(S)witch 4
Luna
Harga segelas kopi di sini bisa buat beli beras lima kilo.
Hal itulah yang pertama kali terpikir olehku ketika melihat harga yang terpampang di daftar menu. Aku mengantre di depan konter sembari mencari makanan dan minuman dengan nama yang familier bagiku-yang tentu saja tidak ada. Harga menu termurah di sini rasanya masih terlampau mahal buatku. Aku harus merogoh kocek sekitar enam puluh ribu hanya untuk sepotong kue yang sepertinya tidak akan membuatku kenyang sampai siang.
Beli kopi sama kue doang bisa buat beli Indomie satu karton. Itu juga masih dapat kembalian, pikirku merana. Meski begitu, demi mempertahankan harga diri serta egoku, maka aku tetap memesan makanan di sini. Toh, aku membayar menggunakan uang Satya. Ha! Bukannya aku tidak mampu bayar sendiri, tetapi Satya yang bersikeras bahwa dia yang akan menanggung semua pengeluaran selama kami bertukar tubuh.
"Lo bakal makin miskin kalo ngikutin gaya hidup gue. Uang yang ada di dompet lo bahkan nggak cukup buat jajan gue sehari."
Akhirnya giliranku tiba. Aku mengatakan pesananku, lalu beberapa menit kemudian, aku kembali ke meja tempat Satya menunggu membawa segelas caramel macchiato dan sepotong classic dark chocolate cake.
Pemuda itu mengernyit saat melihat apa yang kupesan. "Lo lagi bikin proyek pelebaran badan?"
Sebagai jawaban, aku mendengus keras-keras.
"Apa gue harus ngingetin lo lagi? Lo harus jaga apa yang lo makan selama masih ada di tubuh gue. Jangan makan sembarangan. Jangan keseringan makan makanan manis sama yang berminyak. Jangan makan makanan laut. Apa pun. Gue punya-"
"Alergi," potongku. "Aku masih inget, Sat. Jangan cerewet, deh."
"Dan jangan asal motong nama gue," kataku gusar. "Nggak enak banget didengernya. Jangan medok."
Aku mengabaikannya. Aku menyesap minumanku dan seketika rasa manis langsung menyebar di mulutku. Rasa kopinya tidak terlalu kuat. Aku menyesapnya sekali lagi, kemudian mendecap-decap. Entah apa yang kuharapkan, tapi bagiku, untuk kopi seharga hampir tujuh puluh ribu, rasanya mengecewakan. Terlalu manis. Sampai aku sulit membedakan mana kopi-mana janji para politisi.
"Kenapa muka lo kayak gitu?" tanya Satya.
"Harganya mahal, tapi rasanya nggak jauh beda sama kopi Bad Day," gumamku tak habis pikir.
Satya memelotot sampai kukira bola matanya akan menggelinding keluar.
Melihat ekspresi Satya, alisku terangkat tinggi sampai ke ubun-ubun. Mataku melebar sebesar piring prasmanan. "Apa? Aku cuma berpendapat. Apa salahnya? Ini negara demokrasi. Jangan kayak pejabat yang dikritik dikit langsung ngambek," kataku. Kuangkat gelas minumanku, kemudian mengamatinya dengan heran. Dalam hati bertanya-tanya mengapa orang mau membayar mahal untuk minuman dengan rasa biasa-biasa saja seperti itu.
Satya menggerutu.
"Buat menghemat waktu, gue langsung cerita aja. Entah ini ada hubungannya apa nggak, tapi gue ngerasa kalau yang gue alamin ini jadi penyebab kondisi kita sekarang. Lo cukup diem dan dengerin cerita gue. Jangan motong, jangan nanya. Lo baru boleh ngomong kalo gue udah selesai cerita," ujarnya. "Paham?"
Melihat raut wajahnya yang begitu serius, aku hanya mengangguk seraya bergumam, "Oke." Aku harus menahan diri untuk tidak bersimpuh di hadapannya dan memanggil Satya Ndoro.
"Gue sampai di Jogja dua malam lalu ...."
Tanpa bisa menahan diri, aku bertanya, "Aku kemarin sore. Tapi, apa hubungannya sama masalah kita?"
Aku langsung terdiam ketika pemuda itu menatapku tajam.
