Bab 21 - Sabiya dan Bimbang
Dunia ini terbatas. Seberapa banyak keringat untuk mengejarnya, ujungnya hanyalan kain kafan pembungkus dan liang kubur yang ditutupi gundukan tanah serta papan nisan.
~Sabiya (Luka Yang Kau Torehkan)~
Karya Mellyana Dhian
Follow instagram @sabiya_lykt dan @mellyana.i
***
Saat aku membuka pintu apartemen Alvi sedang berjalan menuju lift. Kenapa sih harus ketemu? Padahal aku sengaja berangkat sebelum matahari terbit agar tak berpapasan dengannya. Aku tahu semalam Alvi hanya menawarkan tinggal melihat kondisiku yang belum tenang, tapi tetap saja pengakuannya mengenai nyaman dekat denganku membuatku ilfeel. Kita baru kemarin saling kenal, masak iya semudah itu merasa nyaman. Ralat, bukan kenal. Kita hanya tahu nama satu sama lain. Kalau kenal itu tahu lebih dalam.
Mustahil dia nyaman denganku. Kecuali dia kucing. Ya, kucing jantan yang mudah merayu dan menghamili kucing betina lalu meninggalkannya begitu saja. Entahlah memang sejak dulu aku bukan tipe cewek yang langsung lumer ketika disanjung apalagi digombali. Sesudah menikah saja aku sering memberikan cubitan kalau Abizard menggombal. Huft ... kenapa coba dia harus selingkuh. Andai aja dia setia, pasti kami sedang berbahagia.
"Kakinya udah baikan?" Alvi melihat ke bawah.
"Lumayan."
"Nanti datang ke rumah sakit biar di rontgen. Kalau dibiarkan bisa bahaya, Sab."
"Hehehe iya." Iyain aja deh buat menghargai orang lain. Sengaja aku tidak berbasa-basi lagi. Tidak menanyakan Cilla yang masih tidur digendongannya atau hal lainnya. Aku tidak ingin tahu tentang ke mana ibu Cilla, mengapa Alvi pergi sepagi ini, dan lainnya.
Dia memberikan kartu nama. "Saya punya kenalan dokter tulang. Antrean kliniknya bisa panjang banget. Kalau kamu tunjukin kartu nama itu, kamu bisa lebih cepat dapat pengobatan."
Kurasa gaya bicara Alvi sekarang lebih santai. Justru membuatku tak nyaman. "Saya tidak suka pakai jalur belakang," jawabku supaya dia sadar kalau aku tak memberi ruang kita saling akrab. Lagipula kakiku udah gak sakit-sakit amat.
Alvi terkekeh. "Bukan gitu."
Pintu lift terbuka, aku segera masuk. Kami tidak bicara lagi, sebab banyak penghuni yang menaiki lift ini. Sampai di lantai dasar pun, aku berjalan lebih cepat. Malas mengobrol lagi.
Hari ini aku ada acara di komunitas Annisa. Komunitas yang Kak Agnes kenalkan denganku. Katanya kalau ingin istiqomah, maka lingkup pertemanan pun harus setujuan. Kuberanikan saja bergabung dengan komunitas ini. Selama ini aku hanya fokus mengurus ibu dan Abizard, oleh karenanya hidupku tampak kosong ketika pisah rumah.
Beruntung sekali saat tiba di halte, busway hampir berhenti. Buru-buru aku menempelkan kartu ke mesin kemudian berlari berdesakan dengan penumpang lain.
Sambil berusaha menyeimbangkan diri kulihat pesan masuk di ponselku. Ada dari Yasmin, Raka, Abizard, Kak Agnes, Ibu, dan Alvi.
Ibu
Nak, kapan pulang? Rumah ini sepi tanpa kamu. Semua orang rumah murung mengharap kamu berubah pikiran. Ibu juga gak setuju. Km jngm nekad
Ibu, maafkan aku. Sempat terbesit ingin mampir, tapi rasanya berat bertemu Abizard setelah kejadian semalam. Takut kalau dia nekat lagi. Semalam saja aku tidak bisa tidur. Was-was Abizard melakukan hal gila. Meski aku tahu kalau di rumah dia tidak akan berani macam-macam.
Sabiya
Maaf ibu sabiya blm bisa pulang. Kalau ibu sdh siap pindah. Ntar sabiya jemput
Raka
Mbak Sabiya apa proposalnya udh bisa dikirim email?
Astagfirullah. Aku hanya bisa meringis. Aku masih latihan menyejajarkan paragraf. Membuat daftar isi saja aku belum bisa loh. Apalagi proposal yang harus dikerjakan dengan akal pikiran. Mana sampai ilmuku.
