Bab 2 - Lexa Kenapa?

"Kalian sudah siap?"

Pak Sam selaku guru kimia yang mengajar di kelas XI sekaligus menjadi pembina mereka dalam mengikuti olimpade kali ini, datang menghampiri siswanya yang duduk berkerumun di depan pintu masuk diberlangsungkannya acara. Mereka serentak mendongak, melihat sosok pria muda berusia dua puluh tujuh tahun tengah tersenyum menunggu jawaban.

"Kok, pada diam?" tanya Pak Sam. Ia menepuk tangan beberapa kali untuk menyemangati siswanya. "Ayo, dong. Kalian harus semangat."

Mereka berempat bangkit berdiri. "Kami sangat bersemangat kok, Pak," sahut Reka antusias. "Kita bantai mereka semua."

Chris dan Lexa terkikik melihat Reka menggerakkan tangan kanannya seolah sedang menebas lawan dengan pedang. Sementara Lena mencibir kesal.

"Bagus." Pak Sam mengacungkan kedua jempol tangannya ke depan. "Apa pun hasilnya, yang terpenting kalian harus berusaha dulu. Ingat, jangan gegabah dalam menjawab soal. Kalau ragu lebih baik mengulur sedikit waktu."

Mereka semua saling menatap, kemudian beralih pada Pak Sam.

"Pak, apakah teknisnya sama seperti olimpiade di tingkat provinsi kemarin?" tanya Lexa.

"Untuk teknisnya mungkin kurang lebih sama. Untuk lebih jelasnya akan disampaikan nanti sebelum ujiannya dimulai."

Mereka berempat mengangguk. Lena yang masih melihat kegugupan Lexa meraih tangan gadis itu dan meremasnya pelan. Saat Lexa menoleh, Lena tersenyum kemudian mengangguk sebagai isyarat bahwa mereka bisa melakukannya. Lexa menoleh ke arah Chris dan sekali lagi, ia mendapati anak itu menatapnya. Tatapan yang Lexa yakini bukan tatapan tanpa maksud.

Tak lama setelah mereka mengobrol untuk membahas beberapa soal yang sudah mereka kerjakan berhari-hari sebelumnya, suara seorang wanita yang memimpin jalannya acara terdengar. Mereka bergegas masuk bersama beberapa siswa lain yang juga akan mengikuti olimpiade. Salah seorang siswi berambut pendek sebahu melirik tajam ke arah Lexa. Tatapan yan membuat Lexa bergidik ngeri. Ia tak yakin pernah melihat siswi itu sebelumnya. Tidak di tempat ini atau di tempat lain. Lena yang menyadari hal itu mendekatkan tubuhnya pada Lexa.

"Udah jangan ditanggapi," bisik Lena. "Dia cuma pengen kamu merasa terintimidasi. Aku sempat melihatnya di sekitar koridor saat kita duduk. Mungkin dia melihat atau bahkan medengar pembicaraan kita."

Lexa menarik bibirnya melengkung ke atas. "Ya, Len. Aku enggak apa-apa, kok."

Mereka berempat duduk di kursi masing-masing. Lena dan Chris duduk bersisian sementara Lena Reka duduk cukup jauh. Lexa menarik napas panjang, mengembuskannya secara perlahan. Matanya memejam selama beberapa menit. Sembari mendengarkan arahan dari depan, Lexa meremas-remas tangan untuk mengurangi kegugupan.

Olimpiade Kimia kali ini berbasis digital. Di hadapan masing-masing siswa terdapat laptop yang akan mereka gunakan sebagai perangkat untuk menjawab setiap soal dan hasil tes mereka akan terekam oleh sistem secara otomatis.

Seorang wanita yang memandu jalannya acara mempersilakan mereka untuk mengisi data diri. Semua peserta tampak sibuk dengan keyboard di hadapan masing-masing. Berselang beberapa saat, mereka dipersilakan untuk mulai mengerjakan. Ada penghitung waktu mundur di bagian atas layar. Ada dua puluh soal yang harus mereka kerjakan dalam waktu 45 menit.

Waktu terus berlalu. Lexa berusaha fokus pada layar monitor di hadapannya. Ia baru menyelesaikan sepuluh soal saat kepalanya mendadak nyeri. Sesaat ia berhenti mengerjakan soal dan memijit kepalanya yang terus berdenyut. Namun, nyeri itu tak kunjung hilang. Tulisan di layar monitor mulai tampak buram.

Lexa ingin berhenti di sana dan keluar dari ruangan. Namun, ia teringat Amena yang akan memakinya habis-habisan. Mundur dari olimpiade ini sama saja mematahkan harapan ayahnya dan memberi ibu angkatnya jalan untuk semakin mempermalukannya di depan ayahnya. Dengan tekad yang berusaha ia bangkitkan, Lexa meneruskan pengerjaan soal. Ia tidak tahu apakah jawabannya sudah benar atau tidak. Yang pasti, ia ingin berusaha sampai akhir. Untuk membuktikan terlebih pada dirinya sendiri, ia sudah melakukan yang terbaik.

Timer di atas layar menunjukkan angka dua yang mana hanya tersisa dua menit untuk Lexa mengerjakan soal terakhir. Gadis itu semakin kesulitan membaca soal yang ada di layar. Pandangannya semakin buram dan kepalanya semakin nyeri. Seluruh tubuhnya melemas. Lexa berusaha melawan dan dengan sisa tenaga yang ia punya untuk menjawab soal terakhir dan mengirimnya.

