Bab 7 - Sabiya, Abizard, dan Kekacauan
Assalamualaikum, The Strong Gengs!
Hiyaak bagus kan sebutannya. Pokoknya Sabiya and the geng (ya kalian ini) adalah strong geng!
Happy reading
Bab ini lumayan was-was. Dilarang mengumpat perbanyaklah istghfar
***
Maafmu itu percuma! Hanya bekali-kali memberi luka.
~Sabiya~
Karya Mellyana Dhian
***
Sembari menunggu kedatangan Yasmin aku membuka beberapa akun official di Instagram yang menjual berbagai busana. Semua nama brand dari A sampai Z kurasa sudah lengkap. Banyak sekali akun bisnis serupa yang akan kutekuni. Nyaliku menciut lagi. Sebanyak ini pengusaha pakaian. Apakah masih menjanjikan? Siapa coba yang mau beli kalau semuanya jualan?
Bisa dibilang jalan pikirku mendekati the loser. Seseorang yang hanya mencari aman. Cukuplah hidup mengikuti arus air yang penting bisa makan. Tidak pernah terbayangkan memiliki usaha sendiri, membuka lapangan kerja, dan ambisi berbisnis lainnya. Kemiskinan sudah mendarah daging pada diri ini, jadi mau bagaimanapun mencoba pasti berakhri pada kata gagal. Namun semua itu berubah setelah Yasmin menyadarkanku bahwa patah hati tidak selamanya buruk. Dia bisa menjadi cambuk untuk membuktikan bahwa patah bukan berarti menyerah.
Daripada aku terus berpelukan dengan rasa insecure, tanganku mengambil buku biografi tokoh pembisnis terkenal. Dari artikel yang pernah kubaca pola pikir seseorang bergantung dari apa yang dia baca. Makanya aku mulai membaca buku-buku motivasi bisnis supaya lebih banyak energi positif dalam diriku. Meski tidak bisa dipungkiri kalau kekhawatiran masih membelunggu.
Notifikasi dari ponsel membuatku menutup buku yang baru saja akan kubuka. Pesan dari Abizard mengajak makan malam dengan rekan kantor bertengger di sana. Aku tersenyum masam. Masih ingat betul di memoriku malam di mana dia membiarkan istrinya menanti berjam-jam, sementara dia menunggu Naila. Tidak ada niatan untuk mengiyakan ajakannya, jangankan menyanggupi, sekadar membalasnya saja otot jamariku kaku.
"Permisi, Mbak Sabiya bukan?" Seorang lelaki berpakaian santai mengagetkanku. Beberapa saat aku tak menjawabnya, masih mengamati wajahnya sambil bertanya siapa dia.
Dia akhirnya meperkenalkan diri. "Saya Raka Kusuma temennya Yasmin. Tadi saya diminta datang ke sini."
"Oh. Iya saya Sabiya Sezen Feray."
Raka duduk di depanku. Ternyata dia supplier kain yang dimaksudkan Yasmin. Aku kira dia akan berpakaian formal seperti pembisnis yang kutonton di senetron, bukan hanya mengenakan jins selutut, kaus putih lengan pendek, dan sandal jepit. Tentu walau sederhana pasti harganya selangit. Kuperkirakan umurnya sedikit lebih tua dariku.
"Yasminnya masih lama? Saya mau ke Bandung soalnya gak bisa lama-lama di sini."
Aku langsung meraih ponsel. "Sebentar saya coba telepon dia."
"Eh gak usah." Raka melarangku. "Di sini kan saya ada perlu sama Mbak. Kita mulai aja rapatnya."
Aku melonggo. Kalau rapat dimulai pasti langsung ketahuan kebodohanku. Percuma aku berpakaian rapi seperti hendak presentasi kalau aslinya otakko zonk soal bisnis. Kejar paket C benar-benar tidak akan membantu. Ternyata begini salah satu kegunaan sekolah tinggi. Dulu kukira pendidikan hanyalah formalitas bagi perempuan, sebab ujung-ujungnya mengurus keluarga. Ternyata ada banyak manfaat menempuh perguruan tinggi untuk kehidupan sosial.
