Bab 6 - Sabiya, Yasmin, dan Kekuatan
Jangan kau tanya di mana aku yang dulu, tetapi tanyakan kepada hatimu. Mengapa kamu memilih singgah ke lain hati, padahal ada hati menunggumu di sini.
~Sabiya~
Luka yang Kau Torehkan
Karya Mellyana Dhian
***
Setelah azan Isya rumah tampak sepi. Mama dan papa mertuaku sudah bersiap tidur, sedangkan Abizard belum tampak batang hidungnya. Entah lembur atau menjaga wanita itu di rumah sakit. Dia mengirimiku pesan sore tadi, sengaja tidak kubaca. Kalau dia peka seharusnya dia paham, bukan malah menyimpulkan kalau aku sudah bisa menerima perselingkuhannya.
Besok adalah hari yang penting untukku memulai hari baru. Oleh karena itu aku tidak ingin menguras pikiran degan memikirkan lelaki yang belum tentu memikirkanku.
"Sabiya," panggil ibu membuatku menoleh kepadanya. "Abizard belum pulang ya?"
Aku tersenyum. "Lembur, Bu." Ya Allah semoga dosa berbohongku kali ini engkau ampuni.
"Ke kamar ibu dulu yuk. Ibu pegel-pegel pengen dipijat. Lama loh kamu gak mijetin ibu." Ibu menyeret tanganku menuju kamarnya yang ada di bawah tangga. Hatiku was-was, takut kalau ibu membaca gerak gerik mencurigakan antara aku dan Abizard. Kalau diberikan pilihan siapa orang yang terakhir kuberitahu tentang rencana perceraian maka aku akan menjawab ibuku. Aku tidak tega mematahkan hatinya.
Saat masuk ke kamar aku langsung membau minyak gosok yang sering dipakai ibu kalau persediannya pegal. Ukuran kamar di lantai satu memang tidak sebesar kamar lantai dua, arus udara juga tidak stabil di sini. Ibu jarang menghidupkan AC, hanya ada kipas kecil yang sesekali dihidupkan. Beliau menolak pindah kamar. Mungkin sudah terlanjur nyaman. Lagi pula tempat ini juga banyak kenangan. Saksi bisu kehidupan susah kami.
Ibu duduk di atas ranjang, aku pun bersila di belakangnya. "Sini Sabiya pijat. Ibu kagen ya sama pijatan tangan Sabiya?"
Dengan semangat ibu mengatahkan tanganku ke bagian yang sakit. Aku pun mulai memijatnya. "Besok minggu kalau kamu gak ada acara, lebih baik ikut ibu ke pengajian. Itu loh di masjid kota."
Aku ingat kalau Yasmin libur kerja dan mengajakku survei tempat. "Sabiya gak bisa, Bu."
"Tahu gak Nak apa prestasi terbesar iblis?" Ibu memang akhir-akhir ini terlihat tekun belajar maupun beribadah. Tidak jarang dia menasihatiku dengan hadis maupun ajaran agama yang beliau dapat dari kelompok pengajian.
"Membuat manusia jadi psikopat?" jawabku ngawur.
"Psikopat itu apa? Orang yang suka buat ketupat?" Tawaku meledak mendengar respon ketidaktahuan ibu.
"Bukan Ibu. Psikopat itu orang yang membunuh orang lain dengan mudah."
"Bukan. Bukan orang yang suka kupat itu. Si kupat, bukan sikupat."
"Psikopat, Ibu," ralatku sambil sesekali memegangi perut saking gelinya.
"Pokoknya di hadis riwayat muslim Rosulullah bersabda bahwa iblis itu selalu melapor kepada rajanya kalau berhasil menggoda manusia. Anehnya semua dianggap biasa, membunuh mencuri itu biasa aja. Sampai ada satu iblis yang mendapat kehormatan untuk tidak bekerja lagi ketika dia mengatakan telah berhasil menceraikan suami dan istri."
Aku tertahan. Apakah ibu tahu apa yang terjadi?
