Bab 12 - Sihir


Hari-hari berlalu begitu saja. Semua orang beraktivitas seolah-olah tidak ada yang berubah. Memang tidak ada. Mereka tetaplah murid di akademi sihir dan setiap hari menjalani proses belajar untuk mengasah kemampuan mereka. Namun, bagi Lexa setiap hari rasanya semakin mencekam dan menyesakkan. Ia tidak bisa menebak ke arah mana hidupnya akan berakhir.

Terkadang ia bertanya-tanya, apakah ia juga penyihir? Mungkin saja Cleo benar, ia butuh waktu lebih lama untuk mengetahui bakat sihir yang ia punya. Namun, sampai kapan ia harus menunggu? Lexa menggeleng kuat. Tidak. Ia bukan keturunan penyihir.

Gadis itu duduk di bawah jamur raksasa di taman. Sudah lama waktu berselang, tetapi jamur itu masih berdiri kokoh. Ia kagum melihatnya. Beberapa jamur kecil di sekitarnya sudah menghitam. Beberapa kering dan menyemburkan spora saat tertiup angin.

Ia memandangi buku di tangannya, tetapi tidak membacanya sama sekali. Pikirannya melayang-layang. Ia tersadar saat mendengar suara lirih di dekat sana. Ia menoleh, mendapati burung kecil itu sedang mematuki jamur. Lexa tersenyum semringah. Ia sudah lama menanti kedatangannya.

“Hai, senang bertemu denganmu lagi,” sapa Lexa terlampau antusias. Sejenak pikirannya teralihkan.

Burung itu berhenti mematuk, ia mendongak lalu terbang mendekat. Kali ini, ia tidak ragu bertengger di paha gadis itu. Ia mengamati lembaran buku yang terbuka di pangkuan Lexa, kemudian mendongak.

“Kau suka membaca?”

Lexa mengangguk. “Ya, di rumah aku punya beberapa novel dan buku pelajaran kimia.”

Ney bercicit. “Ya, pantas saja kau suka menyendiri di sini.”

Lexa tersenyum. “Membaca buku membuatku lebih tenang. Aku belajar banyak hal baru dari sana.”

Burung itu mengangguk, kemudian mengamati tulisan di buku.

“Kau bisa membaca?” tanya Lexa penasaran. Ia tertarik pada kemampuan apa saja yang dimdiliki burung kecil itu.

“Tidak,” kata Ney. “Aku bukan manusia. Tidak ada manfaatnya bagiku membaca buku. Aku hidup dengan memakan biji-bijian ... dan jamur.”

Lexa mengangguk. “Kau benar,” katanya lirih. “Andai hidup semudah itu.”

Burung itu bercicit, kemudian terbang ke bahu Lexa.

“Kau punya masalah?” tanya Ney.

“Begitulah.” Gadis itu memandang ruang kerja Cleo di kejauhan. Tadi Lexa meminta izin keluar dan akan kembali sebelum jam makan siang. “Banyak hal yang mengangguku.”

“Kelihatannya begitu,” ucap Ney.

“Apa kau bisa menceritakan padaku tentang tempat ini?”

Ney mengepakkan sayap. Awalnya Lexa mengira Ney akan pergi. Namun, burung itu mendarat di hadapannya.

“Kau ada di Akademi Laetus, akademi sihir terbaik yang pernah ada,” kata Ney. “Akademi ini mendapat banyak penghargaan dan memenangkan banyak kejuaraan. Akademi ini disanjung oleh banyak orang dan menjadi salah satu akademi favorit.”

“Tapi tempat ini tidak terlihat semenarik kedengarannya,” ucap Lexa memandangi sekeliling. Lagipula murid di akademi ini tidak sebanyak yang bisa ia bayangkan. Bahkan ada beberapa bangunan yang terbiarkan kosong.

“Ya, sekarang sudah berubah,” ucap Ney.

Lexa mengernyit. “Maksudmu berubah bagaimana?”

Ney diam sejenak. Ia berbicara terlalu banyak. Jika Bill tahu, ia bisa diceramahi pria itu.