Raka mengeluarkan laptop berlambang buah apel digigit. Dengan piawai dia menunjukan layar kepadaku berisi bagan berwarna-warni. Yang aku ingat bagan itu digunakan mengetahui median zaman SD. Dahiku langsung mengkerut melihat angka dan tulisan berbahasa Inggris yang tidak kuketahui artinya. Aku mengigit bibir, merasa malu dengan rekan bisnisku.
Layar terus berganti dan penjelasan Raka semakin membuat kepalaku kosong. Aku sama sekali tidak paham dengan apa yang dia bicarakan. "Sorry Raka. Saya tidak paham dengan penjelasanmu. Boleh kita tunggu Yasmin saja?" Takut-takut aku mengatakannya.
Raka sempat melonggo sebelum terkekeh. "Okay. This is no big problem." Aku pikir orang sepintar Raka akan mereaksi buruk mengetahui rekan bisnisnya berpengatahuan minim, ternyata tidak. Good atittute.
"Mbak ini pasti di fase mempertahankan kepercayaan diri ya?"
Aku hanya mengganguk mengiyakan tebakannya.
"Saya juga pernah ada di posisi Mbak. Memang memulai bisnis itu susah, bakal banyak rintangan di depan sana. Paling menakutkan adalah energi buruk di benak yang kita ciptakan sendiri. Padahal kalau dipikir-pikir belum tentu terjadi. Mbak fokus aja sama keberhasilan daripada kegagalan. 'Aku bisa berhasil atas izin Tuhan' and others positive quotes.
Kalau aku berekpektasi tinggi, aku hanya takut kecewa. Itu sebenernya alasan yang membuat pikiranku selalu negatif.
"Gak usah takut sama berekpektasi cuma karena menghindari rasa kecewa, Mbak. Nyatanya ekpektasi atau harapan besar akan membesarkan semangat kita juga. Sekarang kalau gak mau berharap, karena takut kecewa, jadinya bakal ogah-ogahan loh mengerjakan sesuatu. Kalau saya sih Mbak tetap berekpektasi dengan menyeimbangkan harapan dan pemikiran logis."
Mata Raka berbinar saat memotivasiku. Dia sangat energik. Pantas kalau banyak lembaga mengundangnya menjadi motivator bisnis. "Pak Raka jujur saja saya bukan wanita berpendidikan. Gak cuma pengetahuan, tapi sudut padang saya mungkin berbeda dengan Bapak atau Yasmin."
"Maaf. Kalau di logika Mbak memang akan gagal. Mbak sedikit tahu tentang bisnis. Coba Mbak buka faktanya kalau Mbak ada saya yang akan menjadi rekan dan ada Yasmin sosok wanita sukses enterpreneur. Kalau Mbak sendiri mungkin sembilan puluh lima persen akan gagal. Nyatanya ada Yasmin dan saya, kan?"
Benar juga. Ada dua orang hebat yang mendorongku. Meski belum lama aku dekat dengan Yasmin pun baru mengenal Raka, aku yakin mereka tulus ingin membantuku.
"Kita tunggu Yasmin sambil makan, kebetulan nih belum lunch. Kalau selesai makan dia belum datang, kita buat jadwal rapat besok."
Saat aku melihat daftar menu, mataku sempat melihat halaman kafe yang terlihat dari tempatku duduk. Ada satu mobil mencuri perhatianku. Harusnya Abizard menunggu mama di tempat pelatihan, tapi kenapa dia ada di sini?
Mataku menyapu dari halaman sampai kafe di lantai satu, mencoba mencari sosoknya.
"Kenapa?" tanya Raka melihat gerak-gerik anehku.
