Bab 19 - Sabiya, Cilla, dan Malam

Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.

[QS Thoha 25-28]

~Sabiya~
Karya Mellyana Dhian

@mellyana.i & @sabiya_lykt

***

Sabiya kenapa kamu pergi?

Ya Allah, cobaan apa ini. Istri yang aku sayangi memilih cerai. Gimana bisa dia melupakan janji tua bersama? Dia sudah ingkar.

"Oke. Kalau itu pilihanmu. Aku yakin suata saat kamu akan menyesal. Itu pasti!" Kulirik penuh benci surat panggilan dari pengadilan, lalu mengambil secara kasar ponsel. Tak lama orang yang kutelepon mengucap salam. Tanpa mebalas salam aku berkata, "Ini saya Abizard yang tadi berkunjung. Pokoknya saya gak mau kalah di pengadilan. Kalau pun bukti perselingkuhan itu jelas, kalian harus bela saya."

"Ta-tapi kalau bukti dan saksi sudah bicara ... pasti perceraian ini disetuju pengadilan, Pak," jawab wanita di seberang telepon.

"Saya ambil tujuh pengacara buat apa kalau gak memenangkan di pengadilan? Katanya firma hukum ini terbaik di Jakarta?"

"Baik, Pak Abizard. Kami akan usahakan." Dia diam sekejap. "Pak, mungkinkan Bu Sabiya hamil?"

Hamil? Aku terlalu sibuk memikirkan masalah keluarga dan kantor. Tidak pernah aku mengecek kalender menstruasinya. "Aku ingat biasanya dia menandai di kalender."

"Kalau Bu Sabiya hamil pasti bisa menjadi alasan. Bapak juga bertekat akan berubah, kan? Dan, bapak menyesali perbuatan bapak."

"Bener. Aku gak mau ulangi kesalahan ini lagi." Mataku membelalak sempurna. Dia telat datang bulan. Mungkinkah Sabiya telah mengandung anakku diam-diam?

Masya Allah. Ya Robbi, penantian lama kami akan terjawab. Kuambil kunci mobil. Di mana pun Sabiya harus kutemukan. Bukan tidak mungkin buat hati kami akan mempersatukan cinta sejati kami. Lagi pula aku selalu setia mencintainya. Harusnya Sabiya lihat ketulusan itu, kan?

"Pak?" Wanita itu memastikan aku masih berada di dalam panggilan.

"Sebentar," jawabku.

Di sofa ada ibu yang sedang melamun. Aku pamit kepadanya. "Bu, sepertinya Sabiya hamil."

Ibu sumpringah. Sebentar, tapi tidak lama senyumnya seperti semula. Dipaksakan. Ibu selalu murung sejak Sabiya pergi.

"Tenang saja, Bu. Abizard pasti berhasil membuat Sabiya ada di pelukan kita. Sabiya akan cepat sadar kalau dia butuh Abizard. Dia gak bisa hidup tanpa kita. Semoga hatinya dilapangkan sama Allah ya, Bu."

"Ibu memang berharap kalian bersatu. Doa seorang ibu itu mustajab, kan?" Ada harapan besar di mata ibu.

Kucium tangan ibu kemudian melangkah pergi. "Hallo," sapaku kepada perwakilan firma hukum.

"Hallo, Pak."

"Kemungkinan istri saya hamil. Saya akan temui dia sekarang. Pokoknya kalian siapkan berkas supaya perceraian ini gak disetujui pengadilan."

"Kalau gagal, Pak?"

"Tidak akan."

"Ta—"

Perwakilan firma hukum malah bikin aku kesal. "Saya tidak akan biarkan Sabiya bahagia. Tidak ada harta yang bisa dia miliki kalau sampai kami bercerai. Baik itu hak dia, tidak akan saya berikan. Kalau bisa tuntut semua harta yang sudah saya berikan sama dia," putusku. Bebas orang mengataiku gila. Aku memang tidak mau dilepas oleh Sabiya. "Itu keputusan saya kalau dia tetap berkeras hati ingin talak."

Kali ini aku harus menurunkan gengsi. Meski berat, aku akan berkunjung ke rumah Raka demi mendapat alamat tempat tinggal istriku. Anakku tunggu papa menjemputmu. I love you so much. Harapan untuk hidup bersama Sabiya lagi semakin cerah. Ah, Sabiya kamu itu bodoh kalau menyia-nyaikan lelaki sepertiku.

Mobilku sudah cukup jauh dari rumah. Kulihat GPS yang menunjukkan rumah Raka tidak jauh lagi. Semoga saja dia belum pindah.

Dipersimpangan aku mendapat panggilan dari penanggung jawab apartemen. "Pak Abizard, Bu Naila meninggalkan apartemen."

"Maksud kamu?"

"Dia pergi. Tanpa kabar. Semua pakaiannya sudah tidak ada saat saya masuk."

Ya Allah, apa lagi ini? Kepukul stir kemudi sampai telapak tanganku terasa ngilu. "Semua perempuan sama saja! Tidak setia!"

***

Kaki kiriku sudah memasuki kamar mandi, tapi tiba-tiba yang kanan seperti dibebani berat satu ton. Aku takut hamil. Sungguh, aku ingin lepas dari Abizard. Karena bersamanya hanya menyisakan sesak di dada.

