Bab 8 - Sabiya, Abizard, dan Asing

Apapun usahanya kita tidak bisa bersama. Kenyataan pahit sakaligus awal yang baik untuk memulai hidup masing-masing.

~Sabiya~
Karya Mellyana Dhian

***

Kalimat Raka benar. Kecewa dengan Abizard, tidak pantas menjadi alasan meninggalkan Tuhan. Entah kapan terakhir aku salat dhuhur. Di waktu dhuhur keluarga sibuk dengan urusan masing-masing, aku pun merasa aman tak melaksananya. Berbeda dengan maghrib dan subuh selalu dalam mengawasan keluarga. Aku menertawakan diri sendiri, betapa lucu diri ini seperti anak kecil yang salat karena takut kepada orang tua. Sempat lupa kalau Allah Maha Melihat.

"Pak saya berhenti di masjid depan. Tetap dibayar full kok," pintaku pada ojek online.

Tangan kiri bapak ojek menunjukan lima jari. "Lima bintang jangan lupa, Bu."

"Iya, Pak."

Kuberikan biaya ongkos. "Terma kasih, Pak."

Hatiku bergetar lalu menjulur ke hati saat melangkah menuju masjid. Betapa bodoh menjauhi Allah. Menyalahi aturan-Nya sama saja melukai diri sendiri. Itulah yang aku lakukan akhir-akhir ini.

Melihat muslimah berkumpul di tengah masjid membuatku terpaku. Betapa indah hidup mereka sehari-hari, setiap waktu bersama Al-quran. Sepertinya hidupnya kelak terjamin kekal bahagia di akhirat, sedangkan aku begini begini saja. Beribadah seadanya, amal entah diterima atau tidak, mau panen apa kelak? Memulai sesuatu dengan bismillah saja tidak istiqomah, apalagi bangun di seperti malam dan membaca Al-quran setiap saat.

"Mbak mau solat?" tanya salah satu dari mereka.

"Iya tapi mukenanya gak ada. Gak jadi aja."

"Eh jangan mbak. Saya ambilkan dulu."

Dia melangkah pergi, sedangkan aku menuju tempat wudhu. Kesejukan menjulur saat pori-pori wajah merasakan kesegaran air wudu, menyalur begitu saja ke hati. Mereda putus asa yang memenuhi di dada.

Masjid ini tidak terdapat AC. Hanya satu kipas angin di tengah. Namun anehnya atsmofer terasa sejuk. Saat aku masuk area wanita sajadah sudah tergelar menghadap kiblat dan mukena putih polos terlipat di atasnya. Jam menunjukkan pukul satu lebih, tidak ada lagi rombongan berjamaah, aku pun memutuskan salat sendiri.

Bersamaan dengan takbiratul ikhram rasa berat di dada sirna digantikan oleh perasaan aman tentram. Semalam aku salat maghrib, tetapi rasanya berbeda dengan siang ini. Mungkin begini perbedaan antara ibadah yang terpaksa dengan ibadah yang dilakukan sukarela.

Saat salat aku merasa sedang berkomunikasi dengan Allah. Dia menatapku langsung, mendengarkan, dan memberikan perhatian penuh. Meski masih ada beberapa orang di masjid, tidak mengganggu kekhusyukanku. Begitu dahi menyentuh sajadah, hujan tangis bergitu saja terjadi. Tangis itu tak mereda selepas salat. Tidak lagi peduli kalau mungkin saja suara isakanku menggetarkan gendang telinga orang lain.

"Ya Allah, sudah berapa lama makhlukmu ini melangkah pergi meninggalkanmu. Menyalahkan takdir dan berpikir semua ini tidak adil. Protes mengapa orang lain tampak bahagia, sedangkan aku sengsara. Maafkan aku Ya Allah. Aku tahu engkau Maha Mendengar, tetapi aku menutup mulutku, tak mau mengadu kepadamu. Engkau Maha Melihat, aku malah membutakan diri rahmat-Mu. Sungguh aku ini pendosa. Maka ampunilah aku."