Saat aku hendak menjawab bibirku terkatup. Abizard dan Naila baru saja duduk di depanku yang hanya berjarak tiga meja. Saat itu juga mata Naila terbelalak melihatku. Aku pikir dia akan mengajak Abizard pergi, ternyata dugaanku salah. Wajahnya malah semakin sumpringah seperti sengaja menunjukan kemesraan dengan suamiku. Dasar wanita tidak tahu diri!
Huft. Ya Allah. Aku tidak mau membuat keributan di sini, tapi sikapnya sangat membuatku muak. Aku mencoba abai, menyerahkan pesanan kepada pelayan. Namun Naila semakin kurang ajar. Dia bekali-kali memainkan mata kepadaku sebelum menatap Abizard penuh cinta. Dari matanya aku bisa melihat "lihat nih suamimu sedang bersamaku".
Ok. Aku tidak bisa diinjak-injak seperti ini. Meski hatiku sudah panas ingin menyeret ramputnya lalu memasukkan ke penggorengan, tapi aku berusaha elegan. Dengan santai aku berjalan menuju kasir, lantas berjalan ke arahnya. Kubalik tong sampah, kuarahkan kepada mereka. "Kalian emang sampah!"
Abizard awalnya marah, tetapi beralih kaget saat melihatku. "Bia Sayang."
Aku benar-benar jijik mendengar panggilannya. Ingin rasanya meludahi dia lagi.
Aku tidak peduli dengan orang yang menjadikan kami bahan tontonan. Mereka mengawasi sambil menebak-nebak sebenernya apa yang terjadi antara kita bertiga.
Kedua bola mataku menatap Naila tajam. "Saya cuma mau bilang sama kamu kalau—" kalimatku terpotong oleh tarikan tangan Abizard.
"Sayang, kita dilihatin banyak orang. Selesaikan masalah ini di rumah saja. Sekarang aku izin antar Naila ke rumahnya. Kasian dia belum pulih total." Mata Abizard terlihat khawatir melihat Naila yang kotor dan bau.
Gigiku menggeretak. Suamiku memang sudah sinting. Bisa-bisanya kasihan dengan wanita murahan itu daripada istrinya yang sedang dia sayat-sayat hatinya. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Hanya bisa menelan pahitnya kenyataan menyaksikan Abizard menuntut tangan Naila menuju mobil. Sekarang yang tersisa hanya pandangan aneh dari orang-orang dihadiahkan kepadaku. Aku mengadihani diriku sendiri.
Pelayan kafe langsung memprotesku. "Bu ini gimana? Ibu harus tanggung jawab. Kafe kami jadi kotor. Kami tidak suka ibu membuat kekacauan di sini."
Raka yang sejak tadi tidak ikut campur kini berdiri di sampingku. "Biar saya yang ganti rugi." Dia menyerahkan kartu ATM kepada pelayan.
"Anak Yasmin sakit. Dia minta kita rapat online. Mbak bisa?" tanya Raka.
Segera kutarik napas panjang dan mengembuskan melalui mulut berkali-kali. Kuusap wajah kasar. "Maaf." Dia memang tidak membahas masalah pribadiku, tetapi aku merasa harus meminta maaf atas kekacauan ini. "Lain kali aku akan ganti rugi sama kamu."
Raka tampaknya sengaja tidak mau mengungkit masalah pribadiku. "Sudah dhuhur. Kita rapat lain kali saja kalau gitu. Mbak salat? Selepas salat Jumat saya antar pulang. Kebetulan acara saya di Bandung gagal."
"Saya tidak salat. Terima kasih bantuannya. Saya pulang naik taxsi saja." Aku mengambil tas. Sebenarnya tidak enak memberi kesan buruk ini di awal kerja sama. Ya tapi mau gimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur.
"Mbak kalau manusia yang membuatmu sakit. Bukan berati Allah harus dijauhi," pesan Raka sebelum dia pergi ke mushala kafe.
***
Note
Sabiya emang strong, tapi bagaimana pun dia terluka.
Sehari publish 2 kali coba. Kurang apa lagi 😂
Mel~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top