Bab 27 - Ujian Kesabaran untuk Sabiya

Aku baca komen tentang azab buat Abizard dan Naila ngeri-ngeri uy 😂

Siap melihat kebahagiaan Sabiya belum?

Siap liat penderitaan Abizard?

Siap lihat Naila cemburu?

Tim Abi, Alvi, atau Raka nih?

Jangan lupa komen di setiap paragraf. Soalnya sering aku baca hehe...

INFO PENTING!

Sabiya sekarang ada versi AU twitter juga. Banyak adegan yang gak ada di wattpad ada di sana. Jadi kalau kamu punya twitter mampir yuk!

Gak tau sih di AU banyak uwunya haha

Ada yang bilang AU tu obat nyesek di versi Wattpad

Tutorialnya di bawah ini

[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]

***

Sampai saat ini rasa khawatir itu sering menyiksa. Mebelunggu hati hingga rasanya mengerjakan apapun tetap gelisah. Kekhawatiran yang aku sendiri tahu ini tidak baik. Namun untuk menghentikan semua pikiran-pikiran buruk tentang masa depan–dan beberapa masa lalu–terus saja bersliweran. Orang menyebutnya overthinking.

Dari beberapa buku banyak sekali yang memberikan saran agar tidak berpikir berlebihan lagi. Salah satunya sibukkan diri kita dengan hal-hal positif, maka tidak akan ada lagi waktu untuk memikirkan yang kurang berguna.

Kekhawatiran yang rasanya juga belum tentu terjadi. Menebak-nebak pikiran orang menilaiku, padahal belum tentu juga begitu. Hingga sering kukatakan pada diriku sendiri. "Sabiya lagi-lagi balik ke kamu. Pikiranmu hanya kamu yang bisa mengendalikan. Yakinlah Allah akan menolong dari segala kesulitan. Maka serahkan kepada Allah. Tentang takut dinilai buruk orang lain, itu belum tentu benar. Kalaupun benar, biarkan saja. Sebab kita tidak akan dihisab dari prasangka orang lain. Tujuan hidup ini kembali kepada Allah. Maka bertingkah selayaknya syariat dan tidak perlu terlalu mencemaskan dunia."

Hahaha... tidak hanya dunia sebenarnya. Kadang akhirat juga membuatku berpikir. Gimana kalau nanti masuk neraka? Gimana kalau mati saat bermaksiat kepada Allah? Ketakutan ini dan itu lainnya. Ketika mengkhawatirkan soal akhirat justru itu membuatku sedikit lega. Setidaknya aku semangat ibadah, giat memohon ampun kepada Allah, yang jelas takut berbuat dosa. Pada intinya ketakutan akan dunia sering membuang waktu, sedangkan takut prihal membawa ke hal positif.

Malam hari memang waktunya pikiran bermain peran. Daripada makin kemana-mana aku pun mengambil mushaf, melafazkan surat Al-mulk yang salah satu manfaatnya akan menghindarkan manusia dari siksa kubur. Meski berat, kupaksakan membacanya setelah isya atau sebelum tidur.

Tapat kuselesaikan bacaan, notifikasi aplikasi untuk ibu hamil muncul. Hari ini usia kandunganku sudah lima minggu.

Ibu, jantungku mulai terbentuk. Sebentar lagi jantung adek berdetak kencang di dalam perut ibu. Maaf ya ibu kalau gara-gara hamil adek jadi sering mual. Jaga kesehatan, Bu.

Aku tersenyum membaca notifikasi itu. Serasa berbicara dengan calon anakku. Selain Alvi, Yasmin sudah tahu kehamilanku. Dia sering sekali membagi berbagai link maupun ilmu untuk ibu hamil. Di sisi lain saat ini aku sudah menjadi karyawan tetap di perusahaan. Kabar baiknya aku juga telah merampungkan proposal untuk diberikan kepada investor. Raka dan Yasmin juga sudah ACC. Tentunya setelah melalui berkali-kali revisi.

Sedikit demi sedikit aku mulai menguasai Microsoft word. Belajar otodidak dari internet dan kadang tanya ke Yasmin. Aku memang berhenti dari kursus komputer, karena waktu tidak cukup belum lagi sering mual yang sangat mengganggu.

