Bab 10 - Sabiya, Abizard, dan Fitnah
Ada yang memilih berubah. Bukan karena kesombongannya, melainkan untuk mengobati rasa kecewanya.
~Sabiya~
Karya Mellyana Dhian
***
Senyum lebar Naila menunjukkan betapa jemawa dirinya. Dasar wanita gak waras! Bisa-bisanya dia datang membawa bingkisan dan buah-buahan ke kamar ibu. Katanya berniat damai denganku. Perdamaian itu dia tobat dan tidak menjadi kekasih Abizard lagi. Bukan malah baik-baikin aku seperti ini. Walaupun aku tahu perselingkuhan mereka terjadi atas dasar mau sama mau, tapi Naila juga pelaku kejahatan di sini. Dia sudah menyakiti hatiku.
Yasmin terus memintaku untuk mengusirnya. Namun aku sediri bingung harus menggunakan cara seperti apa. Aku tidak ingin ibu curiga, tetapi juga tidak ingin wanita itu mengatakan siapa dia sebenarnya. Biarkan aku dulu yang kecewa, ibu jangan. Kalau pun ibu tahu perselingkuhan Abizard itu harus dari mulutku sendiri.
"Loh, kok kamu di sini?" Tiba-tiba Raka mengajak bicara Naila. Aku menatap Yasmin, pun sebaliknya. Tidak menyangka kalau mereka saling kenal.
"Kamu kenal sama dia?" tanya Yasmin masih kaget. Kita tahu orang seperti Raka pasti punya banyak relasi. Bisa saja mereka pernah bertemu di sebuah seminar perusahaan atau mungkin juga teman sekolah. Tidak menyangka saja kalau dunia sesempit itu.
"Eh, tapi, waktu di restoran kenapa Raka seperti tidak mengenal Naila?" batinku masih bertanya-tanya teringat kejadian beberapa waktu silam. Di samping itu Naila menyapa balik Raka dengan wajah menampakkan keraguan.
Alih-alih menjelaskan kepada Yasmin, Raka malah menunjukkan betapa dekatnya dia dengan Naila. "Kita bisa bicara di luar, Nai? Mau ngomong penting banget. Mumpung ketemu. Susah loh ketemu sama kamu. Bulan lalu aja kita janjian gagal." Dengan tenang dia berbicara. Lembut, santai, tapi tetap berwibawa.
Naila keluar lebih dulu. Sebelum hilang dibalik pintu Raka menjelaskan. "Dia guru saya. Saya izin bicara dengan guru saya, Bu."
"Iya," jawab ibu.
Yasmin menahan tawa. Tinggallah aku sendiri yang masih kebinggungan. Guru? Guru apa coba? Gak mungkin kan kalau guru di sekolahan SMP atau SMA. Orang umur mereka palingan gak selisih banyak.
Perawat memberitahukan kalau dokter akan melakukan kontroling kepada ibu. Tamu diharapkan menunggu di luar. Sambil menunggu giliran ibu aku mengantarkan Yasmin yang malah pamit pulang.
"Bu saya pamit dulu. Semoga ibu lekas pulih."
"Terima kasih ya, Nak Yasmin. Salam buat calon suaminya."
"Aih, ibu bisa aja. Dia itu cuma teman saya."
Kemudian kami keluar. Berkali-kali aku berterima kasih kepadanya. Aku cukup terkejut dengan keberadaan sosok Raka. Lelaki itu sudah bersedekap sambil bersandar di dinding seperti menunggu Yasmin.
Yasmin memukul lengan Raka dengan tas tangan. "Dasar manusia penuh kejutan!"
Aku hanya tersenyum melihat keakraban mereka. Benar kata ibu kalau keduanya memang cocok. Aku akan menjadi barisan pendukung paling depan kalau mereka menikah.
"Raka, Naila mana?" Mataku menyusuri sekitar koridor. Tidak tampak batang hidungnya wanita itu.
Raka menjawab enteng. "Oh guru saya? Dia udah pergi."
"Pasti lo usir ya, Ka?" tuduh Yasmin.
"Gak usah ngarang."
