Bab 20 - Janji Harus Ditepati

Lexa tidak bisa tidur malam itu. Pikirannya berkelana ke sana kemari. Ia berbaring miring ke tembok. Matanya mulai perih dan kepalanya mulai nyeri, tetapi matanya enggan terpejam. Ia sangat gelisah. Kitab Hitam yang diberikan guru besar, serta tawaran menggiurkan membuat Lexa terus memikirkannya. Di satu sisi ia ingin segara menguasai isi kitab itu, tetapi di sisi lain ada perasaan mengganjal yang mengusik benaknya.

Gadis itu memosisikan tubuhnya menghadap ke langit-langit kamar. Kedua tangannya disejajarkan di kedua sisi tubuh. Dengan tarikan napas perlahan, ia mengatur ritme jantungnya yang terus berdetak kencang. Pikirannya perlahan membaik dan matanya mulai memberat. Namun, saat ia hampir jatuh dalam tidur, tiba-tiba sekelebat ingatan membuatnya terjaga.

Lexa tidak tahu apakah itu mimpi atau bukan. Namun, saat matanya benar-benar terbuka, ia merasa takut. Pikirannya terbawa pada kitab yang sudah disimpannya di lemari pakaian. Kitab itu seakan-akan memanggilnya, meminta untuk dibuka saat itu juga. Lexa menyadari adanya keanehan dalam dirinya, tetapi ia tetap melangkah ke lemari.

Ia mengambil kitab dari bawah kain yang dipakainya menutupi kitab itu. Tidak ada yang aneh atau berubah. Namun, Lexa merasakan sensasi berbeda saat memegang kitab itu. Perasaannya semakin dalam dan sangat ingin membacanya. Lexa tidak berusaha menghindar, ia membawanya ke kasur dan mulai membukanya.

Pada halaman pertama terdapat judul besar.

Sihir Cahaya.

Lexa membalik halaman, di sana terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan untuk berlatih menggunakan sihir itu. Ada pula mantra yang harus diucapkan agar sihir cahaya yang sudah dilatih mau mengikuti perintah sang penyihir.

Lexa meletakkan buku itu di pangkuannya dan mulai mengikuti gerakan tangan pada buku. Pertama tangan kanannya terangkat tinggi ke atas dan dikepal, kemudian tangan kirinya direntangkan ke depan dengan telapak tangan terbuka ke atas. Kemudian tangan kanannya diarahkan tepat ke atas tangan kiri. Lexa membaca lagi instruksi dalam buku dan mengucapkan sebaris mantra yang ada di sana.

Luxia avens norio.

Kemudian Lexa membuka kepalan tangan kanannya. Setitik cahaya ungu kecil jatuh ke tangan kirinya. Lexa ternganga melihat bola cahaya mungil jath dari kepalan tangan kanannya. Ia merasakan senasi hangat saat bola cahaya menyentuh telapak tangannya. Seperti inikah murid kelas Lux berlatih sihir?

Namun, kekaguman akan keindahan cahaya itu tidak lantas membuatnya merasa hebat. Sekali lagi, ada perasaan aneh yang mengusik benaknya. Ia senang dan takut secara bersamaan. Tanpa sadar air matanya menetes seolah-olah ia baru saja kehilangan sesuatu.

Lexa mengamati kembali buku itu dan memutuskan menyudahinya sekarang. Ia merasa ada yang salah dengan buku itu. Tubuhnya melemah seakan-akan energinya terserap habis. Meskipun sangat penasaran hal apa yang bisa ia lakukan dengan bola cahaya itu jika ia melanjutkan mantra berikutnya, Lexa sekuat tenaga melawan dorongan untuk melanjutkan. Ia menutup telapak tangannya dan dengan pikiran ia memerintahkan agar bola cahaya itu hilang.

Lexa cemas saat tangannya perlahan terbuka. Bagaimana jika cahaya itu gak hilang? Aku harus bilang apa sama mereka kalau lihat bola cahaya di tanganku, padahal aku gak pernah ikut kelas Lux?

Lexa menarik napas panjang, kemudian membuka kepalan tangannya. Cahaya itu sudah hilang dan Lexa bernapas lega. Gadis itu langsung menutup kitab itu dan buru-buru menyimpannya ke lemari. Ia akan mempertimbangkan tawaran guru besar lain kali. Atau mungkin ia bisa menuntut penjelasan lebih tentang kitab itu.

Setelahnya, Lexa memaksa matanya terpejam karena besok ia harus mengikuti kelas Medicus. Ia akan belajar di sana selama sebulan penuh dan boleh pindah kelas jika ia mampu manguasai semua sihir Medicus. Lexa tidak tahu harus bangga karena dianggap berbakat, atau itu hanya sindiran karena tidak ada satu penyihir pun yang bisa lulus dari kelas Medicus dalam kurun waktu satu bulan.

***

Kedekatan Lexa dan ketiga temannya mulai renggang. Ia tak banyak mengobrol dengan mereka sejak ia mulai mempelajari kitab itu. Setiap kali ada waktu luang, Lexa menghabiskan waktu untuk mempelajari kita itu dan kini ia menguasai sepenuhnya sihir cahaya. Dengan mantra yang ada kitab, ia bisa mengendalikan bola cahaya mungil itu dengan pikirannya. Awalnya Lexa mematikan lampu kamarnya saat malam hari dan ia menciptakan bola cahaya kecil di tangannya. Rasa hangat yang sama kembali timbul. Ia merapal mantra agar bola cahaya itu menurutinya dan ia meminta bola cahaya itu membesar.

