. Terlalu banyak pertanyaan yang muncul di benaknya.
"Ada pertanyaan?"
Lexa menggeleng. Sebaiknya ia menyimpan pertanyaan itu untuk ditanyakan lain kali dan pada orang berbeda tentunya.
"Baiklah. Aku hampir lupa, segera ke ruang makan untuk makan malam," ucap Diana. "Ada di lantai satu. Kau bisa mengikuti murid lain jika takut tersesat."
Setelahnya gadis itu berlalu. Langkah kakinya begitu pasti menapaki lantai koridor, kemudian ia lenyap saat berbelok. Lexa masuk ke kamarnya dan meletakkan kedua pakaian itu ke lemari. Ia juga mengeluarkan semua pakaian dari tasnya dan memasukkannya ke dalam lemari.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Lexa sontak berbalik dan bernapas lega karena Lena yang datang. Gadis itu mengenakan piama biru muda. Ia menatap heran pada Lexa yang berdiri kaku di dekat lemari.
"Kenapa, Xa? Kok, kayak abis lihat setan."
Lexa memanyunkan bibir. "Kamu ngagetin aku, sih. Kalo masuk tuh ngetuk pintu dulu, jangan asal masuk aja."
Lena terkekeh. "Iya, deh, maaf."
"By the way, kamu udah dapat baju?"
Lexa melirik sekilas ke lemari. "Maksud kamu jubah yang dikasih cewek aneh itu?"
Lena tampak berpikir. "Cewek aneh?"
"Ya, aneh. Gak sopan."
Lena mengusap wajah. "Astaga, Xa. Itu mah bukan aneh," ketus Lena. "Lagian menurutku biasa aja, kok. Malah dia asyik orangnya. Katanya di sini banyak cowok ganteng."
Lexa memutar bola mata. "Aku kurang suka sama dia. Apalagi baru kenal, bisa aja dia pura-pura baik sama kamu. Jangan terlalu cepat menilai seseorang, Na. Nanti kamu nyesel."
"Em, mulai deh ceramahnya," ledek Lena. "Tapi aku senang, sih. Akhirnya kamu udah balik ke setelan pabrik. Aku merasa belakangan kamu tuh banyakan diem. Sebenarnya kenapa, sih?"
Lexa menarik napas. Haruskah ia menceritakan pada Lexa tentang mimpinya dan juga kekhawatirannya akan keberadaan mereka sekarang? Namun, Lena tidak akan percaya semudah itu. Meski tidak separah Reka dalam hal bercanda, tetapi Lena bukan orang yang selalu bisa serius mengobrol, kecuali membicarakan cowok cakep.
"Cuma kecapean aja, Na. Kan, aku udah bilang sering begadang buat kerjain soal latihan. Setelah olimpiade selesai, aku bisa istirahat lebih banyak."
Lena mengangguk beberapa kali, kemudian ia berdiri.
"Hampir lupa, kita kan harus makan malam." Ia menarik tangan Lexa secara paksa, membuat temannya itu tergopoh-gopoh mengikuti dari belakang.
***
Makan malam sudah selesai. Semua murid berhamburan meninggalkan ruang makan. Beberapa orang tetap tinggal dan mengobrol. Sebagian lagi membereskan peralatan makan dan membawanya ke tempat pencucian piring. Sebagian membersihkan meja dari sisa makanan yang jatuh.
Lexa hendak membawa piring yang ia pakai, tetapi seorang gadis berambut pendek melarangnya.
"Ini tugas kami," ucapnya lembut. "Nanti akan ada giliranmu untuk membersihkan ruang makan."
Lexa merasa kikuk. Namun, ia harus memaksakan senyum saat seorang cowok berkaos hitam polos datang menghampiri. Aroma manis yang lembut menusuk hidung saat ia mengulurkan tangan.
"Neo."
Lexa menjabat tangannya. "Lexa."
"Selamat, ya. Aku dengar kamu menjuarai olimpiade," ucap Neo. Senyumnya begitu tulus dan tatapannya meneduhkan.
"Oh, ya, terima kasih," jawab Lexa. "Sebenarnya bukan hanya aku. Ada tiga orang temanku yang juga menjuarai olimpiade itu."
"Tentu," ucap Neo. "Aku punya data diri kalian."
Lexa tampak kaget, tetapi ia menahan diri untuk tidak bereaksi berlebihan.
"Oh, ya. Aku pembimbing di elas Medicus. Jika kau sakit atau barangkali akan berada di kelas Medicus, kita akan sering bertemu. Ya, kuharap begitu."
Lexa mengernyit. "Itu artinya, kamu ingin aku sakit?"
Neo terkesiap. "Ah, tidak. Maksudku jika nanti kamu berada di kelas Medicus."
Lexa mengangguk. Sejujurnya ia tidak paham arah pembicaraan Neo. Ia memutuskan bahwa kelas Medicus adalah nama ruangan yang akan mereka pakai saat melaksanakan ujian.
"Kurasa sampai di sini dulu perkenalannya. Aku masih ada urusan," ujar Neo seraya beranjak. "Sampai jumpa besok.
"Ya, sampai jumpa."
Lexa bangkit, ia hendak kembali ke kamarnya saat mendapati Chris menatapnya. Sejak kapan dia ada di sana?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top