Ibu melanjutkan pembicaraannya. Syukurlah ibu tidak berbicara macam-macam lagi. "Kalau ibu di kamar kadang ibu ingat dulu kita tidur berdua di kamar ini. Setiap malam kamu mijitin ibu. Sekarang kamu udah jadi nyonya rumah ini."
Biasanya setiap ibu mengajakku mengenang masa lalu aku merasa bersyukur. Betapa Allah Maha Baik telah menaikkan derajatku.
Tidak untuk malam ini. Aku malah merasa kesusahan menelan ludah. Mengakui pil pahit kenyataan. Dari cerita itu aku bisa menebak ada iblis yang sebentar lagi mendapatkan prestasi terbesarnya karena memisahkanku dengan Abizard.
"Kamu harus bersyukur Abizard sudah mempersunting kamu. Coba kalau dia gak nikahin kamu gimana nasib kita sekarang. Ibu semakin tua, bisa bisa kamu hidup sebatang kara kalau ibu meninggal. Kamu harus berbakti ya sama suamimu. Bikin dia betah di rumah agar dia tidak mencari kebahagiaan di luar san—"
Ibu tidak meneruskan perkataannya saat aku berhenti memijat. Dia menoleh ke belakang, wajahnya tampak sayu saat menatap kepalaku yang menunduk. Jauh di dalam hatiku aku ingin mengutarakan semuanya. Memprotes mengapa selalu wanita yang harus berbakti? Mengapa wanita harus selalu menjaga lelakinya? Apa wanita itu memang budak untuk suaminya? Apa masalahnya kalau aku tidak lagi berbakti? Aku sudah berusaha sejauh ini membuatnya tidak pergi, tetapi nyatanya jiwanya meninggalkanku? Lalu apakah aku yang akan disalahkan akibat tidak becus membuat Abizard betah?
Semua ini terkesan tidak adil bagi wanita. Terkhusus aku yang sebenarnya korban dalam kasus ini.
"Sabiya kamu berantem sama Abizard?"
"Berantem kecil, Bu." Hanya itu yang bisa aku katakan. Banyak orang ingin aku bahagia saat aku melepaskan Abizard. Kuakahi hati mereka sangat baik. Namun, tidak semudah itu. Semua butuh proses. Pertama, ada ibuku, mamanya Abizard dan papanya yang punya penyakit. Sudah kubilang mereka memiliki harapan besar terhadap kami. Kalau aku meminta cerai sekarang mereka akan jatuh sakit. Aku tidak mau kehilangan salah satu dari mereka.
"Bu, kita gak boleh menompang kebahagiaan sama keluarga Kak Abizard. Kita harus bisa bahagia sendiri," kukatakan itu sambil menidurkan ibu lalu menyelimutinya.
"Maksud kamu apa?" Ibu yang tidak paham menambah Kerutan di dahinya.
"Gapapa apa kok. Ya kan memang kita harus bahagia dari dalam diri kita. Gak baik bahagia jagain orang." Aku mencoba menjelaskan.
Tekatku untuk membangun usaha semakin kuat. Membuktikan kepada ibu kalau aku bisa hidup tanpa bergantung kepada lelaki itu. Di usia ibu yang tidak lagi muda aku ingin membuatnya bangga kalau Sabiya, anak satu-satunya adalah wanita kuat. Dapat berdiri sendiri tanpa bayang-bayang suami.
Aku harus bersabar sampai waktu itu tiba. Bercerai sekarang sama halnya membuat Naila menang. Tak akan aku biarkan dia memiliki Abizard dengan mudah. Balas dendamku harus elegant. Aku akan membersamai suamiku untuk melepas hingga waktunya tiba. Mohon bersabar sampai waktu itu tiba. Berhenti mevonisku wanita bodoh dan lemah.
"Ibu tidur ya. Sepertinya Mas Abizard sebentar lagi pulang." Hanya itu alasan mudah yang membuat ibu rela aku pergi dari kamarnya. Aku yakin masih ada sisa-sisa tanda tanya di pikiran ibu mengenai kalimatku.
Saat aku menaiki tangga, kudengar gerbang rumah. Berarti Abizard sudah pulang. Kulihat jam besar di atas televisi ruang keluarga sudah pukul sebelas malam. Kalau biasanya aku akan berbalik, manyambutnya di depan pintu. Tidak untuk malam ini. Aku akan berpura-pura tidur saja di balik selimut.
