Bab 19 - Kitab Hitam
"Apa yang kau lakukan di kamarku?"
Cleo berdiri di samping ranjang Lexa. Gadis itu terkesiap karena saat itu masih tengah malam. Apa yang dia lakukan di sana? Cleo menaruh jari telunjuk di mulut. Kemudian menggerakkan kedua telapak tangannya ke depan.
"Jangan teriak, ada yang ingin menemuimu," kata Cleo nyaris berbisik.
Lexa termenung menatap wajah Cleo yang menunggu respons. Lexa menggaruk kepala karena bingung. Kantuk masih menggelayuti matanya.
"Kenapa harus tengah malam begini?" tanya Lexa. "Dan siapa yang ingin menemuiku? Apakah dia tidak bisa menunggu sampai besok?"
Cleo tersenyum, lalu menggeleng. "Aku yakin kau akan senang bertemu dengannya. Dia punya sesuatu yang menarik untukmu."
Lexa kembali merenung. Matanya sangat berat dan mimpinya tadi gantung begitu saja karena dibangunkan Cleo. Ia masih jengkel saat kakinya beranjak turun dari ranjang dan mengikuti Cleo keluar. Mereka berjalan dalam keheningan di sepanjang koridor. Lexa merapatkan jaketnya saat tiba di ujung koridor menuju jalan ke taman.
"Sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Lexa.
"Guru Besar ingin menemuimu," kata Cleo tanpa berbalik. Ia mempercepat langkah dan Lexa menggerutu di belakangnya karena kedinginan.
Cleo membuka pintu ruangannya dan mempersilakan Lexa masuk lebih dulu. Setelah Lexa masuk, Cleo mengamati keadaan di luar sebelum menutup pintu. Setelahnya, mereka naik ke lantai dua. Untuk kali pertama Lexa naik ke sana dan setengah kantuknya hilang. Ia ingin tahu apa yang ada di sana sehingga Cleo sempat melarangnya naik.
Di atas hanya ada satu ruangan besar dengan pintu kayu berat dan besar. Gagangnya berwarna keemasan dengan ukiran rumit. Cleo mendorong pintu terbuka dan meminta Lexa masuk. Gadis itu bengong. Ia menatap wajah Cleo, menuntut jawaban.
"Aku akan menunggu di bawah," katanya seakan bisa membaca isi pikiran Lexa.
"Kenapa tidak ikut masuk?" Jantung Lexa mulai berdebar. Ia ingat saat kali pertama bertemu guru besar. Ia sangat ketakutan meski bersama teman-temannya. Sekarang ia sendirian di tengah malam. Pasti ada sesuatu yang penting sampai-sampai ia dibangunkan malam ini.
"Tidak apa-apa," kata Cleo. Tangannya mengusap lembut kepala Lexa. "Ini urusan pribadi jadi aku tidak boleh masuk."
Lexa tak lagi menyahut. Ia masuk kemudian jantungnya nyaris berhenti berdetak saat pintu ditutup. Pria itu duduk di kursi kayu besar berukiran di balik sebuah meja panjang. Di mejanya tersusun banyak dokumen. Di sudut ruangan ada rak buku yang berisi banyak buku bersampul usang. Seisi ruangan sangat terawat dan rapi, berbeda jauh dengan ruangan Cleo di bawah.
Lexa berjalan hati-hati. Ia memaksakan senyum yang disambut dengan wajah datar dari pria itu.
Lexa berdiri di balik meja. Meski ada kursi, ia enggan duduk di sana. Akan lebih mudah baginya melakukan perlawanan atau melarikan diri jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
"Kau tidak mau duduk, Nak?" tanya pria itu. "Aku sudah meminta Berta membersihkan kursi itu kemarin."
Lexa tahu ada sindiran di sana, tetapi ia tidak mau terlalu merespons.
"Tidak, terima kasih," kata Lexa. "Bisa langsung dimulai saja?"
Pria itu menarik napas panjang, kemudian tersenyum. Anehnya, senyum itu terlihat tulus. Matanya berkaca-kaca dan Lexa menduga pria itu sedang bersandiwara.
"Boleh aku menceritakan suatu hal?" katanya.
"Silakan."
"Puluhan tahun yang lalu, akademi ini sangat makmur. Setiap tahun ada banyak yang mendaftar. Setiap tahun pula kami memenangkan olimpiade. Tapi, kejayaan kami tidak bertahan lama. Orang-orang yang kupercaya mulai berkhianat."
Lexa memperhatikan, pria itu mulai meneteskan air mata. Suaranya juga berubah serak.
