Bab 4 - Sabiya, Naila, dan Mengalah
Catatan Mellyana Dhian
Biasanya aku nulis catatan di akhir, tapi kali ini beda. Aku tahu pasti ada yg seneng sekaligus terkejut tiba-tiba cerita ini update setelah sekian dasawarsa 🤪
Kalau kalian lupa, tolong baca lagi dari prolog ya hehehe...
Mau tes ombak dulu masih banyak gak yang nunggu? Absen dulu coba sambil sebutin nama kota.
Nanti kalau emang banyak yang nunggu. Aku usahakan update rutin, setalah Senja di Istanbul tamat. Padahal ya gaes, aku dah siapin cerita baru juga. Tapi, tapi aku juga gak tega lihat kalian nunggu.
Dahlah banyak bener catatannya.
Selamat membaca. Et ada teaser nih. Tonton deh. Aku mo nangis nontonnya
[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]
Gimana videonya 🥲😭?
***
Wanita memang sering melibatkan perasaan, tetapi bukan menjadi patokan kelemahannya.
~Sabiya (Luka yang Kau Torehkan) ~
Karya Mellyana Dhian
Tag @mellyana.i jika kalian share apapun ttg cerita ini.
***
Cerita yang diakhiri kedua tokohnya menikah adalah cerita berakhir happy ending. Tapi, kita gak tahu makna ending yang sebenarnya. Sama dengan diriku, penikahanku kini hanyalah luka. Ya, memang nyatanya pernikahan bukanlan akhir yang sebenarnya. Arti selesai itu ada ketika kita telah tiada.
Aku menidurkan Viola perlahan di kamarku. Tidak akan kuatarkan dia pulang. Itu sama saja memperlihatkan kepada kakak ipar tentang lukaku. Kak Agnes akan membaca bahwa hubungan suami-istri kami sedang tidak baik. Di keluarga Abizard itu bukan hal kecil. Mereka bisa mengadakan pertemuan keluarga besar secara mendadak lalu berusaha memberikan titik tengah. Begitulah budayanya.
"Biaku Sayang," panggil Abizard masih berusaha membujukku untuk bicara.
Kulepas jarum pentul di meja, melepas jilbab, dan ikat rambut, lumayan meredakan sakit kepala yang kurasakan. Dari pantulan kaca rias aku melihat dia melepas dasi sendiri. Mungkin dia yakin aku tak akan memlepas dasi seperti biasanya.
"Wanita itu dia, kan? Yang kamu bilang bukan orang kantor." Ya Rabb, air mataku ingin jatuh lagi. Rasa sakit ini sungguh membuatku sulit bernapas. Aku masih sangat mencintai Abizard. Aku masih sangat mencintainya. Semoga kalian tidak menggangapku bohong.
"Aku mandi dulu." Alih-alih menjawab, dia malah masuk ke kamar mandi. Tanpa bisa kukendalikan, kulempar wadah serum berbahan kaca hingga tepat mengenai depan pintu kamar mandi yang sudah tertutup. Kalau tidak terbuat dari kaca premium yang tebal, aku yakin pintu itu sudah pecah atau minimal retak.
Istri tidak punya adab? Biarkan saja! Aku lelah dilatih sabar! Sabar memang tidak ada batasnya, tidak berlaku dengan wanita yang diselingkuhi suaminya. Aku memang bodoh! Tidak punya gelar sarjana seperti Nala. Namun soal rasa aku tidak mau dibodohi lagi. Pokoknya aku harus C-E-R-A-I.
Amarah semakin menjadi pada diriku. Di masa lalu aku selalu pandai menahannya, tetapi setelah menikah dengan Abizard dia mengajariku untuk menjadi manusia normal. Tidak apa marah, tidak masalah tidak baik-baik saja. Itulah yang membuatku bisa mengekpresikan perasaan dengan baik sekarang. Tidak bisa dipungkiri lelaki itu memang punya banyak bakat dan peran dalam hidupku. Dia lelaki sejati, calon ayah idaman, suami hebat ... tapi itu dulu. Dulu dia selalu sempurna di mataku. Sampai kesempurnaan itu sirna ditelan waktu.
Tanganku menggeng wadah bedak padan sampai berdarah. Kaca di penutupnya melukai telapak tanganku. Hanya saja sakitnya tidak seberapa dibanding hatiku. Tetes demi tetes darah segar membasahi lantai. Kalau tidak ingat ada pertanggung jawaban setelah mati, aku akan mengakhiri hidupku malam ini.
"Bia," teriak Abizard yang baru keluar dari kamar mandi. "Kamu melukai tanganmu." Rona wajahnya panik.
Abizard, Abizard, luka ini tidak seberapa. Daripada kamu melukai cintaku. Goresan kaca di telapak tangan bisa kamu bersihkan dengan obat yang kamu simpan di kotak PPPK, tetapi luka di dalam hatiku ini tak bisa diobati dengan obat apapun. Janji manismu pun akan terasa basi sekarang.
