Bab 24 - Sabiya, Abizard, dan Penyelesaian

Berusaha ikhlas melepas dia yang memang tak pernah jadi milikku itu berat.
-Alvi-
~Sabiya (Luka yang Kau Torehkan)
Karya Mellyana Dhian

***

"Ini rumah siapa?"

"Rumah kita."

"Serius, Dewaku?"

"Iya."

Bau cat masih tercium. Setiap tapak kaki serta suara orang bicara pun menggema. Belum banyak prabot rumah tangga yang ada di sini. Rumah berlantai dua yang kami seharusnya milikku dan Sabiya. Tembok-tembok yang masih kosong rencananya diisi foto pernikahan kami. Huft... sudahlah. Untuk apa merenungi orang yang keras kepala seperti dia. Aku sudah berjuang, tapi Sabiya selalu menghindar. Sekuat-kuatnya aku, aku tidak lagi bersabar atas kelakuan durhakanya.

"Kamu udah siapin rumah bagus ini buat aku?" Naila masih tidak percaya. Matanya berbinar dengan bibir tersenyum lebar.

"Iya, Nai," jawabku sekenanya. "Aku capek mau tidur dulu."

Dia meraih tanganku. "Tidur di mana? Kok malah mau keluar?"

"Di rumah."

"Ya ini kan rumah kita. Emang mau di rumah yang mana?"

"Aku belum bisa menginap di sini."

"Kenapa?" Aku kira Naila menepati janjinya untuk tidak egois. Ternyata sama saja. Dia tidak ingin ditinggalkan dan malah seperti mengintrogasi.

"Kamu kan tau aku suaminya Sabiya."

"Suamiku juga, kan?"

"Kamu lupa sama janjimu? Kamu ikhlas dijadikan istri kedua. Sekarang aku harus pulang."

"Gak bisa gitu dong Dewaku. Ini malam pertama kita." Bibirnya mengerucut.

"Aku lagi gak butuh kayak gitu. Aku juga lagi capek buat debat."

Naila tidak menyerah. Tubuhnya malah bergelantungan di lengan. "Nai, please understand me. Besok sidang mediasi pertamaku sama Sabiya. Bakal jadi hari yang berat." Lagi-lagi kesedihanku kabuh memikirkan perceraian.

"Kamu masih ngarepin dia? Jangan-jangan kamu masih cinta sama dia?"

"Jelas dong dia kan masih istriku. Gimana pun she's the best part of my live."

Dia melepas tanganku kasar. "Yaudah sana!"

Kecium puncak kepalanya. "Thanks ya. You're beautiful. I love you to the bone." Adegan pertemuan kami berakhir dengan pelukan erat. "Kamu ingat apa nasihatku?"

Tanpa berpikir panjang Naila langsung menjawab, "Gak boleh punya toxic relationship kayak Sabiya. Biar kita tidak berakhir sama." Daya ingatnya memang lebih tajam daripada Sabiya. Dia itu pikun! Lupa siapa yang mengangkat derajatnya!

Kucubit hidung Naila. "Bener banget. Pinter istri aku."

***

"Ini aku lagi di lift. Besok jemput pagi aja ya," kataku pada Yasmin dari seberang telepon.

Besok Yasmin akan menemaniku sidang pertama perceraian.

"Fix. Pokoknya gue bakal dukung lo ngelawan Abizard yang tampilannya roh suci isinya roh halus itu." Yasmin memang orang paling semangat yang ingin membuat Abizard menyesal telah menduakanku.

"Iya," jawabku seadanya. Bukan aku tidak menghargai ibu satu anak dandanan gadis itu, tapi kepalaku mendadak pusing. Bawaannya mau muntah. Anakku jangan nakalin Bunda ya. Bunda sendirian sama kamu aja nih. Jadi kamu harus pinter ngertiin Bunda.

"See you tomorrow. Bye!" salam Yasmin.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Ketika pintu lift terbuka aku melihat Alvi berdiri tepat di hadapan. Kupasang senyum singkat sebelum berjalan cepat menuju apartemen.

"Sab, kamu pucet banget loh. Sakit?"

"Enggak kok." Jelas aku bohong. Orang yang bukan dokter pun tahu aku sedang tidak sehat. Apalagi Alvi yang berlatar belakang dari dunia kesehatan.

Alvi hendak menyentuh lenganku, tapi aku lepaskan segera. Dia tak menyerah, tubuhnya kini berdiri di depanku. Begitu lancang menarik lengan lalu mendudukkanku di kursi lorong apartemen. "Saya harus cek kondisi kamu."

Aku sudah terlalu lemas untuk melawan.

"Ini denyut jantung kamu aja gak normal. Demamnya juga tinggi banget." Alvi mengeluarkan tensi. "Ada gak keluargamu yang bisa kamu hubungi?"

"Gak ada."

Selesai memeriksa Alvi menelepon seseorang. "Hallo Mbak. Saya agak telat jemput Cilla. Tolong jagain dulu ya atau diajak ke rumah Mbak juga gapapa. Nanti saya jemput di sana."

"Baik, Mbak. Makasih banyak ya."

Alvi kini melihatku ibu. Aku berusaha berdiri sendiri. Ingin segera tiduran, karena kini dunia seperti berputar.

"Saya bantu." Alvi merangkulku. Sebenarnya aku risih, tapi keadaan memang mendesak.

Setelah berbaring, Alvi pergi dari apartemen kemudian kembali membawa infus. Dia terlihat mondar mandir dan khawatir. Aneh, keadaan pasien seperti ini bukan kah makanan sehari-harinya? Kenapa dia sangat panik?

Selesai memasang infus, dia menyetel AC agar sirkulasi udara tetap berjalan. "Keluargamu memangnya tidak ada yang di Jakarta?" tanyanya lagi. Mungkin heran kok ada orang hidup sebatang kara.

"Udah sana jemput Cilla. Saya baik-baik saja."

"Enggak. Kamu drop banget loh. Kamu butuh teman."

Alvi mengambilkan ponselku. Dia dekatkan dengan tangan. "Ini ponselmu kalau ada apa-apa bisa telepon saya. Saya mau ke apotek beli obat. Kebetulan banget gak ada stok obat di rumah. Mau ke klinik juga terlalu jauh." Tangannya menunjukkan kertas berisi resep yang dia tulis beberapa menit lalu.

"Alvi."

"Ya?" Alisnya naik satu, senyum manisnya terpasang.

"Thanks ya. Dan, sebenernya saya sudah punya suami." Tujuanku mengatakan itu memang agar dia memberi jarak.

Alvi melongo.

***

Apakah Alvi akan menyerah?

Guys mau tanya jawab ya. Kalian lebih suka mana?

1. Diterget komen dan like jadi updatenya bisa lebih cepet

2. Tidak ditarget. Update sesuai mood author 😂

Kewajiban manusia adalah beribadah

Mel~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top