Bab 15 - Maaf


Lexa tidak tahu apakah ia harus memaafkan ketiga temannya, atau memaafkan dirinya sendiri.

Setelah berhari-hari mereka tak lagi mengobrol, bahkan seolah-olah tak saling mengenal bila bertemu di ruang makan, sekarang mereka bertiga duduk di batu besar di tengah taman. Sehabis makan malam, Lena memaksa Reka untuk ikut meski anak laki-laki itu masih setengah kesal atas sikap Lexa yang tiba-tiba menjauhi mereka.

"Aku minta maaf." Kata itu yang pertama terucap dari bibir Lexa saat mereka tiba di sana. Tidak ada yang menyahut dan Lexa melanjutkan. "Aku gak seharusnya jauhin kalian dan menuduh kalian seperti itu. Aku sadar, aku terbawa emosi dan gak mau dengerin penjelasan dari kalian."

Saat berbicara, Lexa menunduk memandangi kakinya yang disilangkan. Ia tidak sanggup melihat wajah ketiga temannya. Matanya terasa perih menahan tangis.

"Aku juga minta maaf, Xa. Sejak kamu berusaha menjauh, aku malah biarin kamu sendirian. Jujur, aku kesal karena sikap kamu yang kekanakan," tutur Lena. "Tapi sebagai teman, harusnya aku sadar kalau sikapku justru bikin kamu makin menjauh."

Lexa tidak menjawab. Air mata menetes membasahi kakinya.

"Lain kali, kalau ada masalah dibicarain baik-baik, dong!" Tiba-tiba Reka bersuara. "Kita ini udah lama temenan, berjuang bareng sampai menjuarai olimpiade. Masa gara-gara masalah begini kita saling menuduh?"

Perih. Lexa merasakan dadanya tertusuk berkali-kali. Ini kesalahannya. Ia seharusnya bisa lebih dewasa.

"Reka, jangan ngomong gitu, ih," kata Lena.

"Kan, emang bener. Dia jauhin kita tanpa alasan yang jelas. Kalau bukan Chris yang kasih tahu, gak bakal aku tahu dia jauhin kita gara-gara gak punya bakat sihir."

Lexa mendongak saat mendengar bunyi pukulan di depannya. Lena menjerit melihat Chris melayangkan tinju ke wajah Reka. Bibir Reka berdarah. Ia memegangi pipinya yang memerah. Di depannya Chris duduk dengan wajah tegang.

"Sekali lagi kamu ngomong gitu, habis kamu!"

"Chris, kenapa kamu mukul dia?" Lexa menatap tak percaya apa yang ada di depannya. Untuk pertama kalinya Lexa melihat Chris begitu marah sampai memukul temannya sendiri. "Kalau mau nyalahin orang yang jadi biang masalah, itu aku. Reka wajar kesal karena sikapku kemarin."

Chris mengusap wajah dengan kedua tangannya. "Tapi bukan berarti dia seenaknya ngatain kamu, Xa."

"Udah cukup," ucap Lexa tegas. Ia mengusap pipinya yang basah. "Aku gak mau ada lagi pertengkaran di antara kita. Semua kesalahpahaman ini kita selesaikan sekarang juga. Aku gak mau setelah ini, masih ada yang menaruh dendam. Aku mau kalian semua keluarkan di sini."

Hening untuk sesaat. Akhirnya Lexa kembali berbicara.

"Pagi tadi aku meminta Cleo memindai ulang bakat sihirku," gadis itu memulai. Teman-temannya memperhatikan dengan saksama, termasuk Reka yang masih memegangi bibirnya yang berdarah. "Dan ada yang aneh. Semua simbol sihir bergerak bersamaan saat aku menggerakkan tangan. Cleo bilang hal biasa jika seseorang punya lebih dari satu bakat sihir."

"Berarti sekarang kamu udah bisa masuk kelas, dong?" tanya Reka. Emosinya tampak lebih baik setelah Chris meninju wajahnya.

Meski enggan, Lexa mengangguk. "Tapi bukan itu masalahnya. Cleo bilang meskipun seseorang punya lebih dari satu bakat, bakat itu baru muncul setelah beberapa tahun sejak bakat pertama muncul."

Ketiga temannya masih diam, menunggu Lexa melanjutkan.

"Cleo bilang akan mendalami masalah ini," katanya. "Untuk sementara aku dibebaskan untuk memilih kelas mana yang akan aku masuki."

Mereka tersenyum mendengarnya. Ketiganya menyalami Lexa dan  memberi selamat.

