Bab 29 - Sabiya dan Tiga Pria
Bagi seorang ibu anak adalah harapan. Menjadi alasan agar kuat seberapapun hidup kejam terhadapnya. Senyum anak, sama dengan bahagianya. Tangis anak, menjadi lukanya.
~Sabiya (Luka yang Kau Torehkan)~
Karya Mellyana Dhian
Lebih dekat dengan penulis follow @mellyana.i
Komen setiap paragraf yuk soalnya author suka bacanya.
***
"Rumah ini sepi banget gak ada kalian," kata mama dari sebrang telepon.
Ibu melihat ke panggilan video. "Kapan-kapan main ke sini, Mbak."
"Memang Sabiya tinggal di mana?"
"Apartement, Ma. Daerah Jakarta Timur."
"Apartemen?" Alis mama naik satu. Mungkin mama tidak percaya melihat interior yang lebih terlihat seperti kos-kosan.
"Iya, Ma. Masih nyewa hehe," jawabku sama sekali tidak minder.
"Sabiya kamu tinggal di rumah mama yang dulu aja. Bulan depan yang kontrak masanya udah habis kok. Nanti mama bilang sama papa buat kamu tinggal di sana."
Kehancuran rumah tanggaku perlahan tapi pasti sudah bisa kuterima dengan ikhlas. Namun perpisahanku dengan mama sering membuat hatiku meradang. Aku juga kangen sekali dengan Viola, anak kak Agnes. "Makasih, Ma. Tapi Sabiya baik-baik aja kok ada di sini."
"Bener bener Abizard. Mama sampai saat ini belum bisa maafin dia," omel mama yang hanya kubalas dengan senyuman.
"Abi— mas." Ah aku binggung sekarang harus memanggil lelaki itu apa. Dulu sebelum menikah, aku memberinya embel-embel mas sebagai rasa hormat anak majikan kami. Sekarang kalau hanya nama saja juga segan dengan mama.
"Gak usah bahas dia. Kamu butuh sembuh dari trauma. Temui psikolog ya, Bi," pesan mama. "Pokoknya kamu tetep anak mama. Kamu kalau ada waktu temenin mama senam dan belanja ya. Ibu kamu juga masih anggota senam lansia loh."
Aku melihat ibu yang hanya diam melihat aku dan mama mengobrol. Senyumku hanya di bibir mendengar pesan mama. Mana sempat aku mengantar ibu. Tempat senam dari apartemen sangat jauh. Aku saja modal nebeng Yasmin sama naik kendaraan umum. Belum begitu berani mengendari sepeda motor di kota sebesar Jakarta. Belum lagi aturan dan jalan searah yang bikin pusing. "Iya. Semoga ada waktu buat antar ibu."
"Kok gitu?"
"Sabiya kan kerja, Ma. Lagi merintis usaha kecil-kecilan juga."
"Eh yaudah nanti mama jemput ibu kamu. Kan ada Pak supir."
"Iya. Asal mama sama ibu bahagia Sabiya juga ikut seneng."
Setelah itu kami menyelesaikan panggilan. Aku meminta ibu membersihkan diri sebelum tidur. Usai itu menyediakan waktu untuk memijatnya. Kami sudah lama tidak menghabiskan malam bersama.
Pukul setengah sembilan malam ibu merapal dzikir sebelum tidur. Sementara aku mengecek email dari salah satu siswa SMK tata busana yang mendesainkan baju muslim secara cuma-cuma. Sebagai feedbecknya aku akan memberinya nilai A untuk tugas. Sebentar lagi impianku memiliki merk pakaian sendiri terlaksana. Esok semoga ada kejutan terbaik yang kuimpikan.
***
Kusapa semua pegawai dapur dengan memberi segelas kopi hitam dari kafe perusahaan. "Pagi semua."
"Pa–pagi," balas mereka agak heran melihatku senyum selebar ini, padahal pekerjaan hari ini akan sangat menumpuk. Kita harus datang pagi buta dan pulang lebih dari jam biasanya. Akan ada acara cukup besar, sehingga kami menghidangkan berbagai menu yang cukup banyak. Dari makanan lokal sampai luar negeri.
"Bahagia banget Sabiya," kata ketua devisi tanpa senyum.
Ya, ternyata dia memang seperti itu. Tidak hanya kepadaku bersikap sinis. "Alhamdulillah."
"Usai cerai malah bahagia ya?" Dia masih menimpali.
Aku hanya tersenyum. Bukan itu, tapi aku bersyukur hari ini dana dari investor mulai masuk. Yasmin akan mengola dana dan segera mengadakan acara peresmian. Janji Allah memang tidak pernah diingkari. Setiap kesulitan akan ada kemudahan seperti yang disampaikan dalam firman-Nya Al-Insyirah ayat 5 sampai 6.
"Lah kok senyam senyum." Wanita di sebelah ketua devisi ikut mencibir.
Gak ngerti apa salahku sama mereka sampai-sampai apa aja yang dilakuin selalu salah.
"Udah. Udah. Ayo mulai kerja!" seru ketua. Kami pun langsung memegang alat masing-masing untuk memberikan hidangan terbaik kami.
Tepat pukul sebelas siang pekerjaanku selesai, selanjutnya aku bersiap menjadi staf bagian depan. Tidak lagi berurusan dengan kompor melainkan tamu perusahaan.
"Ingat Sabiya tamu hari ini sangat penting. Jangan buat kesalahan. Mentang-mentang deket sama Pak Raka bukan berarti bisa semena-mena." Ketua mempringatkanku.
