(S)witch 9
Luna
Satya mungkin akan membunuh pria itu.
Aku tetap bungkam sementara pria itu—yang kemudian kuketahui bernama Ryan—dan Satya saling membentak, membentak, dan menunjuk satu sama lain. Mereka seperti binatang buas yang dikurung dalam satu kerangkeng dan siap saling bantai. Di saat yang sama, sang istri hanya diam di pojokan sambil memeluk putranya.
Seolah belum cukup, ruangan berukuran sekitar 4x4 meter itu semakin semarak oleh suara petugas keamanan yang berusaha melerai pertengkaran, serta tangisan anak laki-laki berusia sekitar empat tahun.
Yaah … mana mungkin anak itu tidak menangis saat melihat ayahnya dan seorang wanita asing mencak-mencak seperti orang kerasukan reog Ponorogo. Karena berusaha menolong anak itu pula lah aku mendapat masalah ini.
Aku dituduh mau menculik anak itu.
Beberapa menit lalu—yang rasanya seperti satu juta tahun yang lalu, aku keluar dari toilet setelah melakukan apa yang biasa dilakukan seseorang di dalam sana. Yang pasti bukan makan nasi Padang, rujak cingur, tahu petis, apalagi mukbang gulai Melung. (Nasi Padang masih bisa ditemukan di Surabaya, tapi gulai Melung? Mustahil! Jadi … lupakan! Itu membuatku lapar.) Dan enggak pakai acara salah masuk ke toilet cewek. Itu cuma ada di cerita-cerita komedi maksa.
Saat keluar, aku menemukan anak laki-laki itu, tengah berlarian seorang diri. Awalnya aku hanya mengawasi kalau-kalau orang tuanya datang. Namun, setelah beberapa menit tidak ada tanda-tanda keberadaan orang tuanya, aku memutuskan untuk menghampiri anak itu.
"Sayang, Papa sama Mama kamu di mana?" tanyaku. Namun, anak itu hanya berkedip-kedip menatapku dengan mata bulatnya yang membuat dia tampak imut.
Aku menggendong anak itu, berniat untuk menyerahkannya ke bagian informasi supaya pihak mall bisa mengumumkannya. Namun, baru berjalan beberapa meter, tiba-tiba ada yang meneriakiku, kemudian merebut anak itu dengan kasar dariku. Tanpa bertanya lebih dulu, ayah anak itu langsung memukulku. Dan di sinilah kami sekarang.
Aku menghela napas untuk yang kesekian kalinya, tetapi tidak mengatakan apa pun. Aku sedang sibuk menghayati denyutan di pipi, rahang, serta mata kiriku setelah dihajar oleh pria itu. Satu lubang hidungku disumbat tisu. Aku merasa seperti maling ayam yang tertangkap dan diamuk massa.
Satya mendelik pada pria itu, kemudian mengibaskan tangan ke arahku. "Lo pikir yang lo lakuin bener? Lo main pukul orang seenaknya tanpa nanya dulu kronologinya gimana. Lo pikir biaya perawatan buat ngilangin semua luka itu murah? Dan … emang tampang dia kayak muka kriminal apa gimana?"
Pria itu balas menatap Satya dengan tatapan tak kalah garang. "Nggak semua yang good looking itu baik, Mbak." Satya berjengit, kuduga dia lupa kalau untuk sementara waktu, dia seorang perempuan. "Banyak kok, orang yang mukanya kayak malaikat tapi kelakuannya kayak dajjal. Dan jelas-jelas dia mau nyulik anak saya. Zaman sekarang orang makin aneh-aneh. Nggak menutup kemungkinan kalau dia predator."
Kalimat terakhir itu bergema di seluruh ruangan. Sekejap, keadaan hening. Bahkan si bayi yang sedang menjerit-jerit pun sempat terdiam. Mungkin dia bertanya-tanya, Lha, kok, pada diem? sebelum beberapa detik kemudian kembali merengek.