"Kamu udah milih kelas?" tanya Lena.

Lexa mengangguk. Mereka bertiga menunggu penuh harap.

"Aku bergabung dengan kelas ... Medicus."

Reka dan Lena terkejut. Kelas Medicus adalah kelas lanjutan yang bisa dimasuki murid yang sudah menyelesaikan pendidikannya selama dua semester di kelas dasar. Namun, di sisi lain mereka kagum sekaligus senang mendengar itu.

Hal berbeda tampak di wajah Chris. Ia berharap Lexa bergabung di Kelas Lux sehingga mereka bisa belajar bersama. Terlebih ia tidak suka jika Lexa berada dekat dengan Neo. Namun, ia harus tetap mendukung sepenuhnya pilihan yang sudah diambil Lexa.

"Jadi sekarang kita udah damai, kan?" tanya Reka seraya melirik Chris.

"Emang masih pengen ditonjok?" jawab Chris.

Lexa dan Lena tertawa. Sekali lagi, Lexa mendapati Chris memperhatikannya diam-diam. Entah bagaimana, hal itu membuat Lexa senang. Seakan-akan itu pertanda Chris menyukainya.
***
Lexa memandangi seisi ruangan. Ada perasaan takjub sekaligus gugup saat Neo mempersilakannya masuk. Ruangan itu memesona dan mengintimidasi di saat bersamaan. Belasan pasang mata menatapnya, beberapa orang berbisik. Lexa tidak tahu apakah mereka membicarakan sesuatu yang buruk tentangnya. Namun, ia berusaha mengabaikan itu. Ia tidak boleh terus-terusan hidup di bawah bayang-bayang pemikirannya bahwa semua orang selalu membicarakannya.

Lexa memperkenalkan diri dan semua murid terkejut saat tahu ia tidak berasal dari kelas dasar. Bisikan demi bisikan saling bersahutan hingga menimbulkan keributan. Neo mengangkat tangan kanan untuk meredakan keriuhan.

"Lexa duduk di tengah, ya," tunjuk Neo pada kursi kosong di tengah. Semua murid menyoraki Neo, tetapi ia tidak peduli. Lexa duduk di kursi di sebelah Neo. Ia pura-pura sibuk dengan sebuah buku di tangannya untuk mengusir ketidaknyamanan karena banyak mata yang masih meliriknya. Beruntung, tak lama setelahnya seorang wanita berjubah hitam masuk. Ketukan sepatu hitamnya pada lantai menimbulkan suara yang membuat seisi kelas mendadak hening.

Wanita itu meletakkan beberapa kertas di mejanya. Tatapannya tampak mengintimidasi dari balik kaca mata besar yang bertengger di hidungnya. Tubuhnya tinggi dan ramping. Rambut hitam panjangnya digulung dan diikat menyerupai sanggul. Lexa melirik sekilas, semua murid fokus ke depan. Suasana menjadi hening, hanya terdengar suara entakan sepatu wanita itu saat ia menulis sesuatu di papan tulis.

POISON

"Selamat bergabung di Kelas Medicus," ucapnya datar pada Lexa. "Saya tidak akan mengulang materi pelajaran dari awal. Tanya pada murid lain jika tidak ingin ketinggalan pelajaran."

Ia mengalihkan pandangan ke sepenjuru kelas. "Baiklah. Hari ini kita akan belajar ramuan. Minggu lalu kita sudah belajar ramuan pengobatan menggunakan tanaman calisitafe dan kali ini kita akan belajar ramuan mematikan yang bisa membunuh seseorang dalam waktu singkat."
Lexa merinding di kursinya. Namun, saat melirik sekitar, semua orang tampak biasa saja. Sepertinya mereka sudah terbiasa dengan hal semacam itu. Sejenak kemudian ia merutuki dirinya sendiri karena lupa mereka semua adalah penyihir.

Wanita itu mengambil sebuah botol kaca bening berisi cairan kekuningan di meja. ulut botol ditutup rapat dengan sehelai kain yang diikat dengan sulur tanaman kering.

"Ini ramuan Asafilaus  atau orang biasa menyebutnya ramuan Asafi. Ramuan ini terbuat dari tanaman Cecilafus  dan buah Wuku ."

Semua murid sibuk mencatat di buku masing-masing. Lexa yang melihat itu kelimpungan karena tidak ada buku maupun pena yang bisa ia pakai untuk menulis. Neo menjulurkan buku dan pena dalam diam. Lexa menoleh, mengucapkan terima kasih dengan suara lirih karena takut wanita di depan sana melihatnya.

