Bab 18 - Sabiya, Agnes, dan Ketakutan
Ya Samii, dengarlah kesahku di setiap hembusan napas. Dekatkan aku dengan rasa yang tak membuatku menelan kecewa. Sungguh hanya kepadamu aku ingin bersandar.
~Sabiya~
Karya Mellyana Dhian
Komen dulu #DukungSabiyaSampaiSukses sebelum baca.
***
Telapak tangan Kak Agnes yang menopang di kulit tanganku terasa hangat menjulur sampai ke hati. Dia menjadi salah satu yang berbaris di garis kekecewaan. Bayangkan saja pasangan yang sempat dijuluki couple goals oleh keluarga bisa berakhir seperti ini.
"Sekarang kita bisa mengobrol dari hati ke hati, mumpung Viola diajak pengasuh bayi," ujarnya.
"Kakak mau ngomongin perceraian ya?" tebakku sambil menelan ludah susah bayar.
"Kamu yakin?" Berhati-hati Kak Agenes menanyakan itu. Dibanding Nabila, dia memang jauh lebih baik. Sosoknya dewasa, penyayang, dan tidak memandang rendah orang lain.
"Wanita mana sih Kak yang gak sakit hati digituin. Dulu Abizard itu paling pengertian, Sabiya makan mie instan aja dimarahin." Kalau melihat kenangan indah rasanya sesak sendiri. "Sayang, semua itu udah jadi kenangan. Manis, tapi sekarang rasanya pahit." Ya, sebab kebaikan Abizard sudah tertutup dengan penghianatannya.
Kak Agnes menghela napas. Mengelum satu senyum seraya mengganguk. Dia tidak bicara lagi selagi pelayan menyajikan makanan. "Mmm..." ragu dia bertanya, "kamu tahu alasan adikku mendua?"
Aku menunduk, lalu geleng-geleng. Selama ini kalau ditanya dia hanya menjawab khilaf. Sudah bekali-kali aku mencari musabab. Namun tak ada titik terang. Kuakui aku belum menjadi istri sempurna, tapi perselingkuhan tidak bisa dibenarkan apapun alasannya, kan?
"Ayo makan." Akhirnya perbincangan ini terputus juga. Kalau diteruskan akan semakin mecekik.
"Makasih, Kak."
Kami hanya memesan makanan ringan, jadi tidak butuh waktu lama untuk menghabiskannya. Aroma kopi dari kafe sebrang restoran yang hanya berjarak lima meter menyeruak, membawa kenangan di mobil Abizard. Aku selalu senang mengganti aroma kopi-kopian di mobilnya. Ah, sudahlah itu hanya masa lalu. Seharusnya move on karena dihianati lebih mudah. Lagian untuk apa mencintainya? Basi!
"Kakak gak ngerti lagi harus gimana. Kakak ikut patah hati mendengar kabar ini." Kukira pembahasan mengenai hubunganku dengan Abizard sudah selesai. Ternyata belum.
Sambil tersenyum aku mengehela napas. Tangan yang semula menggengam sendok beralih mengelus punggung tangan Kak Agnes. "Sampai kapan pun Sabiya akan anggap Kak Agnes sebagai kakak. Kebaikan kalian tidak pernah terlupakan."
Dia tersenyum hanya di bibir. Maafkan aku Kak Agnes. Jangan ditanya, aku pun sedih atas perceraian ini. Gila kali kalau bahagia di atas kegagalan berumah tangga. Tidak akan ada lagi momen kebersamaan. Tak mengulang lagi kebiasaan yang sudah menjadi tradisi antara keluargaku dan keluarga Abizard. Pundakku menurun. Andai saja Abizard tidak selingkuh.
"Kak, apa sih pandanganmu tentang hijrah? Kakak kan kemarin masih di puncak populeritas, tiba-tiba hengkang." Berita pensiun Kak Agnes sempat tranding. Sampai sekarang pun masih hangat menjadi bahan acara gosip.