"Pengkhianatan mereka membuat keseimbangan goyang dan akhirnya akademi ini mulai jatuh. Nama baik kami tercoreng. Aku berusaha menyingkirkan para guru yang berkhianat. Tapi sialnya, saat aku lengah salah satu guru membawa anakku pergi. Dia juga membunuh istriku."
Lexa berdiri dalam diam. Pria itu mulai terisak dan Lexa merasakan kepedihan di dadanya. Ia berusaha menahan air matanya agar tidak menetes. Pria itu terlihat sangat hancur. Lexa ingin memeluknya, memberinya ketenangan. Namun, ia tetap berdiri di sana.
"Tapi itu sudah berlalu," katanya setelah sejenak keheningan mengisi kekosongan di antara mereka. "Sudah saatnya aku membalas semua perbuatan mereka. Aku tidak tahu apakah dia masih hidup sampai sekarang. Tapi jika aku menemukannya, aku akan membunuhnya saat itu juga."
Lexa merinding. Meski terlihat sudah tua, pria itu masih menyimpan dendam yang sangat besar. Kemudian, Lexa teringat pada Bill. Mungkinkah dia orang yang dimaksud guru besar? Mungkin saja Bill bersembunyi di sana agar tidak ketahuan oleh orang-orang di akademi ini.
"Lalu kenapa kamu memanggilku?"
Pria itu mengusap pipinya yang basah. "Maaf, aku tidak seharusnya mengulur waktu. Aku ingin kau mempelajari kitab ini." Pria itu menyodorkan sebuah kitab kuno bersampul hitam yang diikat dengan sulur tanaman.
Lexa menerima kitab itu dengan tangan gemetar.
"Kitab apa ini?"
"Itu Kitab Hitam," kata guru besar. "Isinya sihir yang bisa membantumu menguasai banyak sihir di dunia ini."
Lexa mengerutkan dahi. Kenapa harus dia yang mempelajari kitab itu?
"Maaf, aku tidak bisa," kata Lexa. Ia menaruh kembali kitab itu ke meja. "Minta murid yang lain saja."
Guru besar menggeleng. "Kitab itu memilihmu, Nak."
Lexa semakin tidak paham. "Tidak. Tidak ada yang bisa memilihku, bahkan kitab ini."
Pria itu mendesah, kemudian memandang wajah Lexa sejenak.
"Jika kau mau mempelajari kitab itu, aku akan membantu agar kamu bertemu dengan orang tua kandungmu."
Lexa memelotot. "Dari mana kamu tahu aku ingin bertemu orang tua kandungku?"
Guru besar tersenyum, kemudian menopangkan kedua tangannya meja. "Aku tahu banyak hal tentangmu, Nak. Sejak pertama datang, aku sudah tahu kamu sangat berbakat."
Lexa mengamati pria itu cukup lama, barangkali ia hanya mencoba memperdaya agar Lexa mau menuruti kemauannya.
"Keputusan ada di tanganmu, Nak," kata pria itu. "Aku akan meminta murid lain jika kamu tidak berkenan."
Lexa menyambar kitab di meja dan mendekapnya di dada. "Kamu berjanji akan membantuku bertemu kedua orang tuaku?"
Guru besar mengangguk. "Tentu."
"Apakah kau mengenal mereka?"
"Ya, sangat kenal."
"Apakah mereka masih hidup?"
"Pelajari kitabnya dan temui aku jika kau sudah menguasai semua isinya," kata guru besar. Ia mengabaikan pertanyaan terakhir Lexa. "Aku berjanji akan membawamu bertemu dengan mereka."
Lexa tidak tahu ini mimpi atau kenyataan. Dadanya penuh kehangatan dan harapannya yang semula redup, kini kembali hidup dan membara. Tidak peduli kitab apa itu, ia akan mempelajari dan menguasainya secepat mungkin agar bisa bertemu dengan kedua orang tua kandungnya.
"Jangan sampai ada yang melihat kitab itu apalagi melihatmu mempelajarinya," ucap guru besar sebelum Lexa pergi.
Lexa mengangguk, lalu bergegas meninggalkan ruangan itu dan beranjak turun dengan kitab hitam di tangannya. Ia menyelipkan kitab ke balik jaketnya saat melewati meja Cleo.
"Sudah selesai?" tanya pria itu.
"Sudah. Aku mau lanjut tidur," kata Lexa.
"Kau tampak bahagia. Ada apa?"
Lexa mengedikkan bahu. "Seperti katamu tadi, ini urusan pribadi."
Cleo tertawa sembari menggeleng. Namun,
setelah Lexa pergi, ia merasa ada yang tidak beres. Cleo tidak tahu apa yang mereka bicarakan di atas sana tadi dan itu membuatnya gelisah. Namun, ia tidak bisa mendapat jawaban yang pasti selain menunggu sampai jawaban itu datang sendiri padanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top