Bab 21 - Teka-teki
Lexa tahu ada yang aneh, tetapi ia tetap melakukannya. Ia sadar kalau kitab itu mengubah caranya berpikir dan bertindak. Namun, keinginan bertemu dengan kedua orang tuanya semakin kuat. Seiring hari-hari yang berlalu membuatnya semakin tak sabar menuntaskan buku itu. Hari ini ia akan mengikuti kelas ramuan dan bertemu dengan Evana.
Dua hari yang lalu Lexa sudah mempelajari sihir Medicus dari kitab hitam. Tidak serumit pelajaran yang ada di kelas. Dengan dua mantra, Lexa bisa menciptakan obat dan racun mematikan. Tidak perlu susah payah mencari tanaman atau buah ke tengah hutan, tidak perlu repot memotong dan meracik. Semua bisa dilakukan dengan praktis.
Namun, kesadarannya tetap memberi peringatan. Lexa tahu ada yang janggal. Jika ada sihir yang lebih praktis untuk menciptakan obat atau racun, kenapa mereka harus repot-repot meracik ramuan sendiri? Bukankah begini seharusnya penyihir bekerja?
Lexa tiba lebih awal di laboratorium. Neo memberitahunya kalau Evana meminta mereka langsung ke laboratorium untuk langsung belajar praktik membuat ramuan penangkal ramuan Calisitafe yang mematikan. Lexa sangat ingin mengatakan pada Neo bahwa ia bisa menciptakan penawar dengan mudah, tetapi ia berusaha menahan diri.
Satu per satu murid mulai berdatangan. Tak lama berselang, Neo masuk dan terlihat heran mendapati Lexa sudah ada di sana.
"Tadi aku mencarimu," kata Neo saat berada dekat dengan Lexa. "Aku tanya sama teman-temanmu, tapi mereka kelihatannya tidak tertarik membicarakanmu. Kalian bertengkar?"
Lexa tidak langsung menjawab. Mendengar ucapan Neo, hatinya seperti diremas sampai nyeri. Untuk kedua kalinya Lexa membuat mereka kecewa. Pada perselisihan pertama ia sudah cukup membuat teman-temannya kesal sampai ia takut mereka tidak akan berteman dengannya lagi. Dan kali ini, ia membuat mereka bertanya-tanya dan mungkin mereka tidak akan peduli lagi padanya.
Lexa didera rasa bersalah yang dalam. Apa yang harus ia lakukan? Bisakah ia memercayai ketiga temannya untuk menyimpan rahasia itu? Jika sampai guru besar tahu, perjanjian mereka bisa dibatalkan dan harapannya bertemu kedua orang tuanya akan hilang begitu saja.
Lexa mengatur napas untuk menenangkan diri.
"Kami tidak bertengkar," kata Lexa kemudian tersenyum untuk meredam kekalutannya. "Mungkin karena kami sudah jarang bertemu belakangan ini, jadi mereka merasa tidak perlu membicarakanku. Lagi pula, mereka punya teman baru di sini."
Neo mengangguk, kemudian mengusap punggung Lexa dengan tangan kanannya.
"Tidak apa-apa. Aku akan selalu menemanimu," kata Neo.
Lexa memandang tepat ke mata anak laki-laki itu. Neo terlihat sungguh-sungguh. Namun, Lexa tetap tidak bisa berbagi rahasia itu dengan Neo. Bagaimana pun ini masalah pribadinya. Jika suatu hari Lexa tersandung masalah, biarlah hanya ia sendiri yang menanggungnya.
Evana masuk ke laboratoium dengan kardus berukuran sedang di tangannya. Semua murid tampak memperhatikan kardus itu dengan saksama. Semua mata mengikuti dari pintu sampai kardus diletakkan di meja. Evana menarik napas sejenak sebelum menegakkan tubuh di tengah laboratorium. Ia memperhatikan semua murid yang sudah bersiap di meja praktik masing-masing.
"Hari ini akan menjadi hari yang sangat penting bagi Akademi Laetus, termasuk kalian murid kelas Medicus," ucap Evana. Semua murid tampak bingung. Mereka saling memandang dan mulai berbisik-bisik. "Hari ini, setelah bertahun-tahun melakukan penelitian, akhirnya kami para guru dan para Medicus berhasil menemukan penawar yang ampuh untuk ramuan Calisitafe."