Aku bisa mendengar suara saat rahangku terjatuh ke lantai. Hanya karena aku berusaha mengembalikan seorang anak yang terpisah dari orang tuanya, aku kemudian dituduh dengan keji?
Petugas keamanan yang bersama kami menatap Satya dan Ryan bergantian. Pria itu tampak waspada. Dari raut Satya, siapa pun tahu kalau tak lama lagi dia akan meledak. Si petugas keamanan tampak siap melemparkan diri ke tengah medan pertempuran kapan pun dirinya dibutuhkan.
Ekspresi Satya menggelap. Namun, alih-alih melemparkan kursi ke arah Ryan—yang sebenarnya agak kuharapkan. (Tolong jangan hakimi aku. Aku hanya wanita biasa yang bisa saja menyimpan dendam setelah digebuki sampai babak belur.)
Dia mulai mondar-mandir, kemudian bicara dengan nada sedingin kulkas-dua-pintu-dengan-suhu-maksimal, "Lo kayaknya bebal banget, ya? Atau lo nggak ngerti bahasa manusia? Lu—Satya udah jelasin niatnya, tapi kayaknya percuma ngomong sama manusia yang satu klan sama ubur-ubur …"
Tolong ingatkan aku agar menayakan pada Satya, apa hubungannya Ryan sama ubur-ubur dan Kerajaan Ubur-ubur yang sempat viral itu.
"... pokoknya pukulin dulu, nanya kebenarannya belakangan. Lo pasti tipe orang yang nonton video 30 detik di media sosial, terus udah ngerasa jadi yang paling ahli dan langsung asal nge-judge."
Satya berhenti tepat di depan Ryan, membusungkan dadanya dengan agak berlebihan. "Gue kasih tau, perbuatan lo itu bisa dituntut, lho. Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan. Luka berat lima tahun, sedangkan kalau mati bisa sampai tujuh tahun."
"T-tapi dia berusaha menculik …."
Satya memutar bola mata. "Jangan bebal, deh" selanya. Lalu dia menjentikkan jarinya, "Oh, ya, itu masuk ke pencemaran nama baik. Di sini pasti ada kamera pengawas, kan?" Dia beralih pada petugas keamanan yang langsung mengangguk membenarkan. "Pasti ada rekamannya. Bayangin, tindak penganiayaan dan pencemaran nama baik. Gue yakin hukumannya akan lama. Pas lo keluar dari penjara, anak lo udah gede," ujar Satya riang diikuti senyum mengejek. Sedangkan pria itu berubah pucat.
Aku terkesiap saat melihat pantulan wajah Satya di cermin. Mata kirinya bengkak, beberapa bagian di wajah memar, dan ada darah kering di sekitar lubang hidung. Benar-benar mirip korban amuk massa. Ketampanan yang selama ini Satya bangga-banggakan untuk sementara waktu tengah bersembunyi dibalik lebam.
Rintihan dan desisan menyedihkan keluar dari mulut ketika aku berusaha membersihkan wajah. Kemudian, terdengar pintu kamar tertutup dengan suara lumayan keras.
Kurasa Satya masih marah. Pasti.
Aku kembali ke kamar, merana dan sengsara seorang diri. Wajahku nyeri, Satya marah dan menolak bicara padaku. Sekarang, dia malah minggat entah ke mana.
Aku tidur-tiduran (sempat ketiduran juga kayaknya) sambil menikmati denyutan konstan di wajahku—yang rasanya selalu berpindah-pindah tempat. Terkadang di rahang, kemudian berpindah ke tulang pipi, lalu beralih ke hidung, dan sekarang malah di belakang mata seolah bola mataku seperti dikorek-korek.
Aku menggonta-ganti saluran televisi tanpa benar-benar menonton acara yang disiarkan ketika Satya kembali. Entah berapa lama cowok itu pergi, tetapi kurasa tidak sampai dua jam. Dia membawa beberapa kantong plastik yang berisi entah apa.