Yasmin
Nanti ketemu ya. Raka minta kamu bawa proposal
Sabiya
Belum apa-apa proposalnya. Aku ada janji sama pengacara hari ini. Maaf ya gak bisa datang.
Yasmin
Oke klo gitu.. ntar gue sampein ke calon penggantinya abizard
Aku geleng-geleng. Kalau Yasmin di sebelahku sudah pasti akan kucubit. Merebut milik orang lain sama dengan mencuri. Iya sih Raka memang baik akhlaknya, berpandangan luas, pengetahuannya juga oke. Apalagi kalau memotivasi orang, jago banget. "Ish, mikir apa sih aku!" seruku pada diri sendiri.
Yasmin
Calonnya Raka tu malah S2 di Amerika tauk, Bi. Jadi mereka LDR. Kesempatan buat kamu pepet.
Sabiya
Yasmin gak lucu banget!
Sementara pesan dari Abizard dan Alvi hanya aku baca.
Abizard
Maaf sayang buat kejadian tadi malam. Aku gak ada maksud nyakitin kamu. I love you. Nanti malam kita makan diluar y. Aku gak lembur. Kerjaan lagi berantakan banget. Bae butuh Bia.
Dulu setiap Abizard mengeluh pekerjaan, kami akan makan di kafe Paradise. Menghabiskan waktu bersama sekadar ngobrol atau menyewa tempat khusus suami-istri. Menikmati makanan sambil rebahan di sofa, berpelukan, dan sesekali tertawa. Dengan melakukan hal itu Abizard akan semangat lagi bekerja esok harinya. Itu menjadi hiburan juga bagiku. Melihat dia semangat menjalani hari, membuatku merasa berhasil membuatnya bahagia. Kini kenangan itu tak akan terulang.
Tidak ada Abizard yang ada hanya untukku. Tidak ada Sabiya yang ada hanya untuk Abizard. "Tidak ada kita, hanya ada aku dan kamu, Abizard," batinku sambil menelan ludah susah payah. Huft ...
Alvi
Jangan lupa priksa, Sab. Atau rajin-rajin kompers pake air dingin 🙂 sya ada operasi sampai mlm jadi gak bisa bantu cek kondosimu
Mana saya peduli. Bukan urusan saya Alvi!
***
"Jujur aku gak tahu harus mulai darimana buat hijrah," kataku saat diberi kesempatan bicara.
Komunitas kami ada ratusan peserta, lalu dibagi beberapa kelompok mentoring. Aku meminta ke pengurus untuk dipisah dengan Kak Agnes. Gak nyaman aja kalau jadi satu. Namun untuk pertemuan pertama Kak Agnes masih menemani.
Mentorku bernama Anggun berkata, "Dari salat, Teh." Dia adalah anak kyai salah satu pondok pesantren di Jawa Barat. Pantas meski usianya 23 tahun, selisih lebih tua 2 tahun dariku, tapi pengetahuannya tentang ilmu agama tidak perlu ditanyakan.
"Kalau salat kita terjaga. Insyaallah kebaikan lainnya akan mengikuti. Salat dapat menghindarkan diri dari kemungkaran," lanjut Teh Anggun.
"Ada di sulat Al-gabut ya, Teh?" tanya Febby yang memakai pakaian serba pink berbros hello kitty.
Semua tertawa. Walau aku gak hapal semua surat dalam Al-quran, gak mungkin ada surat gabut. Si Febby ngarang banget.
"Al-ankabut kali, Feb. Gue tahu lo suka nonton Drakor, tapi gak usah ngarang juga," ralat Lathifah.
"Ih apa hubungannya sama drama Kolea," protes Febby tidak rela hobinya diungkit-ungkit.
"Al-Ankabut ayat 45," lengkap Teh Anggun.
Febby menggaruk kepala. "Febby teh lelet. Gak pintel kalau suluh hapalan nama-nama sulat."
Aku mau menanyakan hal lain lagi, tapi canggung. Jadi aku hanya menyimak perbincangan mereka. Dalam satu kelompok ada empat orang. Aku, Teh Anggun, Febby, dan Lathifah. Kak Agnes menjadi tamu di kelompok kami hari ini.
"Lathifah masih sering males Teh kalau solat. Jujur aja Teh gue udah absen gak salat tahajut sebulan ini."
Teh Anggun memang seperti namanya. Dia lembut sekali saat berbicara, penuh kehati-hatian. Tidak langsung memvonis kesalahan anak-anak yang dia asuh di kelompok bernama Fatimah Az-Zahra ini. Memang aku baru kenal, tapi tiga puluh satu menit mengobrol dengan mereka saja sudah membuatku cukup menerka bagaimana masing-masaing karakter dari kami.
