Bab 13 - Sabiya, Kejujuran, dan Janji

Kita pernah menatap dengan senyuman secerah mentari, sebelum awan hitam membuat dunia kita tak berarti. Saat itu tangan saling terpaut mengikat kepercayaan, kini justru saling melapas dan meninggalkan.

~Sabiya~
Karya Mellyana Dhian

Follow instagram @sabiya_lykt dan @mellyana.i
***

Entah bagaimana nanti. Aku akan jujur kepada ibu hari ini juga. Sebelum Nabila dan orang rumah sampai kuharus menemui beliau. Mengabaikan sisa air mata yang masih ketara. Biasanya setiap menangis selalu bersembunyi agar ibu tidak tahu. Kini tak peduli akan hal itu.

Saat keluar kamar ternyata ibu masih menunggu. Matanya menatap memelas, pasti merasa bersalah. Beliau langsung berjalan ke arahku. "Sabiya, ibu minta maaf."

Aku tersenyum meski terlihat dipaksa. "Kita bicara di kamar ibu saja ya." Aku tidak marah sama ibu. Hanya kecewa. Kutuntun tangannya yang kulitnya tidak sekenjang dulu. Telapak tangan yang selalu kasar karena harus bekerja keras agar kita tetap bisa bernapas.

Di kamar kami duduk di sisi ranjang saling berhadapan. "Sabiya pikir kalau diam akan buat ibu paham. Sabiya kira lebih baik ibu tahu besok-besok saja, tapi nyatanya Sabiya salah. Ibu malah semakin mengira yang enggak-enggak. Sabiya gak tahu ibu bisa berpikir seburuk itu karena apa, yang jelas Sabiya selalu setia mengabdi kepada suami seperti nasihat ibu. Oh ya, Bu. Raka tidak sekeji itu. Sabiya gak ada apa-apa kecuali teman bisnis. Ibu tahu gak? Bingkisan yang Sabiya bawa pulang dari acara amal kantor Kak Abizard itu dari Raka. Isinya ada CD dan produk parfum milik calon istrinya."

Malam itu saat Raka memanggilku tidak lama dia mengenalkan sang calon istri. Aku dan Yasmin kaget. Kasihan Yasmin pasti dia patah hati.

"Kalau begitu ada apa dengan rumah tangga kalian?" paniknya. "Ibu ingin keluarga kalian utuh dan hidup bersama sampai kakek nenek."

"Iya, Bu. Sabiya pun menginginkan hal yang sama." Saat sepasang manusia menikah pasti mereka mengharamkan perceraian. Memiliki rumah tangga idaman yang sempurna adalah impian semua pengantin.

"Berarti kamu akan bertahan, kan? Kamu bakal baikan sama Abizard, kan?"

"Sabiya tidak bisa memaafkan lelaki yang menghianati janjinya sendiri. Abizard udah janji sama ibu dan Allah buat jaga Sabiya, tapi dia malah menduakan." Kutelan saliva susah payah.

Ibu berkaca-kaca. Dia memelukku sangat erat. Dalam hati aku berjanji, "aku akan membahagiakan ibu dan diriku sendiri dengan caraku." Tidak tahu apa arti pelukaan itu. Semoga ibu paham dan tidak memintaku bertahan.

***

"Heh, Sabiya. Jus kesukaan gua abis. Sekarang gue mau minum. Beliin deh di swalayan komplek!" titah Nabila sambil melempar uang seratus ribu di depanku.

Aku masih tetap di posisi membenarkan tabung gas. Apa dia tidak lihat kalau aku tidak ngangur?

Setelah mengunjungi ibu tidak lama mama beserta rombongan pulang. Semua berkumpul di ruang keluarga. Kecuali aku yang memilih memilih memasak bersama simbok. Kak Agnes sempat menarikku agar bersedia menunggu Nabila mengeluarkan oleh-oleh untukku. Itu sangat mustahil. Dari pada berharap lebih baik menghindar. Buktinya perlakuannya padaku masih sama.

Melihat aku tidak pindah posisi Nabila pun kesal. Dia uring-uringan menggunakan bahasa Inggris. Tidak tahu apa artinya yang jelas dia mengutukku.

"Punya tangan sama kaki tolong digunakan dengan baik," kataku pelan. Aku sengaja tidak menatap matanya. Masih ada trauma setiap melihat ekpresinya.

"You're so shitty!"

Ibu salah kalau Nabila sudah berubah. Dia masih sama. Tidak punya sopan santun kepada orang yang dia anggap derajatnya lebih rendah.