Raut wajahnya menyiratkan, Tolong biarkan aku sendiri. Aku masih marah. Jangan ganggu aku. Aku sedang berkabung atas ketampananku yang hilang.
"Bangun," perintahnya.
Aku berniat menolak sekadar untuk membuat cowok itu kesal, tetapi seketika mengurungkannya ketika melihat ekspresi Satya yang sepertinya sudah siap menelan ranjang hotel bulat-bulat.
Satya mengeluarkan sebuah kantong es (berisi es), kemudian memberikannya padaku tanpa mengatakan apa-apa. Aku tak perlu diberitahu dan langsung menempelkan kantong es itu ke mata kiriku—bagian yang menderita lebam paling parah dibandingkan seluruh area wajah.
Aku ingin tahu penjual es beruntung mana yang diborong dagangannya oleh Satya demi mendapatkan sekantong es batu.
Denyutan di wajahku terasa lebih baik. Bukannya menjadi lebih bisa dinikmati, hanya saja sudah enggak terlalu menyakitkan.
Satya mengulurkan dua butir pil berwarna putih yang dikeluarkannya dari salah satu kantong plastik yang dia bawa. Cowok itu masih tidak mau memandangku.
Aku menggumamkan terima kasih, kemudian meminumnya dengan air mineral botolan yang diberikan Satya. Cowok itu menggerutu, tetapi aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dia katakan.
"Gue udah beli makanan. Mau makan di ranjang apa di sofa?" tanyanya sambil sibuk mengeluarkan isi salah satu kantong plastik yang dia bawa tadi.
Dia sama sekali tak menanyakan apakah aku ingin makan atau tidak, hanya bertanya di mana aku akan makan. Kurasa seumur hidupnya Satya terbiasa memerintah dan tak pernah mendengar kata tidak.
"Sofa aja," aku bergumam, seraya bangkit dan berpindah ke sofa, dengan tangan tetap menekankan kantong es ke mata.
"Yakin?"
Aku mendengus. "Yang luka cuma wajah, bukan patah kaki," gerutuku.
"Cuma lo bilang?"
Aku terlonjak ketika Satya tiba-tiba meraung. Dia menatapku sengit. Aku sempat khawatir cowok itu akan nekat melemparkanku keluar jendela. Aku bisa membayangkan tubuhku hancur begitu menghantam tanah. Otakku berceceran, tulang-tulangku patah, darah di mana-mana, jeroanku… hentikan! Tidak perlu dibayangkan.
Lagi pula, kurasa dia tidak mungkin sebodoh itu. Kalau Satya membunuhku saat aku masih berada di dalam tubuhnya, maka cowok itu akan selamanya terjebak di dalam tubuhku. Satya takkan mengambil resiko kehilangan ketampanan dan tubuh indah yang sangat dipujanya.
Untuk sesaat, Satya hanya mondar-mandir sambil bergumam, menghela napas, mengumpat. Begitu terus siklusnya selama beberapa menit. Aku bisa mendengar dia bergumam, "Cuma wajah. Dia bilang cuma wajah …."
Ketika akhirnya Satya berhenti, dia berpaling dan memelototiku dengan garang sampai-sampai aku beringsut menjauh. "Lo …" jarinya teracung ke arahku. Kedua matanya memelotot, "... sebenernya lo punya otak apa nggak, sih? Berlagak sok pahlawan, tapi akhirnya apa? Gue yang jadi korban. Wajah tampan gue ancur! Aset yang selama ini gue jaga, sekarang lebam-lebam gegara lo!"
A-apa? Wa-wajah? Tunggu dulu. Jadi … Satya marah karena itu?
Aku megap-megap seperti ikan asma. Tak pernah aku begitu ingin membunuh orang seperti saat ini. Kupikir, Satya marah karena ayah anak itu menuduh dan menyerangku. Yaah, paling tidak sebagai bentuk solidaritas sesama orang yang saling bertukar tubuh.