"Ya Allah, Ibu. Kapan saya aduin pekerjaan ke Pak Raka? Gak pernah, kan?" Demi Allah aku gak pernah membahas prilaku tidak baik teman kerjaku kepada Raka. Mentok mentok hanya ke Yasmin kalau terlalu gedeg.
"Dengerin tu, Bi!"
Yang lain menimpali. "Iya. Punya hubungan sama atasan kayak Bu Yasmin juga jangan buat nusuk teman dari belakang."
Ya Allah, mereka ini iri apa dengki sih? Omongannya pedes banget kayak sambel!
"Terima kasih ya guys. Pesan dan kesannya," jawabku penuh penekanan dan tersenyum. Tetap berusaha tegar. Selain itu aku berdoa kepada Allah semoga anak yang sedang kukandung tidak senyebelin mereka.
Selesai salat dan berganti pakaian aku langsung menuju depan. Bu ketua memang sangat dendam denganku. Tiba-tiba aku ditugaskan menyambut tamu yang datang di area makanan. Itu artinya aku harus beramah tamah menjelaskan berbagai hidangan.
"Sabiya!" panggil Naila. Aduh, mbak benalu datang.
"Pak, ini staf dapur yang akan mengarahkan Bapak mengambil hidangan." Naila menekankan kata staf dapur.
"Oh ini yang mantan istri Abizard ya?" Dia berbisik ke telinga Naila. Hanya saja seolah sengaja agar aku bisa mendengar.
Mata Naila terbaca tengah meremehkanku. "Betul." Tangannya menyibakkan rambut yang semakin panjang.
"Mari Pak," ajakku kepada Bapak berperut seperti orang hamil berdasi abu-abu.
"Ini makanan apa?" Dia menunjuk ke soto betawi. Kalau bukan tamu terhormat, inginku katakan kepadanya "hey! Apakah kamu gak bisa baca tulisan segedhe dugong itu? Katanya sekolah tapi gak bisa baca? Butuh kaca mata?"
"Soto betawi, Pak."
"Ya saya tahu soto Betawi."
Aku melongo. Maksudnya apa coba? "Maaf, Pak. Maksudnya gimana?"
Tangannya masuk ke kantong. "Kelamaan. Ambilin sotonya cepet!"
Lah, kok ngamuk!
"Baik, sebentar, Pak."
Saat kuberikan, matanya menyipit. "Kebanyakan kuah!"
"Baik, saya ambilkan lagi."
Menghela napas dan memberikan satu mangkuk soto lagi kepadanya. "Ini, Pak."
"Kok ada sambelnya?"
Astaghfirullah. Rasanya ingin mecincang bapak ini menjadi suwirah soto saja. Halal kali ya?
"Bapak maunya yang gimana?"
"Tadikan saya sudah bilang."
"Kapan, Pak?"
"Tadi."
"Maaf, Bapak belum bilang."
Naila datang. "Pak, duduk dulu saja. Itu kursi bapak. Dia akan mengantarkan makanan untuk bapak."
"Terima kasih, Naila."
Naila merasa menang sekarang. Sedangkan aku harus lebih bersabar. "Pak, tadi soto betawi tanpa sambal dan kuah sedikit ya?"
"Iya."
"Baik. Ditunggu ya Pak."
Saat aku meracik, Abizard datang. Namun dia tidak terus terang menawarkan bantuan. Berpura-pura mengambil makanan. "Butuh bantuan?"
"Terima kasih. Tidak perlu."
"Dia emang pemilik saham paling ribet. Sabar ya."
"Gak seribet ngurusin ka—" stop Sabiya. Jangan ingkit masa lalu!
"Aku ribetin kamu ya dulu?" Dia terkekeh. Abizard ini aneh sekali. Kadang kasar, kadang sok peduli.
Tidak lagi kupedulikan. Kuantarkan mangkuk ini ke meja si Bapak duduk. Jaraknya cukup jauh. Saat menuju ke sana, seseorang menyegatku. Dia adalah Alvi. Ternyata dia aktif berinvestasi di perusahaan. Katanya malah dia akan membangun klinik cabang di perusahaan ini. Semacam kerjasama meningkatkan kesehatan karyawan.
"Hati-hati, Sabiya. Pakaian kamu ribet banget. Aku takut kamu kesandung," saran Abizard.
Raka yang semula berbicara dengan tamu menghadap ke arahku. "Mbak Sabiya, kan udah ada pelayan. Kenapa harus kamu?"
Ah, dua lelaki ini membuat orang-orang menontonku. Apalagi staf dapur yang menyaksikan ini. Pasti aku akan menjadi bahan ghibah lagi.
Lebih baik tidak kutanggapi mereka. Memberikan soto ini dan selesai sudah urusan dengan bapak tukang ngamuk itu.
"Pak, ini ya. Terima kasih."
Saat aku berbalik badan kaki Naila membuatku tersandung. Penutup meja tidak sengaja ikut terserat. Semua benda yang ada di meja pun pecah berserakan di lantai. Aku merasakan sesuatu di bagian perut.
Alvi berlari ke arahku. "Sabiya." Dia bersimpuh di sebelahku. Mimik wajahnya sangat panik. Banyak sekali orang yang melihat kami, tapi aku tidak peduli. Sakit di perut membuat konsentrasiku pecah.
"Dokter Alvi, perutku sakit banget," keluhku.
Tanpa meminta bantuan orang lain Alvi mengangkat tubuhku. Wajahnya super panik.
"Anakku, semoga kamu baik-baik saja," doaku salam hati.
***
Naila sengaja gak sih?
Gimana nih anak Sabiya 😭
Terus kenapa coba Abizard care banget?
Yuk yuk 3,5K vote dan 1K komen
Mel~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top