Bab 1 - Harapan dan Kerinduan

Lexa yakin hidupnya tidak akan pernah baik-baik saja setelah malam itu. Gadis berambut hitam legam yang diikat ekor kuda itu merenungi semua kejadian yang beberapa waktu terakhir mengusik kesadarannya. Semua hal aneh yang seringkali membuatnya bertanya-tanya, kini mulai merasuki kewarasannya. Ia mulai waspada, bahkan pada olimpiade yang akan ia ikuti hari ini.

Amena keluar dari kamarnya beberapa menit yang lalu-sedikit meninggikan suara ketika mendapati Lexa masih terdiam di tempat tidur-sebelum akhirnya pergi dengan membanting pintu. Lexa tak menjawab. Pikirannya terlalu lelah untuk menanggapi semua makian ibu angkatnya itu.

Gadis itu menarik napas sebanyak yang ia bisa, memaksa masuk sebanyak mungkin ketenangan ke dalam pikiran. Ia harus fokus pada olimpiade kali ini dan setelahnya ia punya cukup waktu untuk memikirkan apa alasan mimpi itu menemuinya nyaris setiap malam.

Lexa bangkit dan menyambar tasnya yang tergeletak di meja belajar saat terdengar langkah kaki menuju kamar.

"Aku sudah siap," ucap Lexa lantang. Kemudian ia mengembuskan napas seraya mengulas senyum saat mendapati ayah angkatnya di balik pintu.

Dion yang terkejut berusaha tenang, kemudian mengedikkan bahu.

"Ayo berangkat kalau begitu." Pria itu tersenyum, tangan kanannya merangkul bahu Lexa. Suasana yang sangat berbeda. Dion jauh lebih lembut setiap kali berbicara dengan Lexa. Meskipun bukan anak kandungnya, Dion menganggap Lexa adalah anugerah dari Tuhan untuk mereka yang sudah menikah belasan tahun, tetapi tak kunjung mendapat keturunan.

Namun, hal berbeda ditunjukkan oleh Amena. Ia tampak tidak senang dengan keberadaan Lexa di tengah keluarga mereka. Lebih tepatnya Amena tidak pernah menginginkan adanya anak di tengah keluarga mereka. Wanita itu sangat puas dengan hasil pemeriksaan dokter yang terakhir kali kala itu. Amena dinyatakan mandul. Memilukan bagi Dion, tetapi Amena yang benci mengurus anak merasa itu adalah anugerah.

Pada beberapa tahun setelah menikah, Amena berjuang mati-matian menentang ide Dion untuk mengadopsi anak. Wanita itu melontarkan banyak alasan bahkan air mata, demi menghalangi Dion mengadopsi anak. Bahkan hubungan mereka dengan orang tua Dion menjadi renggang. Amena tidak peduli. Baginya kebebasan adalah segalanya.

Namun, saat Lexa ditemukan di teras rumah dengan sepucuk amplop berisi surat dan kalung berliontin batu merah, harapan Amena untuk hidup bebas perlahan terkikis. Dan sialnya, Dion yang lebih dulu menemukan bayi mungil itu. Tak terbendung rasa syukurnya kala itu. Dunianya seakan-akan berubah menjadi surga dalam sekejap. Dion berseru, memaksa Amena keluar saat tengah berdandan.

Wanita itu diam, menatap jengkel pada bayi yang tidur tenang di gendongan Dion. Pria itu sudah membaca isi amplop dan ia memutuskan untuk mengasuh Lexa. Awalnya Amena enggan untuk mengasuh. Ia berkeras akan menyewa pengasuh untuk mengurusnya. Namun, Amena mengurungkan niat membawa masuk perempuan asing ke dalam rumahnya. Ia teramat cinta pada Dion sehingga tak ingin ada orang lain yang merebut perhatian pria itu darinya. Hal itu pula yang membuat Amena gusar setelah Lexa bertumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Meski tak mungkin Dion akan jatuh hati pada Lexa, tetap saja Amena khawatir.

Amena bisa merawat diri agar tetap terlihat muda, tetapi itu tidak akan bisa membuatnya bertahan. Rasa takut itu terus membayangi pikirannya, sehingga ia mulai membenci Lexa. Ia berusaha membuat Lexa tertekan dan pada suatu hari, saat Amena kehilangan kendali, ia membeberkan semuanya pada Lexa. Saat itu Lexa duduk di bangku kelas dua SMP.

Sepanjang perjalanan menuju aula tempat olimpiade dilaksanakan, Lexa memikirkan masa-masa itu. Hari-hari di mana ia merasa hancur karena menyadari ia tidak mengenal orang tua kandungnya. Kenyataan pahit bahwa ia dibuang begitu saja di rumah orang tak dikenal. Apa yang dipikirkan orang tuanya sampai tega membuangnya? Apakah mereka tidak takut jika pemilik rumah adalah orang jahat? Mungkin komplotan pencuri atau pembunuh dan Lexa dididik menjadi orang tak berperikemanusiaan?