Seseorang mengetuk pintu. "Siapa yang bertamu semalam ini." Jam di gawai sudah menunjukan hampir pukul 11 malam.

"Alvi." Ternyata dokter itu.

"Sabiya, aku minta maaf banget. Aku harus nitipin Cilla ke kamu. Sa-saya ada operasi mendadak. Ib-ibu saya juga masuk rumah sakit malam ini. Cilla gak boleh diajak ke sana." Alvi tampak tergesa-gesa. Ngeri, setahuku kemarin dia pulang subuh, sekarang baru sampai harus lembur lagi.

Kuambil Cilla yang sudah tertidur dari pelukannya. "Ok."

"Thanks, Sab. Kalau ada apa-apa kamu telpon aku aja." Dia menyerahkan kunci apartemen. "Ini kalau Cilla mau ganti pempers atau minum susu."

"Ok."

Sebelum berbalik badan dia menyadari wajahku yang pucat. "Tapi kamu yakin bisa? Sorry aku repotin kamu padahal kamu sedang hamil."

"Udah, Vi. Sana temui ibumu dan pasienmu." Aku tidak menyangka gimana akal bisa sehat harus menangani pasien kalau ibunya sedang sakit. Belum lagi kantung matanya terlihat jelas.

Sejak saat itu, tentang Alvi yang berterus terang mengenai perasannya, kami memutuskan berteman. Bagaimana pun dia satu-satunya tetangga yang bisa dimintai tolong ketika keadaan darurat. Ingat kan, di lantai apartemen hanya kamarku saja yang paling bobrok alias paling jelek. Tetangga lainnya sangat tertutup. Saat berpapasan pun mereka tidak tersenyum. Merasa sultan kali ya.

"Thank you so much, Sab."

Kulihat wajah Cilla yang menggemaskan. "Mama kamu ke mana sih Cil, tega banget menelantarkan kamu." Aku belum tahu pasti cerita tentang mama Cilla. Masih ada atau tiada. Kalau Alvi tidak bercerita, aku pun tak akan bertanya.

***

Istirahat kerja aku memutuskan makan di kanton sendiri. Memang belum punya teman akrab. Sambil makan aku memikirkan perkataan pengacara. Kalau ingin perceraian cepat selesai, aku harus mengikhlakan harta gono gini. Demi Allah capek banget ngurus perceraian. Gak hanya tenaga, pikiran pun juga. Uang tabunganku juga cukup terkuras.

"Boleh duduk di sini?" tanya lelaki yang suaranya sangat aku kenal.

Tanpa disetuju Abizard duduk di depanku. Dia memberikan wortel ke piringku. "Nih, kesukaanmu."

Aku susah menelan makanan. Segera dia memberikan air putih. Namun aku memilih minum dari botol yang kubawa. Dia kesambet apa baik banget sama aku? Gak takut apa dipergoki Naila?

"Santai aja, Biya."

Aku tak mau menjawab. Menggangapnya ada saja malas.

"Kamu mau ini?" Lagi-lagi dia lancang menaruh naget ke piringku. "Nanti makanannya aku bayarin aja."

"Maksud kamu apa?" Bukan aku marah, melainkan sangat tidak nyaman. Marah kepada Abizard hanya buang-buang energi.

"Kamu gak kangen sama aku?" tanyanya santai sekali. Melahap makanan di hadapannya.

"Situ masih waras?"

Sebelum dia menjawab, aku segera menyela. "Setelah ketuk palu aku bakal bawa ibu. Kamu jangan lagi bujuk-bujuk ibu atau aku bilang ke keluargamu kalau kamu sama Naila sudah menikah," ancamku.

Dada Abiazard terlihat naik turun. Tangannya menggegam sendok lebih erat. Tampak sedang panik, tapi menahan ekspresi wajah untuk tetap tenang.

Berita perceraian kami sudah tersebar. Sejak Abizard duduk di depanku saja cukup banyak mata melihat. Seterkenal itu kisah cinta kami di kantor. Naila beruntung belum banyak yang tahu kalau dialah orang ketiganya. Kalau iya, bisa-bisa mendapat tekanan sosial lalu kena mental.

"Tenang, Sayang."