Kututup doa dengan surah al-fatihah. Melipat mukena sambil mengondisikan emosiku. Tidak mungkin aku terus menangis.

Aku mendekati tiga perempuan yang duduk melingkar. Perkiraanku mereka sedang bergosip, ternyata salah. Mereka masih membaca Al-quran. "Permisi, terima kasih mukenanya."

Dia menyudahi bacaan. "Terima kasih kembali, Mbak."

"Ini masjid bukan punya umum ya?"

"Ini masjid punya pondok tahfiz mbak, tapi tetap terbuka untuk umum kok. Siapa saja yang mau salat di sini ya boleh boleh saja."

"Pondok tahfiz itu apa?" Yang aku tahu hanya ada pondok pesantren. Ternyata ada juga pondok tahfiz.

"Ini yayasan punya ponpes Bukhari, Mbak. Konsepnya hampir sama dengan pondok pesantren, tapi ini khusus menghafal Al-quran. Di masjid ini sering ada acara umum kok Mbak. Ada pengajian muslimah setiap Senin sama Kamis. Mbak boleh gabung. Kalau mau nanti didaftar jadi anggota resmi."

Kalau aku ikut anggota gimana kalau aku yang paling bodoh? Bacaan Al-quranku saja masih terbata-bata. "Lain kali saja." Aku pun pamit.

***

"Sabiya tuh suamimu diingetin bisa-bisanya mama ditinggal gitu aja!" Tidak ada yang membalas salamku, malah omelan mama nyaring menyambut kedatanganku. Jujur saja itu menambah lelahku.

Aku duduk di sofa. Memperhatikan sekilas Abizard yang hanya menggangap bercanda omelan sang mama. Tangannya memijit pundak mama. "Maaf Ma mendadak."

"Harusnya orang tua dijadikan prioritas. Senin sampai Kamis udah kerja, giliran libur malah ngilang."

"Yang penting kan sekarang mama selamat tanpa lecet sampai rumah," kata Abizard membela diri.

"Sabiya naik dulu ya, Ma. Nanti urusan Kak Abizard biar Sabiya yang hajar," jawabku dengan nada bercanda. Wah, kalau dipikir-pikir aku akan lolos casting senetron azab kalau begini. Berhasil memanipulasi keadaan di depan keluarga.

Abizard mengikutiku. Dia merangkulku sambil mencolek dagu. Rasa muak mendominasi melihat tingkahnya. Lupa dia sudah membuatku malu di kafe. Pasti dia juga sedang acting. Berpura-pura mencintaiku padahal cintanya untuk orang lain. Aku menahan diri untuk tetap tenang. Barulah kehempaskan tangannya setiba di kamar. "Najis!"

"Bia, kamu tadi kenapa sama Raka? Kamu lagi ada agenda apa?"

"Mulai sekarang kita urus saja urusan masing-masing," ketusku sambil melepas kaus kaki.

"Bia, kenapa sih kamu cuek banget?"

Pertanyaan tidak masuk akal itu keluar dengan mudah dari mulut Abizard. Seolah dia kecewa kepadaku. Sudut mataku meliriknya. Apa perlu aku menggunakan toa lalu diarahkan ke gelinganya atau mengambil kaca untuknya.

"Bisa gak kita kayak dulu? Kamu manja sama aku. Pokoknya kita mesra kayak dulu."

"Udahlah buat apa kamu mertahanin aku?" Aku sebenernya malas meladaninya. "Aku udah gak mungkin bisa kayak dulu."

Sambil duduk di kursi rias, aku mengambil kapas pembersih muka. Abizard yang semula duduk di atas ranjang kini mendekatiku, mengusap kedua bahuku lembut. "Aku minta kamu sabar, Bia. Aku janji akan berubah setelah semuanya normal. Naila kembali hidup dengan baik. Lalu kita merajut mimpi kita lagi. Aku sayang sama kamu. Sungguh."

Kini dia memelukku. "Lepasin gak? Aku mau muntah denger janjimu." Hampir saja bibirnya menyentuh pipi kalau tidak buru-buruku kucegah.

