Bab 20 - Sabiya, Abizard, dan Bahaya
Kesepian bukan kekejaman Allah. Kesepian bisa jadi teguran, bahwa ada Allah yang selalu ada. Namun kau malah menganggapnya tiada.
~Sabiya~
Karya Mellyana Dhian
Info tentang Sabiya follow instagram @mellyana.i dan @sabiya_lyky
***
"Oh ternyata begini kelakuanmu! Kamu gak mau kasih alamat ke suami. Ternyata tinggal sama lelaki lain."
Aku memijat kening. Apasih Abizard? Ini udah jam satu dini hari. Ngapain coba malah drama? "Kalau gak tahu apa-apa. Gak usah komen."
Dia menatap Cilla sambil menyelidik seisi ruangan. Seperti mencari seseorang. "Selingkuhan Sabiya. Keluar kamu!"
Kutarik tangannya agar dia tak berkeliling lagi. "Keluar! Nanti kamu bangunin dia."
"Dia siapa?" Abizard bertanya dengan nada tinggi. Wajahnya memerah sampai otot-otot terlihat di leher. Kebenciannya pada Cilla sangat terlihat. Dia pasti menganggap itu anak selingkuhanku.
"Itu anak tetangga. Dititipin sama aku." Daripada lama-lama, lebih baik langsung kujawab saja. Meskipun aku pesimis dia akan percaya.
"Bohong!"
"Terserah kamu bilang aku bohong atau gak. Kamu bisa bangunin dia. Pergi gak? Atau aku panggil satpam?" Aku mulai kesal.
"Kamu ninggalin aku demi ayah bayi itu? Dan rela tinggal di apartemen yang mirip kos-kosan kamu dulu? Dipelet kamu sama dia? Apartemen kayak kandang ayam gini." Masih saja Abizard menuduhku selingkuh. Semoga saja Alvi tidak datang. Nanti bisa-bisa semuanya makin rumit. "Gayanya aja sok polos. Ternyata kamu sama-sama selingkuh. Buktinya udah jelas. Gak usah menyanggah!"
"Kamu tu daripada ngomong gak jelas, mending pulang. Capek aku. Mau istirahat. Ingat juga besok sidang pertama kita." Kubukakan pintu untuknya lebar-lebar.
Mata Abizard berkaca-kaca. Bukan ingin menangis, karena saking marahnya kepadaku. Aku mau marah, tapi terlalu lelah. "SABIYA KAMU ITU SELINGKUHIN AKU. BISA-BISANYA KAMU PASANG WAJAH TANPA DOSA! KAMU UDAH KHIANATIN SUAMIMU! KAMU PANTES MASUK NERAKA."
Kukatakan padanya penuh penekanan. Agar artikulasi terdengar jelas. "A-ku gak per-nah se-ling-kuh! Ingat itu!"
"Bohong!"
"Aku gak ngerti gimana kasih tau kamu. Gimana pun, gak akan kamu percaya. Selama ini cuma kamu yang aku say—" Mau melanjutkan kata 'sayang' saja rasanya kelu. Gak sudi. Udah terlanjut benci. "Tapi kamu yang berkhianat. Aku selalu setia. Berusaha berpikir positif saat ada yang mencurigakan dari sikapmu. Bahkan saat aku tahu kamu selingkuh, masih ada kesempatan kedua. Mau gimana lagi ... penyakit gak setiamu itu gak sembuh-sembuh. Pokoknya kita udah gak bisa bareng, Abizard."
Abizard membuang muka lalu menanyakan pertanyaan yang tidak terduga. "Kamu hamil? Sama siapa? Sama aku apa sama selingkuhanmu?"
Aku cukup terkejut. Berimbas jawaban gugup yang keluar dari mulutku. Pasti Abizard curiga aku menyumbunyikan sesuatu darinya. "En-enggak." Terlebih aku gak nyangka dia bisa mengira aku zina dengan lelaki lain.
Kaki Abizard melangkah ke kamar mandi, membuka beberapa laci, dan almari.
"Ini tempatku. Kamu jangan asal geledah!"
Tangaku menarik tangan Abizard, tapi percuma. Dia sudah menemukan test peck. Alat itu sudah terbuka, tapi belum aku pakai. Sehingga terkesan aku sudah tes kehamilan dan hasilnya bukan garis dua.
"Jangan ngarep aku hamil anakmu!" Kebencian ini sudah mendarah daging. Muak dengan janji-janjinya dulu yang hanya sampai di mulut.
Abizard membanting benda kecil itu. "Aku rela ninggalin Naila demi kamu. Tapi apa balasan kamu?" Tawanya menggelegar. Bulu kudukku langsung merinding. Dia seperti kesetanan. Yang paling aku takutkan dia macam-macam dengan Cilla. Aku pun berlari memeluk Cilla yang terbangun.