Yasmin yang semula berhadapan dengan Raka kini menghadapku. "Pasti Sabiya masih bingung. Kalau Raka bilang 'guru' itu maksudnya guru kehidupan. Sebenernya dia gak kenal sama Naila. Cuma nolong kamu aja," jelasnya.
Dahiku mengerut. Susah memahami maksud Yasmin.
"Saya duluan ya. Salam buat ibu." Raka pamit begitu saja. Tampaknya dia ada janji dengan orang. Kepergiannya itu menyisakan pertanyaan. Kenapa dia bersikap sebaik itu kepadaku?
Raka berpapasan dengan Abizard. Dia sempat mengagguk sopan yang dibalas Abizard dengan senyuman. Tidak lama Yasmin juga pamit. Seperti menghindari suamiku.
"Sejak kapan kamu deket sama Yasmin? Aku gak suka ya kamu berteman sama dia. Dia bisa kasih dampak buruk buat kamu." Datang-datang dia langsung memarahiku.
Aku capek banget. Lama-lama dia semakin seenaknya sendiri. Gak ada sopan santun atau bersikap lembut seperti dulu. Dulu dia gak pernah melarang aku berteman. Tidak juga melarang ini itu tanpa alasan yang jelas. "Lelaki itu Raka, kan? Jangan-jangan kamu ada main sama dia? Waktu di restoran kamu juga makan sama dia. Sekarang dia jenguk ibu."
Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim. Bisa tidak hilangkan lelaki ini dari hadapanku? Aku capek banget. Terlalu lelah juga buat marah. Dia yang salah, tapi terus saja menyalahkanku. Dia gampang menuduhku yang tidak-tidak. "Tanya aja sama Naila ngapain dia ke sini?"
Mata Abizard membelalak. "Naila siapa?"
"Pake acara tanya. Astaghfiruallah. Naila pacar kamu itu!"
"Ati-ati kalau ngomong, Sayang. Aku sama Naila sekarang sebatas teman." Dia mengusap tanganku lembut. Matanya seperti memohon untuk kumaafkan.
"Gak peduli dia siapamu. Cari aja kalau gak percaya. Bau busuk dia aja masih kebau. Intinya awas aja kalau dia berani macem-macem yang menyangkut pautkan dengan ibu!" ancamku lalu masuk ke kamar ibu.
Di dalam, dokter sudah selesai memeriksa. "Syukurlah ibu sudah membaik. Habis ini langsung saya siapkan surat rawat jalan," kata dokter.
"Alhamdulillah. Terima kasih, Dokter." Semoga ibu segera pulih. Aku segera ingin keluar dari kubangan ini.
***
Jalanan ibu kota padat merayap membuat mobil yang dikendarai Abizard berjalan sangat lambat. Aku ngantuk sekali, ingin terlelap di samping ibu, tetapi Abizard malah menyulut emosi.
"Sabiya kamu ada usaha apa sama Raka?" Tatapan menyelidiknya terlihat dari spion tengah. Aku memang memilih duduk bersama ibu di belakang.
Aku menghela napas. Sepertinya dia sengaja membahas ini di depan ibu supaya aku tidak bisa mengelak. "Usaha kecil-kecilan kok, Bae."
"Tumben gak izin sama aku?"
"Kan masih rencana, Bae. Nanti kalau udah fix baru aku presentasi ke kamu," kelitku. Kalau tidak ada ibu lebih baik aku naik busway atau KRL daripada di mobil tapi rasanya seperti di neraka.
"Sabiya, gak baik loh kayak gitu. Apa-apa itu harus dikomunikasikan sama suamimu supaya semuanya berkah," anjur ibu. Please ibu gak usah ikut-ikutan. Apalagi membela Abizard.
"Selamat Abizard kamu menang. Kamu berhasil menyudutkan istrimu sendiri dan meletakkanku di posisi salah sedangkan kamu pihak yang didewakan," geramku dalam hati. Tanganku gatal sekali ingin menjambak rambutnya sampai botak. Kalau dia saja menginjak-injak aku, mengapa aku harus hormat? Aku tidak akan menjadi Sabiya yang dulu. Sabiya yang rela dihina. Sabiya yang memandang dirinya selalu rendah. Sekarang aku tahu bahwa semua orang diciptakan Allah dengan derajat yang baik, maka aku harus menjaga kehormatanku sendiri.