Tanpa menunggu lama, bola cahaya itu bertambah besar dan cahaya ungunya mulai menyilaukan pandangan. Lexa memerintahkan bola cahaya itu terbang ke langit-langit kamarnya, menggantikan bola lampu yang tergantung di sana. Cahaya keunguan memenuhi seisi ruangan. Lexa tersenyum melihat apa yang dapat ia lakukan malam itu. Berhari-hari berikutnya, ia semakin tertarik untuk mempelajari sihir lain dari kitab itu.

Suatu hari saat Lexa baru saja menyelesaikan pelajaran terakhir di kelas Medicus, Chris menahannya di koridor menuju kamar asrama. Anak laki-laki itu menarik lengan Lexa saat gadis itu mencoba menghindar.

"Aku mau ngomong sebentar," kata Chris tegas.

"Lain kali aja, aku ada urusan," kata Lexa sembari melepas paksa lengannya dari genggaman Chris.

"Kamu kenapa, sih? Belakangan ini aku perhatikan kamu mulai bersikap aneh," kata Chris. Cengkeramannya semakin erat yang membuat Lexa meringis kesakitan. "Aku bakal lepasin kalau kamu gak mau jelasin kenapa kamu berubah."

Lexa menahan kekesalannya. Ia sudah membuat rencana pagi tadi untuk mempelajari sihir berikutnya di pohon jamur di taman. Sekarang, ia bahkan belum sampai ke kamar untuk mengambil kitab itu.

"Apanya yang berubah, Chris?" Ia menatap lurus ke mata Chris dan merasa heran karena ia tak lagi merasa gugup. Ia punya keberanian yang datang entah dari mana. Perasaan deg-degan yang selama ini ada, kini sirna begitu saja. Sejenak Lexa kembali merasa aneh. Ia mencoba mengingat kesibukannya beberapa hari ke belakang. Ia selalu sibuk dengan Kitab Hitam.

"Kamu jujur samaku, malam itu kamu ngapain di ruang kerja Cleo?"

Lexa tercengang. Bagaimana Chris bisa tahu? Apakah Chris mengikutinya malam itu? Lexa tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Ia sudah berjanji pada guru besar tidak akan memberitahu siapa pun soal kitab itu.

Lexa mulai gelisah, pikirannya sibuk mencari alasan yang masuk akal.

"A-aku bantuin Cleo nyari dokumen," ucap Lexa. "Ah, ya dokumen. Katanya itu dokumen penting."

Lexa berusaha tersenyum agar Chris yakin akan ucapannya. Namun, anak laki-laki itu mengernyit dan menatap Lexa penuh selidik.

"Kenapa Cleo membangunkanmu tengah malam? Dia bisa mencarinya sendiri, kan?"

Lexa kembali bingung dibuatnya.

"Aku kan pernah kerja di sana," jawab Lexa asal.

"Itu dulu. Udah satu minggu kamu di kelas Medicus dan gak pernah lagi kerja di ruangan Cleo."

Lexa kehilangan akal. Chris sepertinya benar-benar memata-matainya selama ini dan ia menunggu momen yang tepat untuk menjebak Lexa. Gadis itu berniat melarikan diri saat Reka dan Lena tiba-tiba menghampiri mereka.

"Gimana, Chris?" tanya Reka. "Udah terjawab?"

Chris menoleh pada Reka yang kini berdiri di sampingnya, kemudian menatap Lexa yang menunduk memandang kakinya.

"Dia gak mau jujur," kata Chris terkesan pasrah.

Lena mengembuskan napas panjang. "Xa, kenapa, sih kamu gak mau cerita sama kita?"

Lexa meremas-remas tangannya. Kepalanya masih tertunduk. Ia merasa tidak nyaman berada di antara mereka bertiga, sementara ada rahasia yang tak bisa dibaginya pada mereka. Lexa mulai menimbang-nimbang untuk jujur pada mereka bertiga. Bagaimana pun mereka temannya dan selama ini selalu ada untuk menolongnya. Namun, Lexa sudah telanjur membuat janji dan sedikit lagi ia akan menguasai kitab itu dan bertemu kedua orang tuanya.

Jika Lexa jujur kepada ketiga temannya, apa yang akan terjadi? Apakah guru besar akan tahu dan membatalkan janji mereka? Bagaimana jika teman-temannya tidak bisa menjaga rahasia itu dengan baik?

Lexa menarik napas panjang, kemudian berusaha berdiri tegak. Ia memandang ketiga temannya.

"Maaf, ya. Tapi ini masalah pribadiku, aku gak pengen kalian terlibat," kata Lexa akhirnya. "Makasih udah peduli."

Lexa berlari meninggalkan mereka yang terbengong. Air mata membasahi pipinya sampai ia tiba di kamar. Ia mengunci pintu kamar dan terduduk di kasur. Ia benci dirinya sendiri karena berbohong pada ketiga temannya. Namun, ia juga sangat ingin bertemu dengan kedua orang tuanya. Meski hanya sesaat, Lexa sangat ingin memeluk mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top