Gigi Abizard menyeringai. Dia seperti psikopat di film-film yang pernah aku lihat. Dengan tubuh gemetaran, aku terseok-seok mengendong Cilla sambil berjalan ke pintu. Sayang, aku kalah cepat. Abizard lebih dulu memblokade jalan. Baru kali ini aku melihat sikapnya yang begitu aneh seperti kesurupan.
Cilla menangis. "Diam, Sayang. Gak papa. Cilla aman sama tante."
Siapa pun aku harap datang membantu. "Tolong!!!" teriakku.
Abizard semakin mendekat. Tangannya dengan cepat melepas jilbabku. "Kalau kamu gak hamil. Akan aku buat hamil. Kamu! Gak akan bisa ninggalin aku!"
Apa maksud dia? Kakiku semakin bergetar. Takut luar biasa. Tangis Cilla semakin keras, membuat Abizard naik pitam. "DIAM BOCAH!" Matanya melotot ke arah Cilla. Langsung kututup mata bocah kecil itu.
"Cilla," teriakku. Dengan cepat Abizard merebut anak Alvi. "Apa yang mau kamu lakuin Abizard! Kamu gila ya? Dia coba bocah polos yang gak tahu apa-apa! Jangan sakitin dia!"
Aku menangis. Tidak tega melihat Cilla yang didudukkan di lantai begitu saja oleh Abizard. Aku ingin menuju ke arah Cilla, tapi kalah dengan tenaganya yang sudah mendorongku ke ranjang. "ABIZARD!"
Dia semakin tidak sopan. Ya, aku tahu dia masih suamiku, tapi dia tidak berhak melakukan hubungan suami istri secara kasar. Dia seperti tidak punya akal sehat lagi. Sebelum dia semakin lancang, kupukul kepalanya dengan tas.
Kuambil telepon. Mencari siapapun kontak yang mudah kuhubungi. Nama pertama ada Alvi. Saat telepon tehubung, Abizard menarik kasar, kemudian melempar ke tembok hingga ponselku tinggal berkeping-keping.
"TOLONG! TOLONG!" Ya Allah, ke mana orang yang tinggal di unit sebelah. Mengapa tidak ada satu pun yang menolongku.
Air mata membasahi pipi. Hati ini seperti ditusuk paku ribuan kali. Sakit banget melihat lelaki yang dulu selalu menjadi barisan pertama untuk melindungiku, kini malah ingin mencelakakan. Kalau dia tidak ingin berpisah, karena sayang, bukankah seharusnya dia juga tidak menduakan? Aku tahu dia berat melepaskan. Sebenarnya juga sama. Kenangan kami tidak mudah dilupakan begitu saja. Namun bagaimana lagi. Hati ini terlampau sakit.
Aku melihat Cilla yang menangis semakin keras. Dia berjalan pelan menuju pintu. Bagaimana kalau Cilla terguling di tangga atau lainnya? "Cilla jangan pergi. Cilla!" teriakku. Akibat Cilla kekuatanku seperti berlipat. Kupukul Abizard dengan tas lagi sampai dia kesakitan. Lalu aku cepat-cepat memakai baju. Berlari ke arah Cilla.
Kugendong Cilla dengan tangan bergetar hebat. Menekan lift berkali-kali yang tak kunjung terbuka. Akhirnya aku berlari melewati tangga. Saking paniknya aku tidak mengenakan jilbabku. Kaki terasa ngilu akibat berkali-kali terkilir. Tidak mudah menuruni anak tangga dengan ketakutan begini.
"Sabiya, mau ke mana? Sini sayang sama aku aja. Jangan mencoba kabur." Suara mengerikan itu menggema. Aku takut banget. Dia semakin tidak waras.
Napasku berhembus lega melihat pegawai apartemen muncul dari bawah. Aku melihat ke atas, Abizard sudah menghilang. "Cilla Sayang, kita udah aman."
Aku duduk di sofa. Cilla diam setelah kuajak melihat ikan di aquarium. "Nih, Cilla ada ikan buaya. Lihat deh ikan yang warna merah berteman sama yang kuning."
Di lobbi hanya ada satu petugas yang berjaga dan satu security yang sedang mengamati kami. Kelakuan Abizard sudah ditindak oleh pihak keamanan lain. Cilla sempat meminta susu, tapi aku terlalu takut untuk kembali ke kamar.
Tidak lama Alvi datang. Dia awalnya tidak sadar dengan keberadaan kami. Namun kepalanya yang semula menunduk langsung menoleh mendengar suara Cilla. "Itan.. itan buaya tatte."
"Cilla, Sabiya. Kenapa kalian di sini?" Alvi memandang kami khawatir. Jujur tubuhku masih lemas. Jatungku saja masih berdegup tidak karuhan. Ngeri kalau Abizard nekat.
Aku nyengir kuda. "Tadi ada kecelakaan sedikit. Maaf juga gara-gara itu Cilla nangis kejer."