Mimik wajah kakak iparku berubah. Syukurlah topik pengganti yang kupilih sangat menatik baginya.
"Pikiran orang yang gak maju itu gini. Aku mau hijrah, tapi gak punya teman, tapi gak punya uang buat beli baju syari, tapi takut dihujat orang, tapi takut dibilang sok-sokan sama keluarga, tapi takut gak bisa istiqomah. tapi tapi mulu."
Tangan Kak Agnes secara otomatis bergerak seperti orang menjelaskan. "Buat mencapai sesuatu yang indah emang butuh pengorbanan. Gak mudah. Gak gratis juga. Mereka selalu mencari alasan untuk menunda. Sampai nanti ditunda terus akhirnya sampai diujung nasib. Bertemu malaikat mungkar nakir dan hanya bisa menyesal kenapa waktu di dunia malah banyak alasan mau berbuat baik. Giliran ghibah, gak menunaikan salat, salat ditunda-tunda aja gak banyak mikir."
Aku menimpali sekaligus berkaca pada diri ini. "Mau berbuat baik aja mikirnya panjang, giliran maksiat malah pendek. Kebalik gitu ya kak?"
"Iya. Harusnya kan kalau ghibah tu mikir. Aku mau ghibah, tapi takut pahalaku kehapus, takut dosa, takut masuk neraka. Bukan malah sebaliknya. Kamu mau hijrah?"
Kuremas jemari. "Kalau bahasanya hijrah kayak terlalu berat. Lebih dekat sama Allah," ralatku.
"Tenang aja kalau hijrah berserah sama Allah gak akan Allah biarin kelaparan atau kesepian. Gapapa lingkup pertemanannya kecil, tapi orang-orang baik yang ada di sekitar kita, ketimbang banyak temen tapi laknat semua. Bedain ya antara teman sama relasi bisnis. Kamu mau mulai berbisnis, kan?"
Obrolan itu terus berlanjut. Kak Agnes juga memberikan kontak komunitas muslimah yang dia ikuti. Saking asyiknya mengobrol masalah hidup yang sedang kualami hilang untuk sesaat.
***
Sendi-sendi tubuhku terasa linu. Seharian ini sangat melelahkan. Dimulai les komputer yang bikin emosi karena pengaturan spasi yang berubah-ubah sendiri, takziah, bertemu Kak Agnes, lalu jalan kaki ke apartemen. Orang lain selalu membayangkan apartemen itu mewah dan ditempati kalangan atas, padahal tidak. Contoh saja apartemen yang kutinggali, sudah sempit, banyak kecoa lagi. Sudah mirip kos-kosan lima ratus ribu sebulan.
Di lantai tujuh hanya kamarku yang paling kecil. Delapan lainnya merupakan unit kelas menengah ke atas. Mungkin biaya sewa satu bulannya menginjak delapan angka.
Baru saja tubuhku merasakan kasur, suara bel berbunyi. Yang tahu aku tinggal di sini hanya Yasmin, Raka, dan Kak Agnes. Dari ketiga manusia itu sepertinya tidak mungkin bertamu.
Kuintip dari lubang pintu. Seorang pria mengendong anak menunggu dibukakan pintu. Dahiku mengkerut. Lingkup pertemananku sangat kecil, aku juga tidak mengenal pria itu.
"Maaf ganggu," katanya setelah pintu terbuka.
Aku tersenyum canggung. Ini kali pertama aku bertemu dia. Wajahnya sangat asing. Usianya kuperkirakan tidak jauh dari Abizard yang sebentar lagi kepala tiga. Dan, bayi perempuan yang ada digendongannya berusia dua atau tiga tahun. Rambut pria itu lurus dibelah samping, wajahnya putih bersih, tubuhnya sebelas duabelas dibanding Abizard.
"Perkenalkan saya Alvi. Orang yang akan menempati unit samping."
Rupanya dia tetangga baru. "Oh."
