1 - Before Sunset
Sore hari di kota Zavandria, lalu lalang para pejalan kaki di pedestrian dan kendaraan di jalan raya tak lepas dari pandangan Lovania Damian Axelle. Gadis kurus berambut pendek dengan sepasang anting bulan purnama hijau marble sangat serasi dengan outfit yang dikenakannya saat ini, setelan kemeja jins, rok hitam panjang, dan sepatu pantofel. Lova merupakan seorang guru sekolah dasar di kota ini. Ia sangat menikmati hari-harinya sebagai guru. Apalagi sejak menemukan tempat favorit untuk menghabiskan waktunya sepulang sekolah. Tempat yang dituju Lova adalah Moonlight Cafe, sebuah kafe dengan ruangan berkonsep industrial minimalis bergaya vintage yang dikelola oleh keluarga Gladstonius.
Begitu pintu dibuka, suara lonceng kecil di atas pintu berbunyi. Aroma manis nan memikat memenuhi ruangan berukuran 10 x 16 meter itu. Meskipun berkunjung hampir setiap hari, Lova sangat merindukan aroma kopi hazelnut khas kafe ini. Ah, begitu nikmat!
"Hari ini aroma ruangan kafe tidak seperti biasanya," kata Lova kepada laki-laki yang baru saja menyajikan secangkir kopi untuknya, Darel Wein Gladstonius.
Cowok berambut coklat agak berantakan itu tersenyum lalu berkata, "Kamu tahu, sebentar lagi 'kan Halloween. Aku menjual banyak permen kesukaan anak-anak."
"Wah, sejak kapan kamu jago bikin permen?" tanya Lova tak yakin. Ia sangat mengenalnya sejak SMA. Setahunya, Darel tidak suka permen.
Makan permen dilarang karena dapat menyebabkan gigi berlubang. Begitulah yang dikatakannya apabila bertemu seorang anak kecil. Tapi itu dulu.
"Bukan aku yang bikin, tapi Kak Yori. Ide menjual permen itu dari Gavin. Anak itu sangat menyukai berbagai jenis permen."
Gavin adalah anak sulung Yori, kakak kandung Darel. Lova memperhatikan bocah lelaki berusia delapan tahun itu berdiri di antara meja etalase, tengah membantu ibunya melayani para pembeli. Yori terlihat ramah dan ceria. Berbeda dengan Gavin, tanpa ekspresi, tatapannya begitu dingin tanpa senyuman.
"Apakah Gavin selalu seperti itu?" Lova berbisik kepada Darel.
"Maksudmu?" Darel balik bertanya.
"Lihat saja ekspresinya! Dia tidak seperti anak-anak lain yang begitu menikmati masa kanak-kanak mereka. Di sekolah, Gavin juga seperti itu." Lova masih memandang Gavin dari meja bar yang ditempatinya.
"Sepertinya kau gemar mengumpat tentang murid-muridmu, ya, Lova!" sindir Darel.
"Tentu saja. Setiap hari hidupku selalu dikelilingi anak-anak." Begitulah Lova saat mengakui keburukannya sendiri. Gadis berusia seperempat abad itu kelewat jujur. Apalagi kalau sudah ngobrol dengan Darel.
"Gavin itu istimewa. Dia bisa melihat makhluk yang tidak dipercaya olehmu," ungkap Darel.
"Maksudmu ... hantu?" Lova hampir tersedak brownies yang baru ia masukkan ke mulutnya. Darel buru-buru memberinya segelas air putih.
"Makanya, kalau makan jangan sambil ngomong!" peringat Darel.
"Iya, iya." Lova mengusap mulutnya dengan tisu.
Loceng kecil di atas pintu berbunyi berkali-kali. Saatnya Darel melayani pembeli yang lain. Sedangkan Lova masih betah berlama-lama berada di sini.
***
Hantu? Benarkah hantu itu ada? Kalau ada, mengapa Tuhan tidak mengizinkan manusia untuk melihatnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu turut melintas dalam pikiran Lova. Ia jadi ingat nasehat Kakek Damian bahwa waktu senja adalah waktu sakral bagi anak-anak. Oleh karena itu, para orangtua melarang anak di bawah usia 12 tahun keluar rumah pada waktu tersebut. Para orangtua khawatir anak-anak akan diculik oleh hantu. Lova tidak dapat mempercayai hal tersebut. Nyatanya petuah itu tak berkesan apapun pada zaman ini. Apalagi di kota ramai nan modern seperti Zavandria. Menurutnya, mustahil hantu muncul di sini. Mungkin itu hanyalah dongeng yang dibuat oleh orang-orang dahulu agar anak-anak tidak keluyuran sampai malam.
Hampir senja. Kafe makin ramai dikunjungi oleh para makhluk yang disebut manusia. Lova masih asyik menikmati kudapan manis dan kopi hazelnut di atas meja. Jam tangan digitalnya menunjukkan hampir pukul 6 petang. Ia buru-buru menghabiskan menu sorenya, kemudian berpamitan dengan Darel. Sebentar lagi bus yang menuju kediamannya akan datang.