Ia buru-buru menulis semua keterangan tadi di bukunya.

"Hari ini, saya akan membagi kalian menjadi beberapa kelompok." Wanita itu meletakkan botol ramuan di meja.

"Baris pertama dan kedua meyiapkan peralatan praktik di laboratorium," ucap wanita itu. "Baris ketiga mencari tamanan Cecilafus dan baris ke empat mencari buah Wuku."

Lexa mengamati sekitar dan menyadari ia ada di baris ketiga. Tanpa aba-aba lebih lanjut, mereka bergerak meninggalkan kelas. Neo merapikan bukunya, kemudian bangkit dari kursi.

"Kita nyari tanaman itu ke mana?"

"Ke hutan," jawab Neo santai. "Ayo, kita harus cepat."

Neo menarik tangan Lexa yang masih kebingungan di belakangnya. Ia sama sekali tidak tahu tanaman apa yang akan mereka cari. Sepenuhnya ia percayakan pada Neo yang sepertinya sudah mengenal tanaman itu.

Lexa merasa de javu saat Neo menuntunnya ke hutan. Ia melihat pepohohan yang sama di balik tembok tinggi yang mengelilingi akademi.

"Kalau melihat tanaman rambat berdaun bulat beritahu aku, ya," kata Neo.

Lexa mengangguk, kemudian mereka mulai berjongkok seraya menyibak semak-semak di sana. Lexa tidak yakin apa yang sebenarnnya ia cari. Ia hanya mengikuti apa yang dilakukan Neo dan beberapa murid yang ikut mencari tanaman itu.

Lexa terus menyusuri hutan sampai ia kehilangan arah. Saat mendongak, ia tidak melihat keberadaan Neo. Ia berputar, berharap Neo ada di sekitar sana. Namun, tidak ada siapa pun yang terlihat. Kepanikan mendera. Sosok menakutkan mulai mengitari kepalanya. Bagaimana jika ada binatang buas atau penyihir jahat seperti yang dikatakan Berta?

Lexa berputar, berlari, tetapi tidak menemukan Neo. Ia kehilangan mereka.

"Neo!"

Hening. Tak seorang pun menyahut. Lexa terus berlari tak tentu arah. Sampai akhirnya ia berhenti saat melihat rumah kayu di tengah hutan. Ia mendekati rumah itu dengan perasaan waswas. Mungkin ada seseorang di sana yang bisa membantunya. Namun, saat berdiri di halaman rumah, Lexa berhenti. Ia tidak boleh masuk ke sana sementara ia tidak tahu tempat macam apa itu. Mungkin saja penyihir jahat itu tinggal di sana.

Lexa berbalik dan hendak lari saat seseorang berbicara di belakangnya. Suara serak pria tua. Penyihir jahat. Nama itu langsung tertancap dibenak Lexa. Ia ingin kabur, tetapi kakinya tak mau bergerak.

"Kau tersesat, Nak?"

Bulu kuduknya meremang seiirng tiap langkah kaki yang mendekat. Buliran keringat membanjiri wajahnya. Lexa mulai kesulitan bernapas karena dadanya semakin sesak. Kemudian pria itu berhenti. Sejenak Lexa menunggu barangkali ia akan dibunuh saat itu juga. Tetapi tidak ada yang terjadi.

Lexa memberanikan diri berbalik, melihat siapa yang ada di belakangnya. Ia berharap itu Neo yang bermaksud mengerjainya. Namun, saat wajah itu muncul di depannya, semua harapan untuk pulang sirna begitu saja. Bayangan sosok penyihir jahat jelas ada di wajah pria tua itu.

Catatan:

[1] Calisitafe adalah tanaman menjalar berwarna ungu dan tumbuh liar di hutan. Tanaman ini hidup di lingkungan yang lembab dan sensitif terhadap cahaya matahari langsung.

[2] Asafilaus adalah racun mematikan yang terbuat dari tanaman Cecilafus dan buah Wuku. Ramuan ini ditemukan oleh seorang peramu obat saat perang besar di Negeri Tiraus.

[3] Cecilafus adalah tanaman rambat yang tumbuh di hutan. Daunnya berdiameter 1-2 sentimeter dengan ketebalan sekitar 10-13 mm.

[4] Wuku adalah tanaman liar yang tumbuh di tengah hutandengan tanah yang lembap. Tingginya bisa mencapai 3 meter.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top