Bab 5 - Sabiya, Yasmin, dan Sahabat
Semua orang pasti berubah, tetapi aku tidak menyangka kamu akan berubah seburuk itu. Aku hanya ingin berkata; aku merindukanmu ... yang dulu
~Sabiya~
Karya Mellyana Dhian
***
Kalau ditanya remuk atau tidak, jawabannya remuk. Berbagai gemuruh sendu sendan dalam diriku. Prihal diduakan memang tidak mudah dilupakan. Pertama kali Abizard memohon maaf waktu itu, lalu aku maafkan.
Aku kira hubungannya sudah berakhir, tapi nyatanya dia beralasan tak masuk akal ketika dipaksa meninggalkan. Katanya dia mencintaiku, dia akan meninggalkannya, aku hanya harus sabar sampai waktu itu tiba. Waktu itu terus berjalan, kan? Terkadang yang lama terasa sebentar. Semestinya Abizard tahu selama dia menyakitiku waktu berjalan begitu lambat. Setiap detik adalah luka. Lalu aku harus menunggu dan membiarkan jutaan luka membunuhku perlahan?
Di kafe aku duduk menunggu Yasmin, teman kerja Abizard yang berdiri di pihakku. Dia berniat membantuku melewati masa sulit ini. Tidak ada pilihan selain percaya ketulusannya, aku tidak pernah bergaul selain dengan keluarga. Kehidupan keras selama ini mengikatku dalam bergaul. Sehingga dengan adanya Yasmin seperti memberikan sebuah harapan.
Seperti jiwa kosong merasa tenang saat bertemu sandaran. Seseorang yang bersedia menjadi pendengar serta memahami. Ini bukan karena aku tidak percaya keluarga, rasa cintaku kepada mereka membuatku berpikir seribu kali untuk melibatkan mereka dalam kerumitan ini. Aku tidak ingin ibu atau mama jatuh sakit. Apalagi mama punya riwayat penyakit jantung.
Kulihat jam tangan, wanita itu sudah telat sepuluh menit. Ingat punya janji dengan mama, aku menghubungi Yasmin memastikan apakah dia jadi datang atau tidak. Baru saja kutempelkan gawai ke daun telinga, Yasmin sudah melambai dari pintu masuk.
"Maaf aku telat. Udah pesen makanan?" tanya Yasmin melihat mejaku hanya tersaji jus apel.
"Aku gak makan." Selera makanku hilang. Semua makanan favorite tak memengaruhi nafsu makanku lagi.
Yasmin seolah paham perasaanku. "Lapar gak lapar kamu harus makan. Itu kalau kamu mau tetap sehat lalu membalas dendam atas sakit hatimu."
Mendengar kata balas dendam membuat tanganku mengeratkan genggaman ke tali tas. Membuat wanita itu merasakan kesakitanku menjadi tujuan utama saat ini. Lebih tepatnya membuat dia terluka dan menyesali perbuatannya.
Yasmin menyenggol tanganku sambil menunjuk menu di halaman empat. "Aku rekomendasiin ini. Enak banget."
"Ok. Porsi paling kecil."
Ketika Yasmin menuju toilet, aku terus memandangnya. Sedikit yang aku tahu Yasmin bercerai setelah tiga tahun pernikahan. Dia berkarier serta merawat satu orang anak. Hal yang kusuka dari Yasmin, dia berhasil membuktikan kepada mantan suami kalau dia bisa bertahan dan lebih sukses. Aku juga ingin seperti itu. Aku ingin menunjukan kepada Abizard kalau aku bisa lebih sukses, bahagia, kaya, dengan begitu dia akan berlutut memohon maaf.
Sambil menunggu Yasmin aku merenungkan kalimat Naila. Dia akan bahagia kalau aku meminta cerai, karena dengan begitu mudah bagi dia menggantikan posisiku. Aku tidak mau dibodohi, aku harus pertahankan pernikahan ini.
Yasmin langsung bertanya begitu kembali. "Apa kata Naila?" Dia satu-satunya orang yang tahu kalau aku melabrak pelakor itu.
"Dia bilang perselingkuhan ini salahku. Aku gak becus ngurus suami. Gak jaga kecantikan."
"Dasar pelakor! Kenapa kalau suami selingkuh yang disalahkan wanita? Pikiran dia patriarki sekali. Secara gak langsung dia merendahkan derajat wanita alias dirinya sendiri. Menurut aku kamu harus bangun bisnis minimal hidup mandiri sebelum nantinya bercerai setelah selesai membalas penghianatan Abizard."
"Aku binggung mau usaha apa." Aku terus terang. Jujur saja memang mentalku bukan mental bos, melainkan buruh.
"Fasion lo tertarik gak?"
Aku berpikir, menggeragapi diriku sendiri. "Lumayan."
"Nah, itu aja."
"Aku harus mulai dari mana?"