Suara bisikan kini berubah riuh. Beberapa murid takjub sekaligus senang karena mereka mendapat kesempatan untuk membuat ramuan penawar yang sudah bertahun-tahun diteliti. Ini kesempatan besar bagi mereka dan membuka peluang memenangkan olimpiade pada musim mendatang.
"Wah, akhirnya penawarnya ditemukan," ucap Neo bangga. Ia melihat Lexa yang tampak kebingungan melihat murid-murid lain gembira.
"Kok kamu biasa aja? Ini kan berita bagus," kata Neo.
"Emang ada apa kalau ramuan penawarnya ditemukan? Kan, itu bukan penyakit menular yang harus segera ditangani. Memangnya siapa yang akan meminum ramuan beracun itu sampai harus dicari penawarnya?"
Neo diam sejenak, ia lupa kalau Lexa tidak tahu sejarah akademi ini.
"Jadi ramuan Calisitafe ditemukan puluhan tahun lalu dan harganya sangat mahal karena kemampuannya membunuh orang dewasa secara perlahan sampai tidak akan ada yang menduga kalau itu akibat racun," jelas Neo. "Tidak diketahui siapa penemu awal ramuan itu, tetapi para Medicus berusaha mencari tahu bahan pembuatan ramuan itu untuk dapat mencari penawarnya. Setelah diketahui, para Medicus mencoba mencari penawarnya. Jika penawar itu ditemukan, sama seperti Calisitafe, harganya juga akan sangat mahal."
Lexa mengernyit. Apakah mereka benar-benar tidak tahu perihal sihir dalam buku hitam itu? Lalu kenapa guru besar menyimpan buku itu untuknya sendiri, jika selama ini para Medicus berusaha keras mencari penawar Calisitafe? Memang Lexa belum pernah membuktikan apakah sihir di kitab itu mampu memberi penawar untuk Calisitafe, tetapi ia yakin sihir itu bisa mengobati korbannya.
Lexa hanya mengangguk seraya bergumam sebagai jawaban. Ada banyak pertanyaan yang timbul di benaknya. Ia kembali mempertanyakan alasan guru besar memberikan kitab itu padanya. Pasti ada maksud lain sampai kitab itu harus dirahasiakan keberadaannya. Lexa membulatkan tekad untuk menemui guru besar nanti sore setelah kelasnya hari ini selesai.
***
Cleo sedang merapikan meja kerjanya saat Lexa membuka pintu. Pria itu terkejut melihat Lexa datang di sore hari begini. Biasanya semua murid kembali ke kamar untuk mandi dan istirahat sebelum jam makan malam. Pria itu berhenti merapikan meja dan mendongak menatap Lexa yang terlihat terburu-buru. Buliran keringat membasahi kening gadis itu.
"Ada apa?" tanya Cleo. Ia menduga ada sesuatu yang buruk terjadi.
Lexa menarik napas sejenak sebelum menjawab. Ia melirik ke anak tangga yang meliuk ke lantai dua.
"Bisakah aku menemui Guru Besar sekarang?"
Cleo mengernyit. Selama ini tidak ada murid yang datang menemui guru besar jika bukan atas permintaan guru besar sendiri. Jika guru besar yang meminta bertemu dengan Lexa, seharusnya Cleo tahu karena ia adalah asisten langsung pria itu. Cleo menatap penuh selidik.
"Sepertinya dia ada di atas," kata Cleo. "Guru Besar belum keluar dari ruangannya sepanjang hari ini."
Lexa bernapas lega. Ia tidak bisa menunda lebih lama lagi. Semua pertanyaan dalam benaknya bisa membuatnya gila.
"Boleh aku naik sekarang?"
Cleo bergumam. Guru Besar tidak suka diganggu.
"Tunggu sebentar biar aku tanyakan dulu," ujar Cleo. Ia beranjak dari kursinya dan menaiki anak tangga. Lexa duduk di kursi panjang dekat pintu seraya memperhatikan rak buku yang kini mulai berantakan. Sepertinya Cleo benar-benar butuh asisten untuk membantunya.
Beberapa saat kemudian, Cleo turun.
"Naiklah," katanya, kemudian kembali sibuk dengan kertas-kertas di meja.