“Maaf, aku tidak bisa bercerita lebih banyak,” jawab Ney. “Bill akan menceritakan semuanya padamu. Tapi tidak sekarang.”

Lexa teringat saat Ney menceritakan Bill temannya yang suka berceramah. Siapa sebenarnya pria itu? Apakah Ney diutus untuk memata-matainya? Lexa tersadar dan waspada. Bisa saja burung itu jelmaan seorang penyihir dan ia berusaha memprovokasi Lexa. Setelah kejadian hari itu, ia tidak boleh percaya begitu saja pada siapa pun.

Terlebih lagi, Lexa belum siap menemui Chris dan meminta penjelasan darinya. Setiap kali berpapasan, Lexa berusaha menjauh karena sengatan di dadanya. Setiap kali melihat wajah teman-temannya, ia kembali terluka.

***

“Berhenti membuatku jengkel!”

Chris terus membuntuti Lexa yang enggan menjawabnya sejak tadi. Malam ini Lexa mendapat giliran membersihkan ruang makan dan malam-malam berikutnya selama seminggu ke depan. Gadis itu mengelap meja dengan kain hitam di tangannya, mendorong masuk kursi bersandaran hingga menyentuh sisi meja.

Lexa ingin meminta Chris berhenti mengoceh dan membiarkannya menyelesaikan pekerjaan. Namun, benaknya terus menahannya membuka mulut. Dia penyihir dan dia mengkhianatimu. Kalimat itu terus memenuhi kepalanya dan membuat dadanya nyeri.

Chris menarik lengan gadis itu, memaksanya berhenti menghindar. Lexa tidak menoleh meski tangannya tak lagi sibuk dengan setiap tepian meja yang sudah bersih.

“Kamu kenapa, Xa?”

Suara Chris melembut, menggoyahkan sedikit usaha pertahanan Lexa untuk tidak berbicara dengannya.

Lexa berusaha melepas genggaman Chris, tetapi hal itu justru mempererat genggaman Chris di lengannya. Akhirnya Lexa menyerah. Ia meletakkan kain di meja, kemudian berbalik menatap Chris.

Beberapa detik ia melayangkan tatapan keji, berusaha menantang Chris dan memaksa penyihir muda itu untuk memahami semua dari mata Lexa. Namun, detik berikutnya Lexa merasakan setiap sudut matanya panas. Tidak. Ia tidak akan menyerah dan menangis di pelukan Chris. Mereka pengkhianat. Lexa harus kuat dan mencari jalan keluarnya sendiri.

“Kenapa kamu bohong?”

Kalimat itu keluar setelah keheningan yang panjang. Tak banyak orang di sana. Hanya beberapa murid yang sibuk di balik ruangan kecil tempat semua peralatan makan disusun. Mereka tampaknya tidak peduli akan keberadaan Lexa dan Chris di sana.

Chris menatap heran, alisnya naik. “Aku tidak pernah membohongimu.”

Lexa tersenyum miring. Ia merasakan air mata mulai menetes di ujung matanya.

“Kenapa kalian membawaku masuk ke tempat terkutuk ini?”

Lexa tak kuasa menyembunyikan kepedihannya. Setelah beberapa hari ia berusaha kuat da menjalani hidupnya seolah-olah tidak ada yang mengusiknya, kini pertahanannya runtuh. Ia harus meluapkan semuanya dan menuntut penjelasan dari Chris.

“Aku gak bawa kamu, Xa,” bantah Chris. “Kan, kamu tahu sendiri kita dibawa Cleo ke sini. Aku juga gak tahu kenapa kita dijebak di sini.”

Lexa mengamati wajah Chris, mencari-cari jawaban di sana. Tidak ada yang berubah dari anak itu. Tatapannya masih sama.

“Baiklah, anggap saja kalian tidak tahu,” kata Lexa. “Tapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa kalian bagian dari tempat ini.”

Chris mengernyit. “Apa maksudmu?”

“Kalian penyihir.”