"Dari modal. Aku punya temen yang baik nanti aku kenalin kamu ke dia."
"Wah, makasih banget Yasmin." Aku tersenyum. Membayangkan memiliki butik ternama, membawa rancangannya sampai ke luar negeri, plus membuktikan bahwa aku bisa berdiri tegak tanpa Abizard.
***
Semua harus terlihat baik-baik saja di depan keluarga. Itu yang aku sepakati dengan Abizard. Tentu hal ini karena aku mencintai mereka.
"Sayang, aku mau terusnya dua." Abizard bertingkah menggemaskan. Dulu kelakuan kekanak-kanakannya membuatku tertawa, tapi kini aku justru mual.
Kupaksakan senyumku. "Nih."
Ibu, mama, dan papa tersenyum melihat kami. Syukurlah mereka tidak tahu bahwa kami sedang memakai topeng. Aku pikir kita akan bersama bahagia selamanya, nyatanya semua itu pupus disebabkan perselingkuhan.
Abizard mendapat telepon, melihat ekpresinya aku tahu itu dari siapa. Pasti Naila. Saat dia beranjak hendak menerima telepon hatiku meradang. Entah mengapa seolah dia pergi meninggalkan kami demi wanita itu. "Sadarlah Sabiya! Sadarlah. Mengapa kamu sakit hati saat sebenarnya kamu ingin melepas?" Kataku membatin.
Aku menarik tangannya. "Mau ke mana sih Mas? Makan dulu dihabisin." Kuraih ponselnya. Benar aku melihat nama Naila di sana.
"Iya makan dulu Abizard," kata mama. Semua menatapnya dan memintanya duduk. Dengan wajah frustasi dia pun duduk di sebelahku, melanjutkan makan dengan malas-malasan.
"Kantor?" tanya papa.
Abizard hanya mengganguk.
"Sejak kapan kamu menggangkat telepon kantor saat makan bareng gini, Zar?" Papa benar, dulu Abizard selalu menonaktifkan ponselnya.
Kulihat ekpresi wajah suamiku yang sejak tadi seperti bersalah tidak menggangkat telepon. Sebesar itu kah cintanya kepada Naila? Aku tidak kuat. Aku lari ke kamar mandi. Tidak bisa dipungkiri kalau hatiku seperti ditusuk puluhan sembilu. Puluhan? Oh tidak. Ini sudah ribuan.
Aku dengar suara mama di depan pintu. "Sabiya kamu kenapa?"
Kuambil napas panjang lalu kuembuskan melalui mulut, kulakukan itu berkali-kali sampai cukup tenang. "Cuma gak enak badan Ma."
Saat kubuka pintu Abizard dan mama sudah di depan pintu. Lelaki itu langsung menuntunku, ingin rasanya aku menolah bantuannya, tetapi ini akan aneh jika dilihat mama.
"Kita ke kamar ya, Sayang." Mama, ibu, dan papa mengikuti aku dan Abizard. Mereka menawarkan aku meminum obat, tetapi kutolak. Setelah aku meyakinkan kalau aku akan segera pulih, barulah mereka meninggalkan kami berdua. Sebesar itu cinta ketiga orang tuaku, bagaimana aku tega membalas kasih mereka dengan perceraian.
Setelah kupastikan mereka ada di lantai bawah. Aku memandang Abizard yang asyik membalas pesan. "Mas sampai kapan kamu mau sakiti aku sama keluarga. Harusnya kamu paham kenapa aku menunda perceraian itu karena mereka, tapi apa yang kamu lakukan? Tidak tahu malu lagi. Menampakkan semua di depanku."
"Maaf." Dia meletakkan ponselnya.
"Orang minta maaf itu gak diulangi," ketusku. Aku menahan air mataku. Tidak boleh kubiarkan Abizard melihatku sebagai wanita lemah.
"Sabar, Sayang. Sebentar lagi aku akan meninggalkan Naila. Aku cinta sama kamu." Dia mencium keningku.
Kuusap bekas ciumannya. "Cinta apanya? Kamu udah duain aku, Mas. Itu yang namanya cinta."
"Udah ya aku ke kantor dulu. Kamu jaga diri baik-baik di rumah. Dan ingat jangan lagi menyebut kata perceraian." Abizard mengalihkan pembicaraan.
"Aku gak ngerti sama arah pikiran kamu!" bentakku sebelum dia ditelan pintu kamar. Kalau ditanya Abizard sosok seperti apa? Akanku jawab dengan tegas dia sangat baik, pengasih, dan penyayang. Namun tidak untuk sekarang. Dia seperti pria batu yang dibutakan oleh cinta terlarang. Jujur saja aku ingin dia berubah seperti dulu. Hingga aku sadar aku hanya berharap untuk kecewa.
***
Absen dulu. Udah baca cerita Sabiya berapa kali?
Baru pertama?
Lebih dari sekali?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top