Cilla langsung meminta digendong papanya. Bibir Alvi menciumi Cilla. Dokter itu mengusap puncak kepala anaknya penuh kasih. Cilla sangat beruntung memiliki papa seperti Alvi yang sangat mencintainya. "Kecelakaan? Kecelakaan apa?"
"Tadi ada orang asing yang masuk kamar Bu Sabiya. Dan ingin mencelakainya," kata petugas apartement.
"Gimana bisa hal ini terjadi. Gimana keamanan apartement?" protes Alvi agak marah.
"Maafkan kami Pak."
"Terus sekarang di mana pelakunya?"
"Sudah pergi, tapi kami sudah melaporkan nomor kendaraannya."
"Jangan sampai hal ini terjadi lagi ya! Kalau sampai kejadian lagi. Saya gak segan laporin kalian ke manager."
Kedua petugas itu ketakutan. "Maaf, Pak. Tolong jangan laporkan hal ini."
Sengaja aku tidak menceritakan siapa Abizard. Malu memberitahu banyak orang tentang rumah tanggaku yang kacau.
Alvi mengusap bahuku. "Kakimu luka."
Aku baru sadar kalau tidak memakai sandal. Jariku juga lecet-lecet. "Cilla kamu ikut tante Sabiya dulu."
"Duduk dulu, Sab," perintahnya. Baru kali ini ada orang memanggilku Sab. Biasanya kalau gak Bi, ya Biya.
"Ini ligamennya cedera." Dia memegang kaki kananku. "Lukanya saya bersihkan dulu."
Cilla duduk di pangkuanku. Tampaknya dia mulai kantuk. Aku merasa canggung saat Alvi membersihkan luka. Sesekali mengernyit saking perihnya.
"Ini perlu di PRICE. Kamu masih bisa jalan gak?"
"Bisa kok."
Alvi mengambil sarung dari tas kulit. Dia juga memasukkan peralatan kesehatan kembali. Kain batik khas Bali yang tipis itu ia kibaskan, memakaikannya ke kepala. "Kamu lupa pakai jilbab?"
"Astagfirullah. Tadi saya lupa terlalu panik. Terima kasih."
"Ayo kita naik," ajaknya. Saat Cilla hendak dia gendong, bocah itu menolak.
"Kamu udah mulai nyaman ya sama Tente?" Lalu Alvi menatapku. "Waduh gimana nih Sabiya, Cillanya gak mau lepas sama kamu."
"Gapapa kok. Biar saya gendong."
"Cilla gak boleh nakal. Kamu gak kasian apa tante lagi sakit kakinya." Alvi tetap memaksa Cilla untuk ikut dengannya.
"Cakit?" tanya Cilla.
Alvi tersenyum hingga tampak dua lesung pipi kanan dan kiri. "Iya, Sayang. Jadi, Cilla ikut papa aja."
Saat kami berjalan, aku mendengar Alvi yang berjalan di belakangku tengah berbicara samar kepada sang anak. "Cilla mulai nyaman ya sama Tante? Sama papa juga."
Ok. Lebih baik aku pura-pura tidak dengar.
Aku lebih banyak berpikir tentang kejadian malam ini. Sikap Abizard membuatku cukup trauma. Namun aku tidak tahu harus kepada siapa mencurahkan ini. Ibu sampai saat ini berdiri di pihak Abizard. Mama juga tidak pernah menghubungiku. Yasmin teman yang paling pengertian masih berkabung atas kepergian ibunya. Raka juga bukan siapa-siapaku. Apalagi Alvi.
Tiba-tiba sisi lain dalam diriku bicara. Oh ya, mungkin selama ini aku dikeliling orang yang selalu ada dan menyanyangiku. Kemudian setelah keluargaku berantakan semua pergi begitu saja. Mungkin selama ini aku tidak jadikan Allah sandaran utama. Kesepian yang aku alami adalah wujud teguran. Dulu aku menjadikan Allah nomor ke sekian. Kasarnya, Allah selalu ada, tapi aku menganggap-Nya tiada.
"Sab, kita udah sampai."
Aku tersadar dari lamunan. Dengan cepat keluar dari lift.
"Sab, mau menginap di rumahku dulu?" tanya Alvi yang membuatku tercegang.
***
Hiyaak... ada gak yang senyum-senyum?
⚠️ ⚠️ ⚠️
MOHON DICEK DI PROLOG SAMPAI BAB 20. Apabila ada yang belum tekan bintang/vote. Jika belum, mohon boom vote. #DukungSabiyaSampaiSukses
Udah sampai Bab 20. Gimana pengalamannya baca cerita Sabiya?
Apa cuma aku yang seneng kalau ada adegan Alvi sama Sabiya? 🥰🥰🥰
Apakah ada kapal Sabiya-Alvi di sini?
Atau Sabiya-Raka?
Hmm, atau ada sisa kapal Sabiya-Abizard?
Mel~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top