Bab 30 - Rasa Bersalah

Hal paling berat dari hijrah adalah merasa paling suci. Hal paling bahaya ketika berbuat maksiat ketika tak merasa berdosa.

~Sabiya (Luka yang Kau Torehkan)~

***

Ketika ada suara pecahan kaca aku langsung menoleh. Mataku terbuka lebar melihat Sabiya terbaring di lantai. Tangannya berdarah terkena beling. Tanpa adab teman-temannya malah tertawa. Dan, aku. Seharusnya aku menjadi golongan yang berbahagia atas kekacauan yang diakibatkannya, bukan malah kasihan.

Tubuhku bereaksi untuk menolongnya. Namun terlambat. Lelaki memakai setelan jas berwarna hitam mengangkat tubuh Sabiya. Ternyata dia Alvi.

"Minggir!" tegur Alvi gara-gara aku menghalangi jalannya.

"Dia is—" ucapku terpotong. Terhenti di tenggorokan begitu menyadari dia bukan istriku lagi.

Alvi berlalu, bersama sorot mata orang-orang yang melihat adegan seperti di film layar lebar. Sementara aku tersenyum menertawakan diri sendiri. Aku melihat dengan jelas tangan mantan istriku itu menggengam erat bahu lelaki itu. Ada sedikit rasa kesal menyaksikannya. Mungkin aku ingin Sabiya tidak dipedulikan, tetapi yang kulihat malah sebaliknya. Ya, semoga saja begitu. Rasa kesal dia dipedulikan. Bukan rasa kecal akibat cemburu.

Mataku lalu tertuju kepada Naila yang duduk menyilangkan kaki. Wajahnya juga terkejut. Aku curiga ini adalah ulahnya.

"Lepasin, Sayang. Sakit banget!" teriak Naila saat kutarik pergelangan tangannya menuju ruangan kosong tidak jauh dari acara berlangsung.

Dadaku naik turun. Dengan dahi berkerut kusilangkan tangan di depan dada. Menghadap istriku yang mengernyit kesakitan.

"Sakit tau. Kita dilihat banyak orang tadi. Gimana kalau kelihatan jelas hubungan kita? Bisa-bisa image aku jelek kalau gosip itu terbukti benar. Sabiya yang akan menang karena dialah yang seolah teraniyaya!"

"Sempet kamu mikir kayak gitu?" tanyaku ketus.

Dia membalas pandanganku dengan amarah. "Mas Abizard ngira aku sengaja lakuin itu ke mantan istrimu itu? Dewaku Sayang kamu kenal siapa aku. Selembut apa hati istrimu ini. Apalagi ini acara besar, berarti buat perusahaan. Gak mungkinlah aku lakuin hal konyol hingga menimbulkan kegaduhan."

Aku tidak berniat menjawab.

"Aku gak sengaja. Demi Allah. Allah Maha Melihat, kalau aku berbohong sama saja dosa. Katamu ada malaikat yang menyatat amal juga, kan? Mana berani aku bohong."

Tidak mungkin aku memukul Naila. Sebagai gantinya aku meninju tembok. Aku tahu lelaki tadi adalah Alvi. Dokter utama yang akan bekerjasama di perusahaan. Sekaligus tetangga Sabiya yang terlihat menyimpan rasa. "Gimana kalau Sabiya kenapa napa?" tanyaku frustasi.

Seperti dugaan, Naila langsung tersulut emosi. Matanya menyilatkan kecurigaan. "Kamu masih cinta sama wanita itu? KAMU MASIH CINTA?" Pertanyaan kedua Naila berteriak.

"Pelan-pelan!" Mataku melotot, mengecilkan volume bicara, tetapi memberikan penekanan. "Nanti orang di luar sana denger."

"Biarin. Biar semua orang tahu kalau mas emang gak setia. Sekarang akulah istri sahmu." Sah secara agama.

"Kalau atasan tahu aku punya etika buruk. Bakal susah naik jabatan! Jangan macem-macem, Sayang."

Naila jongkok, dia menangis sampai sulit bernapas. Lagi-lagi kuhela napas. Melihat ke atas seraya mengontrol emosi. Aku meraih tubuh istriku. "Maaf, Sayang."

Astagfirullah. Maafkan aku Ya Allah. Maafkan aku telah menyakiti istriku. "Mas kebawa suasana. Mas bukannya belum bisa move on. Bukan itu. Mas tulus sayang sama kamu karena Allah. Kamu percaya, kan?" Kalau aku tidak menyayangi Naila, untuk apa aku meninggalkan Sabiya. Sabiya yang membuatku bangkit dari patah hati, membangkun karakter kuat seorang Abizard yang dulu dibudakkan oleh cinta.

Naila malah semakin tersedu-sedu. Aku memeluknya makin erat lalu menciumi tangannya. "Maaf, Sayang. Maafin ya. Aku percaya kamu gak sengaja."

"Sabiya yang udah berlebihan. Dia itu pura-pura sakit."

"Iya. Mas percaya."

