(S)witch 5
Satya
Aku enggak mau percaya, tapi ini nyata.
Aku menghela napas entah untuk yang ke berapa kali. Di depanku, Luna tampak selemas aku. Sulit untuk memercayai kalau pertukaran tubuh ini disebabkan karena kutukan lelaki tua itu. Aku bertukar tubuh dengan seorang ibu rumah tangga karena dikutuk setelah cekcok sama kakek-kakek. Enggak keren banget! Minimal sama model, kek. Atau idol gitu.
Meski pertukaran tubuh ini sudah di luar nalar, aku masih berharap akan ada sebuah penjelasan ilmiah seperti di film sci-fi dan film fantasi luar negeri. Misalnya si Jellyman yang mendapatkan kekuatan supernya setelah dia disengat seribu ubur-ubur saat berenang di laut. Ubur-ubur yang menyengatnya ternyata sebuah hasil eksperimen laboratorium rahasia bawah laut yang tidak sengaja terlepas. Atau apalah, asal bukan karena kutukan kakek-kakek renta. Rasanya kayak di sinetron laga kolosal stasiun ikan terbang.
Aku mendengar Luna menghela napas, lagi.
"Sekarang gimana?" tanyanya.
Aku mengempaskan punggung ke kursi. "Yeah … apa lagi? Mau-nggak mau kita harus minta maaf sama kakek-kakek penjual jimat itu. Kita ngaku salah. Jangan lupa berlutut dan nangis kalo perlu, biar dia kasihan dan kelihatan lebih meyakinkan. Pokoknya sedramatis mungkin, deh. Tunjukin kalau kita nyesel.”
Luna memberengut. "Tapi buat apa minta maaf kalau aku nggak salah? Lagian, ya, belum tentu tubuh kita tertukar gara-gara kakek itu kan? Bisa aja karena hal lain," ujarnya.
Tatapannya menerawang. Sesaat, aku sempat mengira Luna memasuki kondisi trans seperti adegan di film-film. Namun, setelah menunggu, aku harus menelan kekecewaan karena Luna tak kunjung kesurupan. Padahal aku sedikit menantikannya.
Aku butuh hiburan.
Aku sedang mengagumi sekelompok cewek yang baru saja datang. Salah satu dari mereka—yang menurutku paling cantik mengatakan sesuatu-entah-apa, kemudian yang lain menanggapi sambil terkikik-kikik. Aku secara otomatis langsung menegakkan tubuh saat cewek itu melirik ke arahku, kemudian tersenyum—membuat otakku serasa lumer.
Kurasa, aku sudah menemukan tulang igaku yang hilang.
"Aku kayaknya tau caranya supaya bisa kembali ke tubuh kita masing-masing, deh," ujar Luna lambat-lambat.
Aku membalas senyuman cewek itu. "Gimana caranya?" tanyaku tanpa melepaskan pandangan dari bidadari di seberang meja.
"Aku pernah nonton drakor, tentang pertukaran jiwa gitu. Tokohnya cowok-cewek, mereka …."
Aku tak lagi mendengar sisa kalimat Luna. Tatapanku dan tatapan cewek itu kini terkunci. Senyum masih tersungging di bibirku. Aku mengangkat tangan kananku dan melambai. Kemudian, aku mengedipkan mata dan meniupkan ciuman ke arahnya.
Cewek itu menjerit. Eh, salah. Ada dua cewek yang menjerit. Setelah sepersekian detik, kusadari kalau salah satu dari dua suara yang kudengar adalah suaraku sendiri. Kakiku berdenyut-denyut.
Saat aku berpaling, aku mendapati wajahku sendiri berkerut-kerut jelek, dengan bola mata hampir keluar dari rongganya dan gigi bergemeletuk. Aku benar-benar bisa mendengar suaranya.
Aku mengingatkan diriku sendiri untuk tidak membuat ekspresi seperti itu, karena ketampananku jadi tersia-siakan. Bikin wajahku yang lebih ganteng dari Cha Eun-woo ini jadi enggak menarik sama sekali.
"Ngapain kamu godain cewek-cewek itu saat masih berada di tubuhku?" geramnya.