Halte bus tak jauh dari Moonlight Cafe. Lova berdiri di barisan paling ujung karena kursi tunggu sudah penuh. Notifikasi di layar ponsel turut dilihatnya untuk mengetahui barangkali ada agenda penting yang terlupakan. Ketika tangannya masih lincah menggulir layar ke bawah, tiba-tiba layar ponselnya berhenti mendadak dan mengalami freeze. Ia merasa sedikit frustasi. Namun, ada yang janggal. Bukan hanya ponselnya, sepertinya dunia ini juga sedang mengalami proses pembekuan. Seluruh pemandangan yang dilihatnya berhenti seketika.
"Apa yang terjadi?" gumam Lova kepada diri sendiri.
Walaupun semua partikel di sekitar sini berhenti, tetapi Lova masih bisa bergerak. Ia berjalan ke sana-kemari untuk meyakinkan diri sendiri. Apakah ia sedang bermimpi, bumi berhenti berotasi, atau ada hipnotis di tempat ini? Bukan cuma sepasang netarnya yang melihat ke segala arah, bahkan pikirannya sudah ke mana-mana. Lova yang tidak pernah percaya dengan hantu dan tahayul tak dapat menerima keadaan ini. Sungguh tak masuk akal!
Tiba-tiba, aktivitas kembali berjalan normal. Namun, keanehan lain muncul menjelang matahari terbenam. Pemandangan langit berubah menjadi hijau. Seluruh kota diselimuti kabut tipis berwarna merah. Bahkan beberapa peti mati yang berdiri secara vertikal tampak jelas dalam pandangannya. Lova menatap ngeri kejadian ini. Jantungnya berdegup makin cepat. Keringat bercucuran membasahi pelipis dan lehernya. Namun, tidak ada yang peduli dengan pemandangan mengerikan saat ini. Barangkali Lova adalah satu-satunya manusia yang melihatnya. Minta tolong pun sepertinya tidak akan bisa. Seolah-olah tenggorokannya tercekat.
Siapapun, tolong! Apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan yang masih terjebak di pikirannya itu tak mampu diungkapkan.
Sekelebat bayangan melintas di hadapannya dengan kecepatan suara. Terlihat makhluk berjubah biru tua menunggangi kuda putih pucat yang tidak kelihatan wajahnya melaju di antara kendaraan melintas. Di belakangnya ada seorang bocah lelaki bertubuh gemuh memakai kostum koboi, tengah menikmati kudapan manisnya. Terkejut dengan hal tersebut, Lova berkeinginan menolong anak itu. Ia yakin bahwa makhluk berjubah biru adalah orang jahat yang ingin menculik anak rakus itu. Lantas ia mengejar makhluk penunggang kuda, meskipun nafasnya masih tersengal akibat sensasi melihat pemandangan di luar nalar. Lova harus menyelamatkan anak itu.
Malangnya, sudah terlambat. Makhluk berjubah biru memasukkan bocah gemuk itu ke dalam salah satu peti mati. Saat dibuka, aroma manis menyerupai gula-gula yang dimasak dapat dirasakan oleh Lova. Kemudian, makhluk itu menguncinya. Tentu saja, Lova berhenti berlari karena lelah. Setelah matahari betul-betul tenggelam, seluruh pemandangan itu pun hilang.
Seluruh tubuh Lova bergetar. Kakinya terasa lemas hingga ia terduduk di trotoar. Lebih terkejut lagi, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil namanya. Dengan refleks ia berteriak, tetapi tidak berani menatap ke belakang.
"Miss Lova!"
Suara lembut itu amat dikenalinya. Lova mencoba meyakinkan diri bahwa makhluk yang saat ini menepuk pundak kirinya adalah manusia, bukan hantu atau makhluk dari dunia lain.
Ternyata dugaannya benar. Makhluk itu adalah Gavin.
"Ga-Ga-Gavin! Kenapa kamu di sini?" Lidah gadis itu masih terasa gemetar.
"Paman Darel menyuruhku untuk mengembalikan barangmu yang tertinggal." Gavin menggenggam sebuah anting bulan purnama di tangannya.
Lova memegangi tiang lampu jalan yang ada di dekatnya agar ia bisa berdiri. Tangan kanannya hendak meraih anting yang dibawa Gavin. Namun, anak itu malah menggenggam tangannya dengan kuat.
"Tangan Miss Lova terasa dingin dan berkeringat. Apakah ada yang mengganggumu?" tanya Gavin dengan tatapan khasnya.
"Ti-tidak terjadi apapun," jawab Lova beralasan. Ia baru ingat perkataan Darel bahwa Gavin adalah anak istimewa, dapat melihat makhluk yang tidak dipercaya oleh Lova.
Mungkinkah Gavin mengetahui peristiwa yang baru saja terjadi pada Lova?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top