Selesai memasang tabung gas aku membersihkan tangan. Aku harap dia segera pergi dari dapur. Meski aku berusaha bersikap biasa, rasa ketakutan itu masih tersisa. "Kamu di sini mau cuci piring apa cuci mulut?" Kutunjukkan pembersih panci. "Biar gigi kamu mengkilat. Sayang aja otak kamu pinter, tapi omongannya sampah semua."

Aku tidak tahu darimana kosa kata kejam itu. Mungkin aku memang gila. Bisa-bisanya malah memanaskan darah Nabila.

"Anjing ya lo! Sok-sokan banget sih jadi orang. Lo tu kalau gak dinikahin Kak Abizard udah jadi gembel!"

Sabiya tidak boleh lemah. Nabila harus tahu dia sedang berhadapan dengan siapa sekarang. Aku berbalik, melemparkan alat pencuci piring ke wajahnya.

"Sial! Berani ya lo sama gue!" Dia hendak menamparku, tapi tanganku lebih cepat mencegat. Matanya yang merah dan melotot kubalas dengan sorot penuh kemenangan.

"Kamu selama ini di Amerika kuliah apa foya-foya? Punya mulut kayak gak disekolahin. Prilakumu juga gak mencerminkan orang berpendidikan. Meski aku mantan pembantumu, tapi sekarang aku kakak iparmu. Di Indonesia orang yang lebih muda diharuskan menghormati yang lebih tua. Kalau gak mau hidup di sini dengan norma sosialnya, lebih baik kamu di neraka. Banyak iblis di sana yang gak punya sopan santun kayak kamu." Aku tidak marah-marah. Santai sekali aku mengutarakannya. Uneg-uneg yang sudah lama kupendam akhirnya bisa terlontar.

Nabila berterik sangat keras. Tangannya berusaha meminta dilepaskan. Amarahnya semakin menjadi-jadi. "Fuck!"

Aku kasihan dengan mama papa sudah menyekolahkan Nabila, tapi sia-sia. Untuk apa bergelar kalau tidak punya etika?

Sebelum simbok si asisten rumah tangga datang kukatakan pada Nabila. "Adikku yang paling cantik, aku bukan Sabiya yang dulu. Kalau kamu baik, aku bakal baik. Kalau kamu kasar, aku gak segan buat lebih kasar. Motong lidahmu atau matahin dagumu biar ngomongnya dijaga."

Kakiku meninggalkan Nabila yang meneriakiku. Dia memang paling tidak suka kubantah. Apalagi melihat aku menjadi pribadi yang lebih berani. Aku sadar, akulah orang yang bisa menggangkat derajatku. Perempuan sudah diberikan kemuliaan, maka jangan biarkan orang lain merendahkan. Angkat kepala dan buktikan kita adalah orang hebat.

Sambil menaiki tangga aku tersenyum puas. Aku bangga dengan diriku yang berhasil melewati trauma itu. Mereka yang merendahkan orang lain sebenernya hanya takut tersaingi. Maka pilihan tepat benar-benar mewujudkan apa yang mereka takuti.

Setelah bertemu manusia semenyebalkan, sekarang aku berhadapan dengan Abizard. Sungguh aku ingin keluar dari rumah ini. Kuambil handuk beserta pakaian yang akan kukenakan berkunjung ke panti asuhan. Mengabaikan Abizard yang kebinggungan mencari kemeja khusus pertemuan dengan petinggi kantor. Katanya sih petinggi, tapi gak tahu kalau ternyata Naila yang dia temui.

Sambil mengobrak-abrik isi lemari Abizard berkata, "Sabiya, istri yang baik itu nyediain pakaian buat suaminya, bukan malah sibuk sendiri gitu."

"Bajunya belom disetrika." Aku masih berbaik hati meladeni.

Dia terlihat frustasi. "Tumben banget. Biasanya kamu gak pernah telat rapiin semua setelan aku. Bisa bantu?"

Ya, sejak tahu dia selingkuh aku memang tidak ikhlas meladeninya. "Kenapa gak minta tolong Naila?"

"Kamu gak nyesel kalau aku serumah sama dia?" Bukan merasa bersalah dia malah menggodaku. Gak lucu Abizard!

"Gak guna nyesel."

"Aku cuma bercanda. Bia satu-satunya di hati kakak saat ini." Abizard mengambil kartu ATM dari dompet. "Ini kalau kamu mau belanja hari ini. Kamu pake aja sepuasnya."