Aku memberengut sembari mengusap-usap tulang keringku yang sepertinya baru saja Luna tendang. "Lupa," kataku datar.
Seriusan, deh. Aku beneran lupa kalau sekarang lagi berubah jadi emak-emak.
Aku mendesah kecewa ketika melihat cewek itu terlepas dari genggaman tanpa bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Dia sempat menoleh sekali lagi sebelum terbirit-birit keluar dengan tatapan ngeri yang dialamatkan padaku.
Saat kembali berpaling pada Luna, tampangnya seperti siap menelanku hidup-hidup. Aku mengibaskan tangan tak acuh, lalu berkata, "Nggak usah diperpanjang. Gue beneran lupa. Tadi lo ngomong apa?"
Luna menatapku tajam. Aku mundur, memberi jarak lebih di antara kami—meski sebenarnya meja sudah memberikan jarak yang cukup. Untuk jaga-jaga saja, kalau-kalau Luna gelap mata dan menyiramkan kopinya ke wajahku. Setelah beberapa saat, dia memalingkan wajah seraya mendengus keras-keras. (Aku yakin dia berhenti memelototiku bukan karena emosinya reda, melainkan karena matanya perih setelah sekian lama memelototiku tanpa berkedip.)
"Nggak jadi!"
Diiih, ngambek.
Aku berusaha memasang wajah penuh sesal. "Maaf, deh. Gue beneran lupa, Lun. Sumpah," kataku. Repot banget urusan sama emak-emak gede ambek begini.
Luna melirikku tajam. "Saling jaga nama baik lah, selama kita bertukar tubuh. Jangan sampai orang mikir yang aneh-aneh tentang aku."
Cerewet.
"Iya, deh. Gue usahain nggak ngulangin lagi," kataku. Kemudian, aku menyunggingkan senyuman semanis diriku yang asli. "Tadi kamu ngomong apa, Manis?"
Anehnya, Luna sekarang tampak ragu. "Eh … tapi jangan diketawain."
"Nggak akan," sahutku mantap.
Tapi tergantung ….
Luna beringsut di kursinya. Wajahnya memerah. Ih! Rasanya kepingin nampol wajahku sendiri.
"Ng … kan jiwa kita tertukar, ya. Aku … aku dulu pernah nonton drakor yang tentang pertukaran jiwa. Yang tukeran jiwa juga cowok sama cewek. Mereka …."
"...."
"???"
Aku mengerjap.
'Hah? Gimana? Gue nggak salah denger kan? Drakor? DRAKOR?'
Otakku seketika terasa kosong. Jangan ketawa, aku mengingatkan. Namun, sekeras apa pun usahaku, aku tak sanggup menahannya. Luna belum selesai bicara ketika tawaku meledak. Aku terpingkal-pingkal sampai terjungkal dari kursi. Perutku sakit dan mataku berair.
Aku sama sekali enggak habis thinking sama jalan pikirannya. Maksudnya … ya ampun! Ini nyata. Kenapa malah bahas drakor?
Entah berapa lama aku tertawa. Rahangku sampai pegal karena tak bisa berhenti. Aku lebih baik sungkem sama kakek-kakek yang jualan jimat itu daripada mencari solusi jalur drakor.
Aku bangkit, kemudian kembali ke kursiku sambil megap-megap, berusaha menghentikan tawaku. Aku masih terkikik-kikik seperti cewek sinting selama beberapa saat.
Wajah Luna—wajahku merah padam. "Emangnya kamu punya solusi apa? Seenggaknya aku udah berusaha mikirin masalah ini saat kamu sibuk nakut-nakutin cewek asing! Yang jelas aku nggak setuju sama idemu buat minta maaf sama pedagang jimat itu. Nggak sudi!"
Ingin sekali kukatakan pada Luna, kalau punya pilihan, aku malah enggak mau bertukar tubuh seperti ini. Dan sampai sekarang, aku masih yakin kalau yang kulakukan itu nggak salah.
Penjual jimat itu penipu. Dia memanfaatkan orang-orang yang masih berpikir irasional demi keuntungannya sendiri. Meski alasan utamaku melakukan itu didasari atas ketidakpercayaanku pada hal-hal berbau magis.