"Ayo Sabiya! Kamu harus memastikan kehamilan ini," saran sisi lain diriku. Alih-alih kebaranian itu tubuh, malah kakiku semakin berat.

Huft, kutunda ke kamar mandi. Berganti jalan menuju m jendela. Melihat gemerlap malam dari ketinggian sambil menghela napas, berlanjut membaca beberapa kata motivasi yang kutulis sendiri di note.

Yang menyeramkan itu bukan hantu, tapi rasa khawatir yang tercipta dan diciptakan oleh pikiranmu sendiri.

Sudahlah, toh yang kamu takutkan belum terjadi. Atau mungkin tidak akan terjadi. Pikiranmu saja yang berlebih.

Fokuslah pada keberhasilan daripada kegagalan. Karena dengan begitu kamu akan tetap optimis mencapai tujuan yang ada di depan.

Tetap saja cara itu tidak berhasil merubah ketakutan. Ya Allah, tolong jangan sekarang. Izinkan aku hidup bahagia tanpa Abizard.

Bel berbunyi, cukup mengejutkanku. Siapa lagi yang datang berkunjung. Apakah tetangga baru lagi? Huft, kenapa dia terus mengusik.

"Siapa sih. Ganggu banget."

"Ah, dia lagi," kataku melihat Alvi berdiri dengan bayinya. Kuputar bola mata malas sebelum membukakan pintu. Kalau aku egois pasti tidak akan kubukakan pintu. Jiwaku tersentuh meski logika menolak. Sebenci apapun kita sama orang, suatu saat bisa saja dia menjadi satu-satunya orang yang bisa membantu kita. Makanya, berbuat baik kepada siapapun itu penting.

"Ma-maaf saya ganggu lagi. Saya ada operasi dadakan. Boleh saya titip anak saya? Saya tidak tega harus meninggalkan sendiri. Kalau dititipkan day care rasanya tidak mungkin. Waktu saya tidak banyak," ucapnya tergesa-gesa. Ternyata Alvi berprofesi sebagai dokter.

Bocah itu tampak nyaman tidur di bahu ayahnya.  "Boleh. Silakan tidurkan dia di tempat tidur."

Alvi memohon izin. Menidurkan bocah mungil itu pelan. "Ini susu formula untuk Cilla. Dia mudah beradaptasi dan akrab dengan orang. Oh ya, kalau sudah jam 9 malam dia tidak akan terbangun."

"Ok."

"Maaf, Sabiya. Saya tidak tahu harus minta tolong sama siapa. Baru kamu yang saya kenal. Ini juga mendadak. Pasti saya akan traktir kamu sebagai ucapan terima kasih."

"Gak perlu repot-repot."

Ponsel Alvi berdering. "Ok. Enam belas menit lagi saya sampai rumah sakit," beritahunya kepada orang di telepon.

"Saya tinggal dulu. Terima kasih." Sebelum pergi Alvi mencium lembut puncak kepala Cila. Cinta seorang ayah yang terlihat tulus. Ah, ayah. Apa ayahku tahu punya anak yang bernama Sabiya di dunia ini?

"Oh iya. Saya belum minta nomormu." Alvi menyerahkan ponsel. Kuketik 12 digit angka di sana.

Setelah kepergian Alvi aku membersihkan diri. Botol-botol skin care sudah kosong. Rasanya tidak mampu lagi beli produk serupa. Memang sudah seharusnya ganti merk untuk menghemat pengeluaran.

Cilla tanpa terusik, aku bangkit dan membuatkan susu di botol kalau kalau dia bangun. Cilla ini seumuran dengan Viola. Sama-sama lucu dan cantik. "Dia tidur lagi. Mending aku simpan dulu susunya. Kalau kebangun bisa langsung dikasih."

Aku menguap. Kuberikan guling di sisi kanan Cilla, sedangkan aku tidur di sebalah kiri menghadapnya. Memandang Cilla mengingatkan janinku yang keguguran. Kusentuh perut. Apakah di sini ada calon bayi Abizard? Sampai sekarang aku tidak berani mengeceknya. Semakin menarawang, semakin pikiran ini jauh kemana-mana. Hingga aku tertidur dengan sendirinya.

Bel berbunyi berkali-kali. Kepalaku agak pusing akibat bel yang ditekan tanpa henti. Alvi! Kamu tidak sopan sekali! Ini jam satu dini hari dan kamu membangunkanku selancang itu. "Iya sebentar," teriakku.

Tubuhku gentuyungan menuju pintu. Tanpa mengecek lubang pintu aku langsung menbukakan pintu. Mata yang masih lima watt langsung terpancar melihat lelaki yang berdiri di depanku. "Abizard?"

Tanpa sopan dia menerobos masuk. Gawat! Ada Cilla. Pasti dia akan mengira yang tidak-tidak.

"Abizard!"

***

Apa yang ingin kamu sampaikan kepada Sabiya?

Apa yang ingin kamu sampaikan kepada Abizard?

Apa yang ingin kamu sampaikan kepada penulis?

Ajak pecinta wattpad lain baca Sabiya ya ❤️

Mel~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top