Kedua tanganku terkepal di pangkuan. Aku merasakan sengatan ketika kuku menembus kulit. Kepalaku tertunduk. "Kamu mungkin nggak peduli dan nggak tau rasanya karena belum jadi orang tua, tapi aku punya anak," kataku lirih. "Aku emang bukan ibu yang sempurna, tapi aku bisa bayangin gimana rasanya kalau aku yang berada di posisi ibu anak itu."
Aku mendongak, balas menatap Satya. Menantang. "Aku nggak percaya pedukunan, tapi aku percaya karma. Karma baik, karma buruk—itu ada. Meski nggak mengharapkannya, tapi selama masih hidup, nggak menutup kemungkinan kalau suatu hari aku yang ada di posisi ibu anak itu. Dan aku nggak ingin terjadi apa-apa sama anakku hanya karena ketidakpedulian orang-orang sekitar."
Kami saling melemparkan tatapan sengit. Aku menahan tatapannya lagi untuk beberapa lama, sebelum kemudian mendengus seraya membuang muka.
Kami makan dalam keheningan, hanya ditemani suara pembawa berita dari televisi yang masih menyala. Aku makan dengan tetap menempelkan kantong es di rahangku untuk mengurangi nyeri saat mengunyah. Meski tak melihatnya, aku sadar betul dengan tatapan Satya setiap kali aku mendesis atau mengernyit barang sedikit saja.
Aku mengunyah salad sayuran yang dibelikan oleh Satya tadi dengan amat tidak bersemangat. Saat aku mengeluh, dia menjawab dengan nada datar, "Dari kemarin lo udah makan sembarangan. Terlalu banyak sampah yang masuk ke tubuh gue. Sekarang waktunya diet."
Aku mencebik mengecam. Makian tercetus dari mulutku.
"Hati-hati kebiasaan itu kebawa. Lo udah punya anak," ujar Satya, tanpa menoleh sama sekali—bahkan melirik pun tidak.
Di televisi, sedang disiarkan mengenai berita tentang begal yang diamuk massa sampai berdarah-darah. Aku mengernyit saat mendengar Satya bergumam, "Coba maling duit rakyat digebukin kayak gitu juga …."
Nafsu makanku sudah lenyap entah ke mana. Aku menghela napas panjang. Sekarang apa? Ke mana lagi kami harus mencari Ki Sut? Aku dan Satya bahkan tak memiliki petunjuk apa pun tentang dukun itu. Sedangkan, waktuku kian sempit.
Tiga hari lagi, aku harus sudah berada di kereta dalam perjalanan pulang. Tadi pagi aku masih di Jogja, tiba di Surabaya siang harinya, tapi rasanya sudah lama sekali. Namun, kemungkinan untuk segera kembali ke tubuh asliku justru terasa semakin menjauh. Tak terjangkau—bahkan nyaris mustahil jika menilik kondisi kami sekarang. Aku bisa melihat Ki Sut menyeringai mengejek padaku, kemudian berbalik dan berjalan menjauh.
Aku menyeret kesadaranku keluar dari lamunan, kemudian bangkit dari sofa.
"Ke mana lo?" tanya Satya tajam.
Aku menatapnya letih. "Mau ke kamar mandi. Kenapa? Mau ikut?"
"Ngapain?"
"Mukbang," sahutku ketus.
"Hahaha, lucu," sinisnya. "Jangan sampai digebukin orang lagi," sindir cowok itu, kemudian kembali mengalihkan perhatiannya ke televisi.
Aku mendengus.
Aku baru akan membanting pintu kamar mandi, tetapi terhenti ketika pembawa acara membacakan berita tentang festival itu.
"… Festival Dukun Nasional yang akan diadakan di Banyuwangi pada …."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top