Dia pikir aku percaya? Dia kira aku perempuan yang bisa mengganggap semua baik-baik saja hanya dengan sogokan uang? "Gak usah," tolakku menaruh handuk di sisi pintu kamar mandi, kemudian berbaik hati membantu Abizard.

"Kamu memang istri terbaikku. Gak salah aku nikahin kamu," pujinya yang membuatku malah ilfeel.

***

Aku dan Yasmin janjian rapat dengan Raka di salah satu panti asuhan. Kata Yasmin itu yayasan milik orang tua calon istri Raka. "Raka orang sibuk jadi kita yang harus menyesuaikan jadwal dia." Yasmin sesekali melihat maps yang tampil di layar kecil mobilnya.

Mobil Yasmin memiliki interior yang mewah. Pantas dia memiliki aset mahal. Sejak bercerai dia tidak hanya berstatus sebagai manager, melainkan mananam saham juga. Kelak aku harus bisa menyetir dan memiliki mobil BMW sendiri.

Di dashboard ada foto anak Yasmin yang mengenakan baju princess. Menggemaskan sekali. Yasmin mengakui hidupnya bisa sedamai sekarang usai lepas dari mantan suaminya yang tukang judi.

"Kamu buka dashboard!" suruh Yasmin.

Aku mengikuti arahannya. "Ada apa?" Aku tidak menemukan apa-apa selain wadah kaca mata.

"Kaca mata buat kamu. Itu di dalam ada sertifikatnya juga."

Setahuku kalau barang branded seharga puluhan atau ratusan juta akan ada sertifikat kepemilikan. "Terus?"

"Buat kamu," jawabnya enteng sambil menyisir rambutnya yang berganti warna lagi menjadi keunguan.

"Ini acara apa kok pake ngasih kacamata?" Aku tertegun melihat sederet harga yang ada di dalam wadah. "Bukan acara patah hati karena Raka udah punya calon, kan?" candaku.

"Gila ya lo. Gue bukan levelnya Raka. Aku sama dia itu udah kayak neraka sama Surga. Mana mau dia sama aku." Yasmin tertawa sangat keras. Dia memang tidak konsisten dalam memakai kata ganti. Kalau sama Raka dia sering lo-gue, sedangkan denganku menggunakan aku-kamu. Begitu juga dengan Raka. Mereka berusaha menyesuaikan aku yang sudah biasa menggunakan panggilan aku-kamu.

Agar hati Yasmin senang aku pun mencoba kaca mata hitam itu. Tak lama Yasmin memuji, "Cakep banget kamu pake itu. Aku yakin kalau kamu cerai dari Abizard bakal banyak cowok yang mau memperistri kamu. Toh Abizard itu sebenarnya biasa-biasa aja. Orang tuanya kan ya kaya?"

"Katanya dia mau ngajak aku pindah ke rumah baru dari hasil kerjanya. Tapi aku nolak." Aku merasa penampilanku memakai pasmina hitam terlihat elegan dipadukan kacamata hitam pemberian Yasmin.

"Apa aku bilang. Kamu itu cantik banget, Sabiya. Jangan minder lagi. Ngomong-ngomong, kita udah mau sampe." Mobil Yasmin memasuki gang kecil.

Tidak lama papan panti asuhan terlihat. Ada bapak tukang parkir yang mengarahkan mobil. Di parkiran panti sudah ada dua mobil terparkir. Mobil Raka dan aku tebak mobil di sampingnya adalah milik calonnya. Meski hanya bertemu sekilas di acara amal kantor, semua orang pasti menilai mereka sangat serasi. Pasangan yang sempurna.

Aku dan Yasmin jalan bersama. Tangan kiri kami mencangking tas tangan, sementara tangan kanan membenarkan kacamata hitam. Persis adegan di film-film. Belasan anak panti yang bermain bola menatap kami heran.

Seorang pegawai berseragam panti mengarahkan kami bertemu Raka di lantai dua. "Bu Sabiya sama Bu Yasmin, Pak Raka sudah menunggu di atas."

Aku kira Raka bersama calonnya, ternyata salah. Dia sedang meyuapi seorang anak yang duduk di kursi roda. Berarti mobil itu bukan milik tunangan Raka. Sudahlah bukan urusanku.

"Tunggu dulu ya," pinta Raka meminta kami duduk di ruang tamu.