Setelah itu, Lexa limbung ke meja. Tangannya terkulai, menggantung di sisi tubuh. Seorang pengawas bergegas menghampiri. Melihat Lexa tergeletak dengan wajah pucat membuatnya panik. Pria itu segera menggendong Lexa dan membawanya ke UKS. Chris yang ada di sebelahnya hendak beranjak, tetapi ia teringat posisinya yang sedang mengikuti olimpiade. Ia tidak boleh keluar ruangan begitu saja sebelum waktu pengerjaan dinyatakan berakhir.

Ia hanya bisa merapalkan doa, berharap Lexa baik-baik saja. Meski tak yakin, Chris berharap Lexa sudah menyelesaikan semua soal sebelum akhirnya pingsan.

***

"Kau yakin akan melakukannya?"

Entah sudah berapa kali wanita itu melontarkan pertanyaan yang sama pada pria berkacamata di depannya. Wanita itu berjalan mondar-mandir dengan langkah nyaris diseret mengitari ruangan. Sesekali tangannya mengusap perut yang membesar. Wajahnya tegang penuh kekhawatiran mendalam.

Pria yang sedari tadi lebih banyak diam sementara wanita itu memberondongnya dengan banyak pertanyaan, menarik napas untuk menjernihkan pikiran. Ia tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan olimpiade di bulan mendatang. Akademi yang berpartisipasi, kemampuan murid-muridnya yang ia sendiri tak yakin mampu mengungguli akademi lain, membuat pria itu jenuh.

Wanita itu berhenti dengan tubuh menghadap ke jendela yang terbuka. Pandangannya menembus jauh ke luar. Melewati atap bangunan yang berwarna-warni. Tangannya masih memegang perut saat ia berkata, "Aku tidak ingin anak kita lahir tanpa ayah. Atau lebih buruk lagi, ia lahir tanpa ayah dan ibu."

Pria itu bangkit. "Apa yang kau katakan?" Suaranya meninggi, membuat wanita itu tersentak. "Apa kau pikir aku tidak mempertimbangkan masa depan kita dan anak dalam kandunganmu?"

Wanita itu berbalik. Matanya tampak bening karena air mata menggenang di sana.

"Tidak lama lagi anak ini akan lahir." Wanita itu berbicara seolah-olah pria di depannya tidak tahu akan hal itu. "Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi sampai ia lahir. Aku ingin menjadi ibu-"

"Cukup, Partia!" Pria itu membentak. Suaranya membuat Partia terdiam, membeku. Janin di kandungannya turut merasakan sehingga ia bergerak gusar di dalam sana. Partia yang tertegun mengusap perutnya untuk menenangkan janinnya. "Kau pikir aku tidak ingin menjadi ayah? Kau pikir aku tidak ingin melihatnya tumbuh dan mengajarkannya banyak hal?"

Partia tidak menjawab. Tidak ada yang keluar dari mulutnya. Ini kali pertama suaminya membentaknya. Apa yang dipikirkan pria itu, sampai ia tega membentak istrinya yang hamil tua?

"Kumohon, Partia," ucap pria itu seraya menyatukan kedua tangannya di depan dada. "Biarkan aku berpikir dan mengambil keputusan yang aku yakin inilah jalan terbaik. Ini demi kebaikan kita semua."

Kali ini Partia menemukan jiwanya yang sempat lenyap entah ke mana. Ia mendongak menatap lurus ke mata suaminya. "Keputusan itu sama sekali tidak baik untukku dan anak kita. Kau hanya memikirkan keinginan dan ambisimu yang tinggi."

Pria itu mengusap rambutnya kasar. "Partia, tolong jangan egois seperti ini."

"Kau yang egois!" Kali ini Partia yang membentak. Wanita itu meringis saat perutnya terasa nyeri. "Sampai kapan pun aku tidak akan setuju dengan keputusan itu. Sampai kapan pun."

Partia meninggalkan ruangan itu dengan langkah terseok-seok. Nyeri di perutnya semakin menjadi-jadi. Ia harus segera ke kamar dan meminta seseorang untuk memberinya obat pereda nyeri.

"Partia!"

Lexa terbangun. Teriakan yang memekakkan telinga itu membuatnya tersadar. Sekali lagi setelah sekian lama, ia lagi-lagi memimpikan mereka. Lexa tidak mengenal mereka berdua atau orang-orang yang sering berkeliaran di sekitar mereka. Gadis itu juga tidak paham apa yang mereka perdebatkan. Awalnya semua tampak samar-samar, bahkan saat pertama kali memimpikan mereka, Lexa tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas. Namun, kali ini ia bisa melihat wajah wanita itu. Masih terlihat muda dan sangat cantik dengan mata yang besar dan alis yang melengkung sempurna. Bibirnya tampak pucat karena tidak mengenakan riasan.

Namun, sampai sekarang, Lexa tidak menemukan letak kesinambungan mimpi itu dengan hidupnya. Terkadang ia merasa bahwa itu adalah buah imajinasinya yang melampaui batas. Terlebih Lexa suka membaca novel sehingga mungkin apa yang ia baca terbawa masuk ke alam mimpi. Meskipun hati kecilnya berkata bahwa itu bukan sekadar mimpi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top