Tanpa sadar Lexa meneteskan air mata. Meski sudah berlalu sekian tahun, tetapi rasa sakit itu masih menbuatnya lemah. Terlebih atas perlakuan Amena yang semakin hari membuatnya berang. Hati kecil Lexa terkadang merindukan kedua orang tua kandungnya. Ingin tahu seperti apa sosok mereka. Apakah mereka memiliki mata cokelat sepertiku? Apakah mereka berhati lembut?

Dion menilik lewat spion dalam.

"Ada apa, Nak?" Dion tetap fokus ke jalanan di depan mereka. "Ibu memarahimu lagi?"

Lexa mengusap air matanya. Ia memaksakan senyum, kemudian menggeleng. Ia tidak mau memperburuk keretakan hubungan ayah dan ibu angkatnya. Bagaimana pun, Lexa sadar ia tidak bisa merebut perhatian Dion dari Amena. Ia bukan anak kandung mereka.

"Lexa gak apa-apa, kok. Cuma tiba-tiba kangen sama orang tua kandung Lexa."

Ucapan Lexa tak sepenuhnya kebohongan. Ia tak terbiasa berbohong, bukan pula penipu yang baik.

Dion mengembuskan napas. Pria itu diam sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan Lexa. Namun, sampai mobil yang mereka kendarai tiba di halaman aula, Dion tetap bisu. Lexa menarik napas untuk menenangkan diri, kemudian membuka pintu.

"Doakan Lexa, ya, Pa." Gadis itu mengulurkan tangan, kemudian mencium punggung tangan Dion. Dion mencium kepala Lexa, kemudian memejam.

"Doa Papa selalu menyertaimu, Nak. Kamu harus yakin dengan kemampuanmu. Menang atau kalah, itu bukan persoalan. Yang terpenting, kamu tidak meragukan dirimu sendiri dan ingat, jangan pernah menyepelekan kemampuan lawan. Sikap optimis itu penting, tetapi kewaspadaan adalah kunci kemenangan."

Lexa tersenyum, sedikit terharu mendengar wejangan ayahnya. Sekali lagi, sebelum Lexa turun dari mobil, ia berpikir mungkinkah ayah kandungnya akan berkata demikian saat Lexa akan mengikuti olimpiade?

Setelah mobil yang dikendarai Dion melaju pergi, Lexa memusatkan pikirannya pada aula bertingkat di depannya. Puluhan orang berseragam sekolah berkeliaran di halaman aula dan di beberapa koridor. Lexa memperbaiki posisi ransel di punggungnya, kemudian melangkah dengan pasti. Apa pun hasilnya, aku harus mengupayakan yang terbaik, batinnya.

***

"Itu muka atau listrik. Tegang amat," ucap Lena yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Gadis yang mengenakan seragam putih biru seperti seragam Lexa itu duduk di kursi panjang yang juga diduduki Lexa.

Lexa menoleh sekilas, kemudian mengembuskan napas. Ia sudah berusaha tenang, tetapi ia tetap saja khawatir tidak bisa mengemban tugas ini. Ia bersama ketiga temannya yang ditunjuk untuk mewakili sekolah mereka dalam olimpiade kimia tingkat nasional mendapat beban yang sama. Membawa pulang medali kejuaraan. Ini bukan kali pertama Lexa mengikuti Olimpiade. Sejak SD, ia kerap mewakili sekolahnya. Namun, semakin bertambahnya usia, Lexa semakin memikirkan besarnya risiko yang harus ia terima jika kalah.

Kekecewaan guru-gurunya, kekecewaan kedua orang tuanya, kekecewaan ratusan orang dari sekolahnya yang terus memberi dukungan. Lexa tidak siap melihat siswa dari sekolah lain mengalahkan mereka dan berdiri podium untuk selebrasi kemenangan. Lexa tidak siap melihat tatapan orang-orang terhadapnya saat ia berjalan di sepanjang koridor aula dengan tatapan iba atau kekecewaan. Atau mungkin beberapa di antara mereka akan melayangkan tatapan sinis dan mencemooh dalam hati.

"Xa, gak perlu dipikirin," ujar Lena seraya mengusap punggung Lexa. Kedua tangan Lexa saling meremas. "Kita dipilih karena kita mampu mengemban tanggung jawab ini dan kita enggak pernah juga, kan, mengajukan diri. Menang atau kalah, itu menjadi tanggung jawab kita semua."