Chris tidak menjawab. Tangannya terlepas dari bahu Lexa dan ia tertegun saat gadis itu pergi meninggalkannya. Kalian penyihir. Kalimat itu terus berputar-putar. Satu hal yang baru ia sadari sekarang.

***

Chris menemukan gadis itu di ruang pelatihan. Tangannya bergerak dengan anggun dari atas ke bawah sementara bola cahaya memancar dari telapak tangannya. Beberapa murid kelas Lux juga tengah berlatih di sana. Termasuk Lena yang terlihat begitu menikmati sesi latihan dengan pembimbing mereka bernama Trian. Sosok pria berkumis tipis dengan rahang tegas yang sempat membuat Chris iri akan pesonanya.

Chris berdeham, membuat Diana menoleh. Gadis itu memadamkan bola cahaya di tangannya kemudian mengusap tangan.

“Hei, aku mencarimu sejak tadi,” sapa Diana. “Kau ke mana saja? Aku ingin menujukkanmu teknik baru.”

Chris tersenyum kecil, kemudian menggaruk kepala. Bukan itu yang ingin ia bahas sekarang.

“Kau punya waktu?”

Diana mengernyit. “Tentu.”

“Maksudku sekarang,” ujar Chris enggan. Ia melirik Trian yang sibuk mengajari beberapa murid dengan Lena yang terus mengekor di belakangnya.

“Ada apa?” Diana tampaknya menyadari adanya masalah dari ekspresi Chris.

“Kalau tidak keberatan, ikut sebentar denganku.” Chris menggosok-gosok tangan. “Aku tidak bisa mengatakannya di sini.”

Diana menautkan alis, tetapi tidak menolak. Ia menoleh dan melihat Trian masih sibuk dan mereka meninggalkan ruang latihan diam-diam. Sementara mereka berjalan di taman, Chris langsung bertanya pada Diana.

“Kau tahu kenapa kami dibawa ke sini?”

Diana tampak terkejut, tetapi ia berusaha mengendalikan diri. Sepertinya ia tahu sesuatu dan itu membangkitkan harapan dalam diri Chris. Barangkali penjelasan dari Diana bisa membantunya memperbaiki hubungannya dengan Lexa.

“Aku tidak tahu banyak,” jawab Diana. “Bagaimana pun aku hanya murid di sini. Kenapa tidak bertanya langsung pada Cleo?”

Chris menggaruk tengkuk. “Aku gak yakin dia mau jujur,” ucap Chris. Jika pria itu mau mengakatan yang sebenarnya, seharusnya ia sudah mengatakannya sejak dulu. “Aku tidak akan memaksamu. Tidak masalah jika kau keberatan.”

Diana tersenyum, kemudian menarik napas panjang.

“Yang kudengar, akan ada murid baru yang dibawa ke sini,” ujar Diana menjelaskan. “Tapi, aku tidak tahu mereka berasal dari akademi mana. Tapi kabar yang kudengar, mereka dulunya diasingkan dari akademi ini.”

Chris berhenti. “Diasingkan?”

Diana mengangguk. “Seperti yang kubilang, aku tidak tahu banyak. Lagipula aku hanya mendengar kabar dari mulut ke mulut. Akademi ini menutup rapat rahasia mereka dan tidak ada yang berani mengungkit rahasaia itu.”

Chris termenung sejenak. “Itu artinya kami semua dulunya berasal dari sini?”

Diana mengedikkan bahu. “Mungkin saja, lagipula kalian punya bakat, kan?”

Chris mengangguk. “Ya, kecuali Lexa.”

Diana mendongak. “Ya, kecuali temanmu yang pendiam itu. Tapi aku yakin dia hanya belum memberikan hatinya.”

Chris semakin tertarik. “Maksudmu?”

“Ya, sihir tidak akan datang dengan sendirinya tanpa diminta oleh pemiliknya. Seorang penyihir harus memberikan hatinya untuk menerima sihir itu dan menjadikannya bagian dari dirinya.”

“Tapi aku tidak meminta sihir itu masuk dan menjadi temanku,” sanggah Chris.

“Tapi kamu tidak menolaknya.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top