Alih-alih melepas suamiku malah semakin memeluk erat. Pelukannya bukan seperti seseorang yang merindukan pasangan, melainkan pelukan pembunuh yang ingin mematikan lawannya. Gara-gara itu tubuhku seperti akan remuk.

Padangan kita bertemu di pantulan cermin. Pupil matanya mengecil, memberikan kesan pandangan tajam. "Kamu mau bunuh aku?"

"Aku cuma gak suka kamu kayak gitu sama aku. Kamu gak berhak ninggalin aku, Bia." Pelukannya semakin erat sampai-sampai tulang lenganku linu.

"Yang ninggalin aku tu kamu Kak!" Darahku mendidih. Urat-uratku sampai menegang saat melepaskan amarah.

Abizard tampaknya masih geram. "Aku cuma minta kamu diam. Tunggu aku ngelepas Naila, tapi kenapa kamu berulah?"

Aku sadar. Abizard yang lembut nan penyayang sudah menghilang entah ke mana. Sosok protagonis kebangganku telah berubah menjadi antagonis. Sosok menakutkan penuh obsesi tak ingin ditinggalkan.

Sejak dipeluk aku terus berusaha melepaskan diri, sayang sekuat aku mencoba melawan tenagaku malah terkuras. Bernapas saja aku kesulitan. Tidak ada kata yang bisa terucap, hatiku semakin hancur sekarang.

Dia pun melepas, membalik tubuhku, kini suaranya melembut. "Sayang," panggilnya seraya mengambil ponsel dari saku. Tanganku mengepal dengan dada kembang kempis. Bisa-bisanya dia memperlakukanku kasar. "Kita segera pindah. Rumah ini akan menjadi rumah kita. Kita akan membesarkan anak di sana."

Aku sangat tidak tertarik melihat rumah yang dia tunjukkan. Sebelum pergi dari kamar kutegaskan kepada Abizard. "Tidak ada lagi rumah kita sejak kamu sediakan tempat wanita itu di hatimu. Kepercayaan yang sudah dihancurkan tidak mungkin dibangun lagi." Lantas aku meninggalkannya di kamar.

Aku sudah harus tersenyum lagi saat ibu berpapasan denganku di ruang keluarga. Ibu mengamati penampilanku yang berantakan. "Sabiya, ibu mau bicara." Tangan ibu menggenggam. Kalau nanti ibu bertanya tentang keadaanku inilah saatnya aku jujur.

"Ibu tahu kamu sedang ada masalah dengan suamimu."

"Bu, Sabiya tidak lagi diproritaskan."

"Lucu anak ibu. Kamu jangan mau jadi yg nomor satu. Abizard menikah bukan untuk menomorsatukanmu. Nanti kalau dia terlalu cinta sama kamu malah Allah marah. Kudulah Allah yg nomor satu." Ibu sengaja berpura-pura tidak paham maksudku.

"Bukan itu maksudnya."

"Terus apa?" Mata ibu menyipit "Ibu gak suka ya kamu aneh-aneh. Abizard menantu yang baik. Kalau dia jahatian kamu itu gak mungkin. Pasti kamu yang cari masalah dulu." Tuh kan, semua orang hanya tahu Abizard itu baik.

"Bu, Sabiya akan hidup sendi—"

Terlihat ibu tidak ingin aku meneruskan kalimat. "Ibu ke kamar mandi dulu."

Di kamar ibu aku berbaring di kasur dengan mata tertutup. Fisik, hati, juga pikiran terasa lelah. Rasanya kepalaku mau pecah. Bohong kalau hatiku tak apa-apa. Melihat perubahan sikap Abizard saja jantungku berdenyut nyeri.

"SABIYAAAAA!!!" teriakan ibu dari kamar mandi membuat mataku terbuka. Aku langsung bergegas ke sana.

***
Author note

Gak paham lagi sama Abizard. Saking cintanya sama Sabiya gak mau ditinggal, tapi gak sadar udah bunuh istrinya perlahan.

Silakan yang ingin mengatakan sesuatu kepada Abizard 👉🏻

Bagusnya tetep cerai apa bertahan?

Mel~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top