Lexa bergegas naik dan berhenti sejenak di depan pintu. Ia mengatur napas dan mendorong pintu sampai terbuka. Pria itu langsung menatap ke arah Lexa begitu gadis itu masuk. Lexa menutup pintu perlahan dan duduk di kursi di seberang meja. Kewaspadaannya sirna begitu saja karena ia sangat ingin mendapatkan jawaban.
"Apa yang membawamu kemari, Nak?" tanya Guru Besar. "Kau sudah menguasai semua isi kitab itu?"
Lexa menggeleng. "Belum," jawabnya. "Aku ke sini karena ingin bertanya."
Guru Besar tersenyum, kemudian mempersilakan Lexa menyampaikan tujuannya.
Gadis itu diam sejenak, menimbang-nimbang pertanyaan mana yang harus ia ajukan lebih dulu.
"Kenapa kamu memberikan Kitab Hitam itu padaku?" tanya Lexa. Ia sudah pernah menanyakan itu, tetapi Lexa ingin jawaban yang lebih pasti dan meyakinkan.
"Takdir yang memilihmu, Nak," kata Guru Besar. "Kau tidak bisa lari dari garis takdir yang sudah dibentuk sejak kau lahir. Bukan secara kebetulan kalian dibawa ke tempat ini. Bukan kebetulan pula kau punya beberapa bakat sihir. Semua sudah digariskan, Nak. Kamu akan menjadi pahlawan bagi akademi ini setelah jatuh selama bertahun-tahun."
Gadis itu mengernyit. Memangnya apa keterkaitan akademi ini dengan dirinya? Lexa berusaha menerima jawaban itu meski ia lebih suka jika diberi jawaban yang pasti.
"Lalu, kenapa di kelas Medicus semua murid diajarkan meracik ramuan obat dan racun?" Lexa memperhatikan dengan saksama ekspresi pria itu. Namun, tampaknya ia cukup tenang sehingga tidak ada perubahan apa-apa. "Sementara dalam kitab itu ada cara yang lebih praktis untuk menyembuhkan orang atau meracuni mereka. Dengan mantra, semua jenis ramuan dapat diciptakan."
Pria tua itu mendesah panjang. Pertanyaan Lexa seakan-akan membebani pundaknya yang tak lagi kokoh.
"Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, Nak," kata pria itu. "Ikuti saja perintahku. Jika sudah selesai, aku akan menepati janjiku padamu. Suatu saat kamu juga akan tahu alasannya."
Lexa tidak puas. Sama sekali tidak puas. Namun, sepertinya sejauh apa pun ia berusaha menggali, pria itu tidak akan memberi jawaban yang ia inginkan. Lexa harus mencari jawabannya dari orang lain.
Lexa berpamitan dan meminta waktu seminggu untuk menuntaskan kitab itu. Namun, itu tak sepenuhnya benar. Ia bisa mempelajari sisa kitab itu dalam dua hari. Lexa hanya ingin mengulur waktu untuk mencari jawaban dari semua teka-teki yang ada.
Lexa turun dari sana dan mendapati Cleo masih berkutat di mejanya.
"Kurasa kau harus mempekerjakan seseorang untuk membantumu," kata Lexa sebelum meninggalkan ruangan Cleo.
Gadis itu nyaris menjerit karena tiba-tiba Ney muncul di depan wajahnya. Burung itu mengepak-kepakkan sayapnya.
"Ney, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lexa pelan.
"Bill ingin menemuimu," kata Ney. "Ini penting."
Lexa menatap bingung. Kenapa Bill ingin menemuinya?
"Maaf, Ney. Setiap hari aku ikut kelas Medicus," kata Lexa. "Aku akan menemuinya lain kali."
Ney menggeleng. "Tidak bisa," kata Ney. "Kau harus menemuinya malam ini."
Lexa mengerutkan kening, lalu menggeleng. "Tapi aku tidak bisa," jawab Lexa. "Pergilah, seseorang bisa melihatmu di sini."
Lexa beranjak pergi.
"Tapi Bill bisa menjawab semua pertanyaanmu," ucap Ney.
Lexa berhenti dan berbalik. "Benarkah?"
Ney mengangguk. "Dia akan membantumu me
mecahkan semua teka-teki itu."
"Baiklah. Nanti malam."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top