9 - First Night
Lova terbangun dari tidurnya. Ia mengecek jam weker yang tergeletak di nakas. Masih pukul 12.00 tengah malam. Kepalanya terasa sedikit pening. Di meja kecil sebelah tempat tidur, ternyata sudah tersedia segelas air putih dengan tutup merah. Ada juga secarik kertas dengan catatan di dalamnya.
Ketika kau membaca tulisan ini, artinya kau harus minum obat ini!
"Pasti Darel," gumamnya. Kemudian ia membaca kelanjutannya.
Kau pasti lapar. Aku juga memasak sesuatu untukmu. Maaf kalau menggunakan dapurmu tanpa izin.
"Darel bisa masak?"
Lova mengambil kotak di sebelah gelas berisi air putih. Saat dibuka, aromanya enak sekali. Rupanya, tadi Darel memasak nasi goreng special untuknya.
"Darel, kau sungguh pria idamanku!"
***
Saat ini, Darel dan Gavin masih berada di rumah Lova. Mereka tidak tega kalau harus meninggalkan seorang gadis sendirian dalam keadaan yang masih belum membaik. Daven menyusul mereka sebelum pukul 12.00 malam. Rencananya, mereka akan 'berburu permen' malam ini.
"Bagaimana keadaan pacarmu?" tanya Daven menepuk Pundak adiknya yang tampak melamun.
"Pa-pa-pacar? Kami bahkan belum pacaran," sangkal Darel.
"Hahahaha... aku hanya bercanda!" Daven menepuk keras punggung Darel Tentu saja, itu terasa nyeri baginya.
"Lihatlah, Gavin! Paman Daven kasar sekali."
"Aku tidak peduli," ketus Gavin.
Darel berdecih. Anak berparas tampan nan dingin itu memang tidak bisa tertawa kalau diajak bercanda. Apalagi tersenyum.
"Jadi, apakah mama akan ikut dengan kita?" tanya Gavin.
"Sepertinya tidak. Kau ingat, apa yang terjadi dengan mamamu terakhir kali kita melakukan operasi perburuan permen?" Daven coba menelisik ingatan Gavin.
Anak itu tampak merenung, kemudian mengangguk. "Mama dan Papa mengalami kecelakaan. Namun, Tuhan memilih nyawa Papa duluan"
"Seandainya papamu masih ada. Dia sungguh pria yang hebat." Daven membayangkan sosok Ivan, ayah Gavin yang mengalami kecelakaan setahun yang lalu ketika mereka berusaha menangkap hantu berjubah biru yang turun ke jalan raya.
"Mamamu di ruang kendali untuk melihat pergerakan kita melalui kamera ini." Darel menunjukkan sebuah kamera seukuran kancing yang dipasang pada salah satu slot kancing jubah merah. Kamera yang terpasang bukanlah kamera biasa. Kamer aini bisa mendeteksi segala sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata manusia biasa.
"Alat komunikasi juga siap." Daven memasang mic kecil yang dijepit di kerah kemejanya. Pria itu juga memasang airpod di telinganya.
"Tes tes tes ..." Gavin ingin ujicoba benda itu.
"Apakah itu kau, Gavin?"
"Iya, Mama," sapa Gavin.
"Tenang saja, Kak Yori! Gavin aman bersama kami." Daven menepuk punggung Gavin, sama seperti ia menepuk pungguk Darel.
"Paman Darel benar, Paman Daven memang kasar sekali."
Daven meringis mendengar sikap polos keponakannya itu. Kemudian ia membuka sedikit tirai jendela yang mengarah ke halaman apartemen. Tampak senyap dan sunyi. Para manusia di kota ini masih tertidur lelap, tidak mengetahui apa yang terjadi di luar rumah mereka. Seperti biasa, fenomena Sacred Hour terjadi tepat saat jam dinding berbunyi 12 kali.
"Sebentar lagi dimulai," peringat Daven.
Mereka berdua menggunakan jubah masing-masing. Namun, Darel kehilangan jubahnya. Ia sampai membongkar tasnya dan mengeluarkan semua isinya. Tidak ditemukan juga.
Jangan-jangan, tertinggal di kamar si anting besar!
"Oh, tidak! Kenapa harus sekarang!" keluh Darel panik.
"Ha-ah! Kebiasaan kau ini, selalu kurang persiapan," gerutu Daven.
"Paman Darel memang ceroboh." Gavin ikut-ikutan pula.
"iya iya, maafkan aku." Darel melipat tangan memohon maaf pada mereka. "Sebentar ya, Kak. Aku ambil dulu di kamar Lova."
"Cepatlah sebelum kita kehilangan mangsa lagi!" desak Daven tak sabar.