Abizard semakin merasa menang. Bukan hanya itu dia malah mencari muka. "Gapapa kok, Bu. Abizard paham. Malah bangga sama Bia sekarang berani berkembang. Setiap hari loh, Abizard kasih motivasi buat dia bikin usaha nanti semuanya Abizard modalin, tapi katanya takut. Hanya saja sedikit kecewa kok dia usaha sama lelaki yang bukan mahram. Mana gak izin dulu sama suami."
Dadaku naik turun. Padahal dia tidak pernah memintaku membangun usaha. Dia hanya ingin seorang Sabiya melayani suami penuh cinta kasih, patuh, dan memperlakukannya seperti raja. Namun di belakang itu dia selingkuh.
Abizard berlanjut mengajakku bicara. "Gini-gini suamimu ini paham bisnis loh. Hampir lima tahun jadi manager di perusahaan besar. Gini aja, Sayang. Kamu buat aja proposalnya nanti Mas yang ajuin ke investor. Kalau perlu nanti uang investasi Mas buat kamu. Ada kok kalau 2 M. Kamu butuh berapa?"
"Hehe... besok aja, Bae. Belum jelas juga usahanya," jawabku sekenanya biar dia semakin menang. Aku tahu kok sebenernya dia hanya mengejekku. Tidak percaya seorang Sabiya bisa berdiri sendiri.
"Cuma Mas gak suka kamu sama Yasmin. Dia bisa jadi toxic. Selain Yasmin, Raka juga bukan orang baik. Mas pernah satu kantor sama dia. Dia dikeluarkan tidak terhormat gara-gara memacari istri atasan. Usaha dia palingan dibangun pakai uang haram. Mereka cuma toxic buat kamu."
Tanganku sudah mengepal. Apa dia tidak berkaca saat mengatakan mereka toxic, padahal dialah yang toxic. Dialah yang seharusnya aku hindari. "Tenang aja aku gak akan selingkuh."
"Huss, kalian ini bahas apa! Pantang ngomong ngomong kayak gitu." Ibu memperingati. "Kalau ibu lihat Abizard semakin ke sini semakin baik. Dia makin bisa pahami kamu, Sabiya. Udah gak kayak dulu yang suka cemburuan. Eh tapi, kalau emang Yasmin itu bikin dampak buruk mending kamu hindari. Raka juga." Ibu mudah sekali terhasut Abizard.
"Mas Abizard itu gak kenal sama Raka. Dia ngawur, Bu. Ibu kan udah ketemu sama dia." Rasanya aku ingin membela Raka. Gak terima orang sebaik dia diinjak-injak oleh Abizard.
"Sebenarnya ibu gak nyangka kalau dia kayak yang dibilang Abizard." Perkataanku gak mempan. Mulut Abizard saja yang menurutnya pakem.
"Zaman sekarang banyak yang bertopeng, Bu," gerutunya.
Tidak hanya membuatku kesal dengan dramanya yang memfitnah Raka, sekarang dia mengajakku datang ke acara amal kantor yang sudah pasti langsung aku tolak kalau tidak ada ibu di sini. Dia paham sakali kalau kelemahanku adalah ibu.
"Besok pagi datang ke acara amal ya, Sayang." Bujuknya lagi dengan nada mesra. Dulu pipiku akan memerah kalau Abizard seperti itu, kini tidak lagi.
Aku gak akan lupa acara makan malam dengan teman kantor. Dia malah di rumah sakit bersama Naila.
"Abizard ini kok ada anting. Antingnya siapa ya?" Tangan ibu membawa satu anting berlian yang dia temukan di sela jok mobil.
Abizard langsung mengerem mendadak sampai-sampai mobil di belakangnya menabrak bemper.
***
Seru nih kalau ibu tahu kelakuan Abizard 😎
Masih banyak gak sih yang nunggu cerita ini? Absen dulu dong kota mana aja. Kali aja bisa meet up kan kita.
Ramein ya komentarnya. Kalau rame aku update sehari 2 kali insyaallah 🙈
Mel~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top