Lexa membenarkan ucapan Lena, tetapi tidak membuatnya tenang. Tetap saja sebagian pikirannya menentang itu. Kenyataan selalu berbanding terbalik dengan setiap teori yang ada.

"Tapi lawan kita bukan siswa sembarangan, Len," ucap Lexa akhirnya. Ia berusaha menyuarakan kekhawatirannya. "Kita ada di tingkat nasional. Kamu tahu, kan, sekolah yang ikut kali ini banyak dari sekolah terbaik. Dari info yang aku dapat, mereka bahkan menyewa guru les untuk mempersiapkan diri dalam olimpiade kali ini."

Lena menoleh pada gadis di sebelahnya. "Kamu mencari tahu sampai sejauh itu?"

Lexa mengangguk. "Kita tidak akan pernah menang kalau hanya berpatokan pada kehebatan kita sendiri, Len. Kita boleh yakin dengan kemampuan kita, tapi bukan berarti kita mengabaikan kemampuan mereka."

Lena bergumam seraya mengangguk. "Tapi kita juga terus belajar dan berlatih, kan?" Lena merangkul bahu Lexa. "Xa, aku paham kamu khawatir. Sama, aku juga khawatir kalau kita kalah. Tapi, kita gak punya cara lain selain menghadapi mereka dan berusaha semampu kita."

Lexa mendunduk, ia memainkan jemari tangannya. Lena yang merasa iba, menarik kepala Lexa ke bahunya. Tangannya mengusap-usap bahu temannya itu. Lena yang sudah berteman dengan Lexa sejak SMP tahu bahwa bukan olimpiade ini yang membuatnya begitu gugup. Lena yakin ini ada kaitannya dengan ibu angkat Lexa.

"Wih, mesra banget kalian berdua!"

Seorang siswa laki-laki tiba-tiba berseru. Ia berjalan bersama seorang siswa laki-laki yang tingginya nyaris sama dengan Lexa. Siswa yang berseru tingginya lebih rendah beberapa senti. "Kalau udah jadian, jangan lupa traktir, ya."

Lena menoleh, kemudian melayangkan tatapan sinis. Kebiasaan Reka yang suka bercanda tanpa tahu tempat membuatnya jengkel.

"Lexa kenapa, Len?" tanya Chris. Siswa berambut hitam dengan sisiran belah tengah itu berbicara jauh lebih lembut dan sopan dibanding Reka. Lena menoleh pada Lexa yang masih bersandar di bahunya, seakan-akan tidak menyadari kedatangan kedua temannya.

"Dia enggak apa-apa, kok," jawab Lena sedikit ragu. Namun, melihat reaksi Lexa yang tidak juga mengangkat kepala dari bahunya, ia menambahkan. "Cuma agak gugup aja."

Chris duduk di samping Lexa, kemudian menundukkan kepala untuk melihat wajah Lexa. Chris menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah Lexa, tetapi gadis itu tidak bereaksi.

"Kamu yakin dia baik-baik aja, Len?"

Lena melihat kekhawatiran di wajah Chris, kemudian beralih menatap Lexa.

"Xa?"

Lena menepuk bahu Lexa agak keras sehingga gadis itu terlonjak kaget. Ia melirik ketiga temannya yang tak ia sadari sejak kapan ada di sana.

"Kamu kenapa, Xa?" tanya Chris.

Lexa menggeleng. "Aku baik-baik aja, kok. Cuma kurang tidur aja, karena aku harus mengulang soal latihan sampai tengah malam."

Chris tidak yakin, tetapi tidak menuntut lebih jauh. "Kita masih punya waktu sekitar satu jam sebelum acaranya dimulai. Tadi aku melihat ada UKS di sini. Kalau kamu mau, aku bisa mengantarmu ke sana."

Lexa mengakkan tubuh, mengusap wajah dengan kedua tangannya. Ia mengembuskan napas kasar, kemudian tersenyum. "Kita lakukan yang terbaik, ya. Menang atau kalah, kita harus kompak."

"Oh, pasti kita menang, dong," ucap Reka antusias. Ia menepuk-nepuk dada. "Yakin sama Abang, Dek."

Lexa dan Lena tertawa. Reka selalu bisa membuat suasana mencair. Chris tersenyum, tetapi bukan karena ucapan Reka. Tatapanya tertuju pada Lexa. Pada tawa pelan yang keluar dari mulut gadis itu. Tawa yang entah bagaimana, membawa ketenangan ke dalam hati Chris. Laki-laki itu memalingkan wajah saat Lexa menoleh ke arahnya.

Lexa sempat menangkap Chris yang memperhatikannya. Namun, Lexa memendam pertanyaan itu di dalam hatinya. Barangkali ia harus belajar untuk tidak mempertanyakan hal itu lagi. Mungkinkah Chris menyukaiku?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top