Aku belum terlelap saat Abizard membuka pintu kamar. Dia mengucap salam, "assalamualaikum, Bia Sayang. Udah tidur ya?"
Kudengar pintu almari dibuka, Abizard mengembuskan napas kecewa. "Pakaianku belum disiapin? Tumben." Entah mengapa kebahagiaan menyelimutiku saat berhasil membuatnya merasa kehilangan perhatian kecil yang biasanya kufasilitaskan tidak lagi dia dapat.
***
"Tumben Sabiya pagi-pagi udah rapi. Tadi juga enggak bantu Simbok masak. Kamu gak bisa antar mama ya?" tanya mama begitu aku menarik kursi makan.
Tadi sebelum Abizard bangun aku menyiapkan perhiasan untuk kujual sebagai modal usaha, setelahnya aku bersih diri, dan tidak sempat membantu urusan dapur.
Aku sampai lupa kalau ini Jumat pagi. Setiap Jumat aku rutin mempersiapkan bekal untuk mama dan ibu senam lansia di pusat kebugaran. Juga menunggu mereka lalu berbelanja bersama. "Astagfirullah, maaf Ma. Sabiya ada janji sama temen." Abizard dengan baju santainya turun dari tangga. "Mas Abizard hari ini cuti. Mama minta antar dia aja."
Satu alis Abizard naik. "Ada apa?"
Aku tersenyum penuh kemenangan. "Bae antar mama sama ibu senam sekalian belanja. Biasanya gak sampai jam sebelas. Aman deh bisa salat Jumat di rumah."
"Kamu mau ke mana?" bisik lelaki itu.
"Bae lupa ya perjanjian kita di atas tadi. Sabiya ngurus sesuatu, Kakak mau habisin waktu hari ini sama keluarga." Tentu saja aku mengarang. Selama di kamar kita tidak mengatakan apa pun. Hanya bising AC belum diservis yang mengisi kebisuan di antara kami.
"Bia, mau aku antar?" Beruntung Abizard tidak banyak protes lagi.
"Ini udah jam berapa? Nanti pelatih senam keburu datang. Kalau Kakak antar Bia bisa-bisa sampai pusat kebugaran udah pendinginan." Aku memuji diriku sendiri. Alasan yang bagus untuk menolak. Sabiya memang pintar!
Tidak lama bagiku menghabiskan selembar roti bakar dengan selai cokelat. Aku tidak ingin berlama-lama memberikan senyum penuh cinta kepada Abizard. Tepatnya tidak tahan berakting. Dengan cepat kubuatkan dia sarapan setelah mecium punggung tangan. "Bia pamit dulu. Assalamualaikum."
Di depan aku sudah ditunggu taksi. Aku harus masuk ke mobil roda empat itu sebelum Abizard menahanku. Sayang, lelaki itu tidak mau kalah cepat. Dia menghadang saat aku hendak membuka gerbang. "Kamu mau ke mana, Bia?"
"Bukan urusan kamu," jawabku tanpa menatapknya. Dingin menusuk.
Abizard dengan cepat memegangi gerbang. Sama sekali tidak mengizinkanku membukanya. Kutatap wajahnya yang sudah memerah. Mungkin harga dirinya sebagai suami merasa diinjak-injak. Sabiya yang selalu menghadiahi senyum serta patuh, kini bertingkah sebaliknya.
"Kak, aku sudah bukan Bia. Udah gak ada Bia sama Bae. Semoga kamu paham itu."
Mendengar itu perlahan tangannya melemas, merelakan aku membuka gerbang, terus melengkah pergi tanpa menatapnya lagi.
***
makin seru kan?
Sebenernya kemarin aku sempet gak semangat gara-gara dibilang alurnya bertele-tele sama salah satu pembaca. Tapi aku sadar kok emang gak mungkin buat semua orang puas. Yang penting kan ada kalian yang saat ini masih setia. Ciyaak
Kalau kita buat grup chat seru kali ya. Biar makin akrab
Mel~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top