Sambil menunggu kami mengamati sekitar. Termasuk cara interaksi Raka dengan anak itu. Anak yang bersamanya tidak bisa berjalan dan melihat, jadi sambil menyuapi Raka menceritakan pemandangan sekitar kepadanya. "Hari ini suasananya bagus. Banyak anak-anak yang lagi main bola. Kamu denger suara teriakan mereka, kan?"

Melihat itu aku langsung menerawang. Gimana rasanya kalau tidak bisa melihat. Semuanya gelap. Tidak tahu gimana putihnya awan di atas langit biru ketika cahaya matahari menerangi. Tidak bisa menikmati keindahan alam dari lautan sampai pegunungan. Tidak tahu ciptaan flora fauna ciptaan-Nya. Dunia hanya diisi dengan suara-suara saja. Betapa hampa hidup kalau mata tidak berfungi.

Aku iseng menutup mata cukup lama. Hanya mampu mendengarkan suara-suara. Semakin lama semakin gelap dan aku tidak betah.

"Kamu ngapain?" tanya Yasmin heran.

Tidak sedikit pun aku membuka mata. Masih mencoba bertahan. "Lagi memposisikan kalau suatu saat aku buta. Ternyata gak enak ya."

Yasmin tidak bersuara. Aku tidak tahu gimana responnya. Apakah dia tersenyum, geleng-geleng, atau menaikkan satu alis. "Hampa banget ya kalau gelap gini."

"Lagian lo ada-ada aja."

Kurang lebih 3 menit aku menutup mata. Lalu ponselku berdering. Aku meraba meja, mencari tas. Ya Allah ini sudah sekali. Sangat tidak nyaman. Betapa aku telah menyia-nyiakan nikmat berupa penglihatan.

Sampai di titik tidak sanggup, aku pun membuka mata. Mataku buram berkaca-kaca. "Gak enak jadi orang buta. Baru beberapa menit aja sangat tersiksa. Gak kebayang kalau sampai bertahun-tahun."

Setelah mengecek ponsel aku melihat Raka berbicara dengan seorang anak menggunakan bahasa isyarat. Tidak bisa mendengar dan bicara. Gimana rasanya gak bisa dengerin musik? Aku gak bisa membayangkan itu menimpaku.

Aku merasa bersyukur bisa di sini. Keadaan anak-anak panti yang tidak sempurna sangat menghantamku. Mengapa selama ini aku selalu mengeluh, berpikir pesimis, padahal Allah berikan 5 indera lengkap kepadaku. Seharusnya aku menggunakan semuanya untuk hidup lebih berguna.

Aku kembali menemukan tujuan sukses. Nanti kalau aku sukses aku berjanji menyumbangkan sebagian rezekiku untuk mereka. Berjanji kepada diri sendiri berbahagia serta memaksimalkan pemberian Allah dengan menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Pasti ada alasan Allah menciptakanku, aku tidak boleh menjadi benalu di dunia ini.

Raka datang. Dia heran melihatku bengong.

"Sabiya lagi merenung gimana kalau dia bisu atau buta," jelas Yasmin.

Kekehan Raka pun menyadarkanku. "Ya gitu. Orang zaman sekarang kerjaannya rebahan malas-malasan, padahal mereka punya tangan, kaki, mata, telinga, semua hampir berfungsi. Sayang banget kan gak digunain secara baik. Kalau dia berayukur di kasih Allah komponen yang luar biasa harusnya digunakan juga dengan sebaik-baiknya. Malas kan buat dilawan bukan dipelihara."

"SETUJU." Semangatku membara. "Ayo kita rapat!"

Mereka tertawa melihatku. "Gini baru namanya Sabiya Sezen Feray." Yasmin mengacungi jempol.

"Gak usah lama-lama, Ka. Habis ini gue mau nganter Sabiya ke KUA," pesan Yasmin.

"Mau ngapain?"

Aku mendelik ke arah Yasmin. Seharusnya ini cukup menjadi rahasia saja.

***

Wih mantap mantap 2000 kata loh guys. Masyallah sekali di tengah tugas yang banyak banget.

Gak mau tau sih harus 1000 komentar 🤪

Sabiya ngapain ke KUA?

Oh iya siapa yg potek nih ternyata Raka udah punya calon?

#TheStrongGeng (nama pembaca Sabiya)
#DukungSabiyaSampaiSukses

See you next time. Ditunggu 1000 komennya wwkwk. Yuk gabung ke grup The Strong Geng bisa WA admin 0857 8289 3449

Kewajiban manusia adalah beribadah

Mel~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top