"Apa Anda punya nomor penanggung jawab unit itu. Saya tergesa, sehingga lupa bawa ponsel."
Tuturan bahasannya sangat baku. Kalau tidak dari kalangan perkantoran, pengusaha, ya kesehatan. Jelas, kalangan berpendidikan. "Terus?"
"Boleh minta tolong diteleponkan? Saya belum pegang kuncinya."
"Sebentar." Kuambilkan ponsel yang ada di nakas. "Nih, tinggal nunggu diangkat."
Pria itu tanpa ragu mengambil ponselku. Kulihat bayi yang ada di gendongannya sedang bermain mulut papanya. Tawanya sesekali menular ke senyumku. Kalau waktu itu aku tidak keguguran pasti seusia dengannya.
Tidak lama pria itu mengembalikan ponsel. "Terima kasih bantuannya, tapi penanggung jawab ke sini sekitar tiga puluh menit lagi. Anak saya pempersnya tembus harus segera saya ganti. Boleh pinjam kamar mandi?"
Aku bukan orang yang mudah bergaul. Bertemu orang baru juga menbuatku kaku. Apalagi seperti Alvi yang terus meminta bantuan. Risih. "Ada kamar mandi umum di pojok lantai ini."
"Oh ya?"
Kepalaku mengganguk sambil menunjuk ke arah kamar mandi.
"Baik, terima kasih. Maaf merepotkan. Kalau boleh tahu namanya siapa?"
"Sabiya."
"Tante Sabiya salam kenal." Dia memandang anaknya. Seolah mengenalkan anak itu padaku. Kemudian ia menjinjing tas bayi dan berjalan cepat ke kamar mandi.
Akhirnya sekarang aku bisa meluruskan punggung di kasur. Meski kasurnya tidak seempuk rumah Abizard, ini cukup nyaman. Sayang, tidak ada yang mengizinkanku istirahat. Ponselku berbunyi. Ada nomor ibu tampil di layar.
"Assalamualaikum, Bu."
"Waalaikumsalam."
Sambil bertelepon aku duduk di kursi rias. Menghadap kanan yang memperlihatkan langit kuning jeruk. Menunggu ibu berbicara.
"Gak usah cerai ya dari Abizard."
Permintaan itu membuat dadaku tergoyak. Aku kira ibu mengkhawatirkan anaknya. Bukan malah meminta kembali ke rumah seperti neraka itu. Kurasa hanya ibu yang rela melihat anaknya dikhianati.
"Biya anak ibu yang paling penyabar."
"Akan Sabiya pikirkan lagi," jawabku seadanya.
"Baik. Ini ibu sama Abizard lagi keluar beli sayur mayur." Nada Ibu terdengar lebih sumpringah. Apa ibu sama sekali tidak mengkhawatirkanku? Di mana anaknya, bersama siapa, sudah makan belum? Bukan malah pemer seperti itu. Sekarang pasti Abizard merasa menang. Dia lebih bisa mengambil hati ibu daripada aku anak kandungnya sendiri. Kesal sekali. Lihat saja Abizard aku pasti bisa lebih bahagia darimu!
"Ibu dan Abizard nunggu kamu kembali ke rumah."
"Sabiya capek." Kututup telepon sesudah mengucap salam perpisahan.
Kuambil test pack di dalam tas. Banyak ketakutan yang muncul. Menarik napas panjang, memejamkan mata, menghela, lalu masuk ke kamar mandi. Aku bahagia kalau hamil, tapi dalam kondisi sekarang kehamilan hanya bisa memberatkan putusan cerai.
***
Jangan lupa tinggalkan jejak. Vote, komen, dan ajak teman-teman kalian baca Sabiya. Biar baper bareng, marah bareng, gemes bareng.
Oh iya, coba puter dulu teaser Film Dear Imamku yg diadaptasi dari novelku.
[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]
Tekan angka 1 kalau kalian setuju Sabiya update besok!
- Kewajiban manusia adalah beribadah-
Mel~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top