"Kamu tahu kan aku gak suka sama orang yang gak konsisten sama perkataannya. Saat kamu bilang gak akan ngulangin, kamu udah buat hatiku berharap buat pulihin pedihnya penghianatanmu. Aku udah kasih kesempatan kedua. Kamu udah janji Abizard!!!" Suaraku pelan memang, tetapi penuh menekanan.
Abizard sibuk membersihkan lukaku. "Gak akan aku temui dia lagi. Tadi cuma kecelakaan."Haruskan aku percaya dengan omongannya?
Tanpa basa-basi lagi, aku meludahi Abizard. Kukibaskan tanganku lalu aku tidur di samping Viola. Aku yakin dia merasa jijik ludahku membasahi wajahnya. Biarkan dia tahu seberapa aku juga jijik kepada janji busuknya.
***
Seperti istri pada umumnya yang ingin melabrak Nala. Maka itu terjadi padaku. Pagi ini aku rela ke rumah sakit pagi sekali. Mencuri surat keterangan wali yang ada di dompet suamiku agar bisa masuk meski di luar jam jenguk. Aku menyesal kenapa tidak semalam saja aku menyudutkan mereka? Memfotonya kemudian disebarkan ke media sosial. Biar viral wajah pelakor itu. Ketikan jari netizen yang akan membuat mereka kapok.
Ibuku yang ada di dapur berlari ke depan. "Sabiya, mau ke mana kamu?"
"Sebentar, Bu," jawabku tidak nyambung.
"Kamu gak sarapan? Terus kamu mau pergi sendiri? Abizard mana? Kamu gak sama suamimu?" Ibu memberondongiku dengan pertanyaan-pertanyaan dengan wajah kebinggungan. Aku yang sudah mengeluarkan sepeda motor dari garansi mendatanginya. Kukecup pipi kanannya serta punggung tangan.
"Sabiya cuma pergi sebentar. Tolong jagain Viola ya Bu. Dia belum bangun masih sama Kak Abizard di atas." Aku pun berdada-dada. Meninggalkan ibu yang masih menyimpan berbagai jenis pertanyaan.
Masih pagi, jalanan belum ada kemacetan. Dengan kecepatan delapan puluh kilo meter per jam aku sampai di sana pukul enam lebih tiga menit. Aku sempat berjumpa dengan perawat yang tadi malam menolongku saat di list, dia menggendong tasnya. Mungkin shift-nya sudah selesai. Kami tidak bicara ketika berpapasan, hanya mengulumkan senyum satu sama lain.
Dengan pasti kakiku menyusuri lorong. Saat memegang knop pintu awalnya hatiku lumayan getir, tetapi buru-buru aku melawan. Dialah penjahatnya, kenapa harus aku yang takut?
Naila sedang memakan sarapannya saat aku masuk. Matanya langsung membulat sempurna begitu melihatku mendekat. Mula-mula terlihat sangat panik, tetapi dengan cepat dia bisa menetralisir ekspresi. Pintar juga dia mengendalikan respon. "Pagi, Bu. Ibu istri Pak Abizard ya?" Tanyanya sopan penuh lemah lembut.
Aku membuang muka. Ingin rasanya aku meludahi wajah sok baiknya itu. "Begini ya kalau ahli ambil suami orang. Tingkahnya lemah lembut," sindirku. Kalau tidak di rumah sakit sudah kujamba rambutnya yang panjang itu.
Dia hanya membalas senyuman lalu meneruskan makannya. Peganganku semakin erat menggengam tali tas. Perih, luka bekas kaca semalam belum kering. Sikapnya tidak merasa bersalahnya sudah membuat darahku semakin mendidih.
"Udahlah. Berbagi apa susahnya," katanya enteng sekali. Dasar wanita gila!
"Edan ya lo! Sinting! Gila! Gak waras! Sakit emang!"
Naila menyudahi makannya, mengelap mulut dengan tisu. Tenang sekali gerakan per gerakannya. "Hidup ibu sudah sempurna. Bagi sedikit kebahagiaan kepada saya apa gak mau? Ibu jangan rakus!"
Sinting! Apa katanya tadi? Aku rakus? Harusnya aku menyeretnya ke rumah sakit jiwa bukan di sini.
Ada banyak kamera CCTV, aku tidak mau menimbulkan kekacauan. Berkali-kali aku menggigit bibir untuk menahan emosi.
"Kalau ibu mau minta cerai sama Mas Abizard justru saya yang bahagia," ucapnya seperti air di rawa, tenang sekali. "Kalau dipikir-pikir Mas Abizard aku lebih diuntungkan mendapatkan saya. Cantik, pintar, sexy."
Kurasakan darah bersama saliva. Pasti saking kuatnya mengigit bibir, aku melukai diriku sendiri. Daripada emosiku semakin menjadi, kuputuskan berbalik badan, berjalan meninggalkannya. Tidak akan aku biarkan dia bahagia. Aku tidak akan menyerah dengan memilih jalan perceraian.
"Mbak Sabiya, coba Mbak renungkan kenapa Mas Abizard selingkuh? Sepenuhnya salah Mbak."
Salahku? Apa salahku?
***
Seberapa emosi kalian? Jawab 1-10
See you next part~
Mel~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top