Kami berpelukan hingga tangis Naila mereda. Perlahan kubantu dia berdiri. "Sekarang kamu benerin make up. Kita ke rumah sakit ya, biar orang tahu kalau kita baik sama dia. Dewamu ini tahu banget dewinya adalah wanita yang baik." Kalau dipikir-pikir memang Sabiyalah yang selalu menyulut emosi seperti tidak membiarkan kita hidup tenang.

Kuusap air mata Naila. "Aku tunggu di mobil ya, Sayang. Ana ukhibuka fillah. Kita harus sabar hadapain Sabiya. Karena Allah sudah menyiapkan Surga bagi hambanya yang sabar."

"Iya, Sayang. Allah gak akan kasih cobaan di luar kemampuan makhluknya, kan?"

"Iya. Bener. Cantik banget sih istriku pakai jilbab gini."

"Makasih," ucapnya sambil tersenyum manis. Masyaallah. Terima kasih sudah menghadiahkan wanita salehah seperti Naila.

"Nanti pulang dari rumah sakit, kita ke rumah mama papa ya. Kemarin kan gak jadi. Aku yakin mama papa bakal suka sama kamu. Orang kamu lebih baik beratus kali lipat daripada Sabiya."

"Iya, Dewaku. Siap." Tangannya hormat bendera.

Ketika aku memegang knop pintu, Naila bertanya, "Sayang, tentang izinku yang kemarin udah dipikirin?"

Aku pura-pura lupa. "Izin yang mana?"

Kakinya menghentak ke lantai. "Yang mana sih? Kok Dewa bisa lupa ya."

"Ihhh," kesalnya dengan mata sinis. "Aku mau bercadar."

Kuusap kepalanya. "Pelan-pelan aja dulu."

"Tapi kata kami wanita yang baik itu bisa menjaga kehormatan. Dan aku pengen tubuhku, rambutku, dan auratku cuma dilihat sama kamu."

"Iya, Sayang. Belajar istiqomah dulu sama pakaian ini. Udah menutup dada aja aku udah bangga sama kamu. Allah juga pasti bangga." Memang daya serap pemahaman Naila lebih cepat daripada Sabiya.

***

Alvi dengan wajah paniknya membawaku ke ambulan. Berkali-kali mengusap keringat hanya dengan lengan jas. Sampai di ambulan pria itu sibuk dengan berbagai alat kedokteran yang aku tidak tahu bernama apa. Lalu dia menghela napas. "Yakin bayimu akan selamat. Kamu harus tenang"

Meski rasa sakit masih terasa, aku cukup bersyukur.

Sampai di rumah sakit Alvi pamit mengisi administrasi. Sedangkan Yasmin baru muncul dari pintu masuk IGD. Dokter yang bertugas mengatakan kalau bayiku bisa bertahan, tapi aku harus mendapat perawatan di sini paling tidak tiga hari. Kuelus perutku. Anak yang hebat. Anak yang kuat. Mari berjuang sampai akhir.

Perawat membantuku duduk di kursi. Lantas mendorongnya. Yasmin tidak ikut karena sudah punya janji dengan pihak distributor busana muslim kami. Ya, Yasminlah yang akhirnya berperan besar. Meski setiap diskusi tidak lupa dia melibatkanku.

Ternyata Alvi sudah ada di ruangan. Setelah perawat pamit dia berkata, "Sabiya tolong selalu jawab teleponku. Meskipun aku ada di depan matamu. Aku khawatir."

Aku terkekeh. "Siap, Pak Dokter. Segininya ya sama pasien."

Alih-alih membalas bercandaku, wajah Alvi masih saja serius. "Saya gak bercanda Sabiya!"

"Iya, iya. Sorry." Namun aku malah semakin tertawa. "Aw," keluhku begitu nyeri hebat terasa.

"Nakal banget jadi pasien!" ketusnya. Sumpah Alvi lucu kalau protektif. "Udah, saya harus jemput Cilla sekarang. Inget ya jawab telepon!"

"Siap, Bosque."

"Dulu ibu Cilla meninggal karena tidak tertolong. Saya abaikan telepon dia. Pokoknya kamu harus angkat!"

Ini kali pertama Alvi membahas ibu Cilla. Kini aku paham mengapa dia sekhawatir itu. Sebenarnya aku juga tahu dia masih menyimpan rasa. Hanya saja aku pura-pura tidak peka. Dan menggangapnya teman.

"Sabiya, kamu gak ada niat ngasih tahu ke Abizard kalau kamu hamil?"

Tidak lama. Seseorang mengetuk pintu. Itu Abizard bersama istri barunya.

***

Kasih tau gak nih kalau Sabiya hamil?

Sampai di sini tetep Raka? Apa kapal Alvi? Hmm... apa udah ada yg balik kapal Abi?

Btw guys lihat deh postingan terbaruku di Instagram ttg Sabiya. Dijamin ada yg nyesek, belok arah, atau malah dilema.

See you bab 31. Enaknya besok adegan apa ya?

Oh ya aku mau tanya. Menurumu lelaki tulus itu yang gimana?

Kewajiban manusia adalah beribadah
Mel~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top