"Kalau salat malas, puasa males, pokoknya ibadah males berarti akibat dari dosa. Jadi, sering-sering aja istighfar. Lathifah kan suka olah raga, sambil lari dalam hati istighfar. Febby suka nonton drama, sambil istigfar."
"Iya sih aku kalau lihat adegan yang bikin esmosi sukanya malah-malah. Besok ganti istghfal aja ya, Teh."
"Emosi kali ah," ralat Kak Agnes.
"Iya itu emosi makaudnya." Tawa Febby kemudian diikuti yang lain. Sepertinya memang Febby ini pencair suasana.
Kami membaca surat Al-Waqiah bersama, lalu Teh Anggun mengakhiri dengan kalimat yang cukup menyentuhku. "Sekaras-kerasnya kita mengejar dunia, secapek-capeknya kita mengejar dunia. Ujungnya kematian. Saya bersyukur ada anggota baru. Teh Sabiya, jangan canggung. Di sini kita sama-sama belajar, sama-sama bodoh. Kita ada di sini berarti kita merasa bodoh. Butuh belajar dan dukungan dari lingkungan yang memiliki tujuan akhir Surga. Kalau saya merasa pintar, gak mungkin ada di sini. Orang yang enggan menambah ilmu adalah mereka yang merasa ilmunya cukup. Padahal ilmu Islam itu dalam dan luas. Banyak yang harus dipelajari,"
"Sekian dari saya. Semoga kita diberikan ilmu yang bermanfaat. Ilmu bermanfaat yang saya maksud, yakni ilmu yang dapat kita bagikan lagi kepada orang lain dan bisa kita gunakan. Kita punya ilmu tentang sedekah, lalu kita praktikkan, itulah ciri-ciri ilmu bermanfaat. Bukan ilmu yang digunakan hanya untuk menguliti, berdebat, apalagi merasa lebih pintar dari yang lain. Semoga Allah melindungi dari penyakit hati semacam itu."
Keluar dari ruangan milik organisasi Annisa aku merasa energiku terisi. Dasyat sekali lingkungan ini. Ok, sekarang saatnya bertemu pengacara.
"Kamu mau ke mana, Bia?" tanya Kak Agnes sebelum masuk mobil. "Gak bareng aku aja?"
"Kak Agnes lupa kalau aku gak pulang ke rumah."
"Oh iya. Ya siapa tahu kamu mau ketemu Budhe." Yang dimaksud Budhe adalah ibuku.
"Sabiya ada janji, Kak. Kalau gak kemalaman ntar mampir."
"Ok deh."
Pesan dari pengacaraku masuk. Dia menunjukkan lokasi yang tidak jauh dari gedung milik Annisa. Hanya butuh waktu dua belas menit aku sampai di firma hukum cabang.
"Karena hari ini ada berkas yang belum lengkap, jadi sidang pertamanya gagal. Diubah lusa. Kalau ibu tidak mau berdamai dengan suami, sudah pasti kita akan berjuang. Sebab pihak mereka menolak perceraian ini."
"Semalam Abizard menganiaya saya."
"Itu bisa jadi bukti. Ada kamera CCTV?"
"Sepertinya ada. Saya juga tidak yakin."
"Ibu bisa minta rekamannya dan serahkan kepada saya."
"Baik."
"Dan jujur saja, Bu. Perceraian ini membutuhkan biaya yang banyak. Ribet sekali apalagi ibu meminta hak milik ibu yang diminta bapak Abizard. Urusan harta, anak, dan salah satu pihak menolak adalah hal yang sulit dalam perceraian."
"Saya gak punya anak kok sama dia." Ya, semoga saja aku tidak hamil.
"Yakin ya Bu? Ibu sedang tidak dalam kondisi hamil."
Pertanyaan ini tidak langsung kujawab.
"Bu?"
"Iya Insyaallah gak hamil. Saya cuma setres aja jadi gak lancar datang bulan," karangku. "Oh ya, dari kasus yang sudah-sudah kasus perceraian seperti ini membutuhkan dana berapa?"
"Kurang lebih bisa puluhan."
"Lima puluh juta?"
"Bisa lebih."
Mulutku menganga. Tabunganku mana cukup buat usaha dan mengurus perceraian kalau begini. Apa aku harus pasrah saja? Memilih bersabar dengan keadaan? Ya Allah ...
***
Dilema banget kalau jadi Sabiya.
Gimana nih guys? Cerai apa enggak?
Kalau iya. Mau donasi berapa kalian 😂
Aku nulis panjang loh. Bisa lah ya tembus dua ribu komentar lagi. Kalau bingung minimal komen #TheStrongGeng #DukungSabiyaSampaiSukses
Mel~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top