"Kalau ngomong itu dijaga. Jangan sok baik!" Kubawa saja piring yang masih berisi kurang lebih tiga sendok nasi. Abizard mirip banget lelaki hidung belang yang menggoda setiap wanita. Memang dia bukan Abizard yang aku cintai dulu. Sikapnya berubah.

"Biya, aku kangen."

Kulihat Naila berjalan cepat ke arah kami. "Istrimu sedang menuju ke sini. Kamu mau bikin kegaduhan? Mau bikin malu?"

Sabiya, tahan. Ingat kaya Bunda Raka kalau Surga itu mahal. Jadi, harus berjuang menahan amarah. Sifat sabar milik penghuni Surga.

"Besok sidang akhir perceraian ini. Tolong kamu jangan persulit. Aku udah capek banget. Kalau emang uangku yang kamu bawa mau kamu ambil, silakan. Itu nunjukin bukan aku yang serakah, tapi kamu. Kamu yang udah buat hubungan kita jadi kayak gini. Aku melepasmu agar kamu bahagia dengan Naila. Kita udah masing-masing, Abizard."

Begitu Naila tiba dengan mata sinisnya, aku sudah melangkah pergi.

"Ngapain nyamperin dia?" selidik Naila pada Abizard. Setelah itu aku tidak dengan lagi obrolan mereka. Ralat, mungkin lebih tepat dinamakan adu mulut. Kasihan baru menikah sudah berantem terus.

"Sabiya bawa piring-piring ini ke atas ya!" pinta ketua devisi. Baru juga amarahku reda, sudah dibikin kesal.

"Bu, kan ada tenaga dapur laki-laki."

Aku bukan malas. Kondisiku kan sedang hamil. Berat piring-piring itu kurang lebih dua puluh kilo. Meski naik lift membawanya ke lantai dua puluh bukanlah pekerjaan ringan.

"Jangan manja!" serunya. Dia tidak membawa apapun pergi entah ke mana.

Sejak rumor aku masuk kerja dengan cara nyogok banyak orang di devisi yang tidak menyukaiku. Padahal aku tidak pernah mengemis atau pun melakukan cara lain. Memang Raka yang merekomendasikan, tapi predikat karyawan baru devisi dapur terbaik itu kudapatkan murni usaha. Dari belajar tentang gizi makanan, latihan memasak resep baru, sampai mendaftar manu selama satu bulan juga kulakukan sendiri.

Lagipula sebulan ini aku jarang bertemu Raka. Kalaupun membahas bisnis busana muslim aku dan Yasmin menyampaikan melalui asistennya.

"Nak, kuat ya. Daripada dia marah-marah dan laporin bunda kerja gak bener," batinku sambil mengusap perut.

"Sabiya," panggil seseorang.

Panjang umur juga si Raka. "Pak Raka."

"Kamu mau angkat piring itu?"

"Iya."

"Kan itu bukan job kamu."

"Kelamaan nunggu karyawan cowok."

Saat lift terbuka Raka melarangku masuk. "Telfon aja dulu. Saya duluan ya ada rapat." Dia pun berlalu.

Aku mengganguk. Sialnya aku tidak membawa ponsel. "Udahlah. Daripada kelamaan." Kuangkat piring itu. Mana tida ada troli di sini.

"Sini biar aku yang angkat." Abizard mengambil alih. Entah ke mana Naila.

"Gak usah!"

Dia tidak mendengar. Lift sebentar lagi tertutup, kalau menunggu giliran selanjutnya bisa tiga sampai sepuluh menit. Aku pun mengikuti Abizard. Di dalam lift hanya ada kami berdua.

Matanya mengamatiku dari atas sampai bawah. "Sabiya kamu gendutan. Perut kamu juga kelihatan buncit. Apa kamu hamil?"

Harus aku jawab apa pertanyaannya? Aku binggung harus beralasan seperti apa. Alibi kuat yang tidak membuatnya curiga.

***

The strong geng sebelum keluar/ lanjut ke part selanjutnya nonton video ini dulu ya.

[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]

Diaku Imamku sudah tayang di Genflix. Ada yang udah baca novelnya?

Seperti biasa 3800 vote, 1000'komen baru lanjut. Semangat #dukungsabiyasampaisukses .

Kalau Sabiya bikin series seru kali ya?

Mel~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top