Pintu kamar Lova tampak sedikit terbuka. Di dalam tampak gelap. Pasti gadis itu tidak menyalakan lampunya. Darel mengendap-endap masuk agar tidak ketahuan. Pandangannya langsung tertuju ke tempat tidur. Tidak ada Lova. Mungkin gadis itu sedang ke toilet. Sepasang mata Darel menelusuri setiap sudut tempat ini. Ia juga memeriksa bagian bawah tempat tidur, tidak ada. Terpaksa ia harus cari di lemari pakaian. Barangkali Lova menemukannya, lantas mencucinya.
"Siapa di sana?"
Darel terlonjak saat tiba-tiba lampu menyala. Sosok Lova dengan baju tidur tipis dan kardigan putih tampak di depan mata. Karena kaget, tanpa sengaja Darel menjatuhkan laci yang berisi pakaian dalamnya. Tentu saja, Lova merasa geram.
"Dasar mesum! Keluar dari kamarku sekarang juga!"
"I-i-ini tidak seperti yang kau bayangkan," kata Darel panik.
"Mengaku saja! Kau ingin mencuri pakaian dalamku, kan?" Lova mendekatinya. Hal itu membuat Darel makin gemetaran.
"Tidak, Lova! Aku hanya ingin mengambil barangku yang tertinggal."
"Pembohong!"
Lova berhasil memegang leher pria berambut coklat itu. Ia ingin mencekiknya sekarang juga. Darel meronta dan memohon agar Lova melepaskan cengkeramannya. Masih keras kepala, salah satu tangan Darel meraih tumpukan pakaian. Salah satunya mendorong tubuh Lova sekuat mungkin, sehingga mereka terjatuh dan tubuh mereka sampai bertindihan. Darel dan Lova saling memandang. Entah mengapa, tiba-tiba udara terasa panas dan jantung berdegup makin kencang.
Daven dan Gavin penasaran mendengar keributan yang terjadi. Mereka pun memutuskan untuk masuk kamar Lova. Keduanya terkejut melihat apa yang terjadi di dalam sana.
"Gavin, jangan dilihat!" Daven menutup mata Gavin. Anak itu menurut saja sambil memeluk erat boneka kelinci birunya.
Lova berteriak dan menegakkan posisinya. Ia melayangkan tamparan di pipi Darel. Pria itu mengeluh kesakitan.
"Rasakan!" seru Lova seraya menutup dadanya. Kemudian ia menjauh dari Darel.
Saat ini, kamar Lova terlihat benar-benar berantakan gara-gara ulah Darel. Lova masih memelotot ke arah pria itu, berjalan mundur hingga punggungnya menyentuh jendela yang sedikit terbuka. Angin meniup sebagian tirainya, menampakkan sebagian pemandangan di luar jendela. Lova melirik ke jendela. Ia terkejut sama seperti sebelumnya. Pemandangan langit hijau itu begitu nyata dan betul-betul terjadi saat ini. Ketakutan yang sama seperti waktu itu kembali terasa. Kakinya terasa lemas dan hampir terjatuh. Untungnya, Darel berhasil menangkapnya sebelum ia pingsan.
"Ini belum berakhir," bisik Darel kepada Lova.
"Jadi, karena itulah kalian masih di sini?" tanya Lova memastikan. Jujur saja, ia masih shock dengan fenomena Sacred Hour. Apalagi jika makhluk berjubah biru itu datang menghantuinya.
"Ya," jawab Darel, "dan aku ingin mengambil jubah merahku yang tertinggal."
"Jubah merah bergambar permen salib itu ... milikmu?" tanya Lova lagi.
"Iya. Jubah merah itu kami gunakan untuk menjalankan operasi Candy's Hunter. Di mana kau menaruhnya? Kami harus bergerak secepatnya."
Lova terdiam macam orang bingung. Pandangannya masih fokus kepada pria jangkung berambut berantakan di hadapannya. Darel menduga kalau gadis ini jadi bingung gara-gara fenomena Sacred Hour, yang sebenarnya tidak ingin dilihat Lova. Darel melambaikan tangan beberapa kali di depan matanya, siapa tahu ia kembali sadar.
"Paman Darel lupa, ya? Aku kan sudah pernah bilang kalau Miss Lova itu gila gara-gara hantu jubah biru." Gavin berjalan menuju lemari gantung dan mendapati jubah merah kepunyaan Darel.
Ketika hendak memakainya, Daven mencegah. "Sebaiknya, kau tetap di sini bersama Lova."
"Apa? Aku?" Darel menunjuk dirinya sendiri. "Tidak, Kakak. Seharusnya Gavin yang menemaninya di sini. Tidak baik membiarkan anak kecil berkeliaran tengah malam. Nanti kalau ditangkap Pale Rider, bagaimana?"
"Wah, kebetulan sekali! Aku memang berniat tidak mau ikut dengan kalian," ucap Darel sambil tersenyum memandang Lova yang masih berdiri di tempat.
Untuk pertama kalinya, Lova melihat Gavin tersenyum. Namun, senyuman itu seperti menyimpan misteri yang belum terpecahkan.
"Hei, Bunny! Kuharap perempuan setengah gila ini tidak bosan berhadapan denganku."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top