Memang belum tentu juga penjual jimat itulah yang menukar jiwa kami. Lagi pula, memang bagaimana caranya menukar jiwa? Tidak mungkin manusia mampu memindahkan kesadaran seseorang ke tubuh orang lain. Enggak masuk akal. Namun, yang terjadi pada kami memang sudah tidak masuk akal sejak awal.
Setelah dipikir-pikir lagi, perjumpaan kami dengan si pedagang jimat, serta peristiwa yang terjadi saat itu yang meyakinkanku kalau lelaki tua itulah kunci masalah kami. Aku dan Luna sama sekali tak saling kenal dan tak pernah bertemu sebelumnya, jadi hanya peristiwa itu yang menghubungkan kami berdua.
Aku menyuarakan semua pemikiran itu pada Luna.
Luna, meski dengan enggan dan ekspresi tas suka di wajahnya, akhirnya mengakui kalau yang kukatakan mungkin ada benarnya. Kalau kami ingin segera kembali ke tubuh masing-masing, satu-satunya jalan yang ada saat ini hanya menemui pria tua itu dan meminta maaf.
Begitu keluar dari kafe, udara panas langsung menyambut kami. Setelah perdebatan penuh dengusan, desisan, geraman, dan bola mata yang berputar-putar, akhirnya kami sepakat untuk mencoba pergi ke lokasi terakhir si penjual jimat terlihat tadi malam. Luna memimpin jalan karena dialah yang tahu di mana tepatnya lokasi penjual jimat itu berada semalam.
Malioboro di siang hari juga ramai dengan wisatawan. Namun, aku tetap lebih menyukai Malioboro saat malam. Selain karena tak perlu berpanas-panasan saat menjelajahinya, di mataku Malioboro tampak lebih indah waktu malam.
Aku tak berharap bisa bertemu dengan lelaki tua itu di Malioboro siang ini. Namun, aku mengalah demi kedamaian hidupku. Supaya Luna tidak terus menerus merepet. Menurutnya, lebih baik kami mencari ke tempat yang lebih dekat dulu.
Aku mengernyit melihat cara perempuan itu berjalan. Sebenarnya tak ada yang salah—jika dia dalam wujud aslinya, bukan dalam wujud seorang pemuda dengan tinggi lebih dari 180 sentimeter serta tubuh yang lumayan kekar dan bahu seluas samudera. Sebagai pria sejati, rasanya ingin muntah melihat bokongku sendiri megal-megol tepat di depan wajahku.
"Lun, jalannya jangan gitu, dong," protesku. Aku tak mau orang-orang mengira aku salah satu member Paguyuban Cowok Tulang Rawan. Jangan sampai citraku sebagai playboy paling populer seantero Jakarta ternodai. Jika mengumpulkan semua mantanku sejak pertama kali pacaran, aku bahkan bisa mendirikan kota sendiri.
Luna berhenti, kemudian berbalik menatapku. Wajahnya memberengut. Aku curiga kalau ekspresi itu memang sudah bawaan sejak lahir. "Terus aku harus gimana?" tantangnya.
"Ya yang manly dikit lah. Inget, untuk sementara ini lo cowok. Lo harus jalan kayak gue." Aku memberi contoh.
"Terus apa kamu lupa kalo sekarang kamu ini perempuan? Jangan ngangkang gitu!" pekiknya. “Dan jangan nggaruk-nggaruk dada terus!”
Aku memutar bola mata. “Pada dasarnya gue ini cowok tulen, bestie. Mana ada cowok yang nyaman pake bra. Dan tentang cara jalan, gue nggak mungkin bisa terbiasa dalam sekejap," jawabku enteng. Kemudian, aku menegaskan, "Segalanya butuh proses."
Luna berkacak pinggang. “Kalau gitu, anggap aja kalau aku juga butuh proses untuk bisa jadi kayak kamu seutuhnya. Aku ini perempuan tulen, Say,” balas perempuan itu, kemudian memutar tubuh dengan gestur centil minta ampun, mengibaskan rambut imajinernya, lalu meninggalkan aku yang megap-megap kehabisan kata-kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top