Kemudian, dia mulai menuturkan ceritanya tentang kegiatannya selama di Jogja. Sambil mendengarkan pembicaraan satu arah yang tak jelas juntrungannya ini-sesekali menimpali dengan komentar-komentar yang membuat pemuda itu langsung memelototiku-aku menyibukkan diri dengan kue di hadapanku. Kuenya lembut dan creamy. Tidak terlalu manis dan tidak terlalu pahit juga. Kue ini mengingatkanku pada Kala. Putriku sangat menyukai segala makanan yang terbuat dari coklat.
"... di Alun-alun Kidul, Dima ngerengek ngajakin gue ikutan ritual masangin. Lo pernah denger kan? Yang jalan ngelewatin pohon beringin kembar dengan mata tertutup ...."
Aku mencibir. "Ih ... kamu percaya mitos begituan?"
Satya mengabaikanku dan terus melanjutkan cerita. Kemudian, sampai pada bagian saat Satya berada di pasar Beringharjo dan membuat ulah dengan mengejek seorang kakek tua penjual jimat. Seiring ceritanya bergulir, ingatanku seperti tergelitik. Aku merasa seperti pernah mengalaminya.
Tapi kan, aku belum sempat ke pasar Beringharjo.
Entah berapa lama aku termenung, karena aku tersentak ketika tiba-tiba Satya menepuk lenganku. "Lun, lo dengerin gue nggak, sih?"
Reaksiku agak terlambat. Aku menekankan kedua telapak tanganku di dada. Mata membelalak. "Ya ampun, jangan ngagetin, dong!" omelku. "Aku denger, kok. Aku cuma lagi nyoba nginget sesuatu."
Entah berapa lama aku diam, berusaha memunguti potongan-potongan ingatanku yang tercecer.
"Tadi malam aku ketemu sama kakek-kakek yang ciri-cirinya persis kayak yang kamu sebutin. Orangnya kecil, kurus, pake baju serba hitam," kataku lambat-lambat. "Dia juga jualan jimat, ngakunya dapet warisan dari bapaknya. Tapi aku ketemunya di Malioboro, bukan di Beringharjo ...."
Sesampainya di Jogja kemarin sore, aku langsung menuju penginapan di daerah Banguntapan. Sebelum berangkat, aku sudah mencari tahu penginapan yang murah dan dekat dengan lokasi pernikahan diselenggarakan. Jaraknya tak sampai sepuluh menit berjalan kaki. Meski tempatnya tak terlalu bagus-tidak seperti foto yang dipajang di situs web-nya, setidaknya aku tak perlu memusingkan tempat menginap selama di Jogja.
Jam menunjukkan pukul delapan malam saat aku keluar dari penginapan, pergi ke Malioboro.
Toko-toko yang menjual oleh-oleh serta souvenir khas Jogja berjajar di sepanjang jalan. Mulai dari bakpia, kaus yang disablon dengan gambar-gambar serta tulisan yang ikonik tentang Jogja, kalung, gantungan kunci, dan banyak lagi. Aku ingat sudah membeli kaus untuk suami serta putriku.
Tiang-tiang lampu berjajar rapi dari ujung ke ujung. Di samping tiang lampu, terdapat bangku panjang. Lelaki-perempuan, tua-muda, anak kecil-orang dewasa, pasangan kekasih-keluarga, semuanya ada di sini. Kebahagiaan terpancar jelas dari senyuman di wajah mereka.
Aku beruntung karena semalam bisa melihat grup angklung yang setahuku memang sudah biasa tampil di jalan Malioboro. Tak sedikit wisatawan yang merekam aksi mereka menggunakan kamera ponselnya. Bahkan ada yang ikut menyanyi dan menari.
Aku sudah berniat kembali ke penginapan ketika melihat si penjual jimat. Dia menggelar dagangannya di depan sebuah toko, tepat di sebelah penjual gantungan kunci. Pencahayaan di tempat itu lumayan terang. Sebagian besar wisatawan hanya meliriknya sekilas dan tidak mau repot-repot berhenti, tetapi ada juga beberapa orang yang berhenti menonton atraksinya.
Aku mengatakan atraksi karena saat aku mendekat, dia sedang menunjukkan sebuah botol kecil berisi beberapa helai ... ijuk? Awalnya aku mengira begitu. Kemudian, pria tua itu mengatakan kalau benda yang kukira rontokan rambut itu adalah bulu perindu.
Aku tak asing dengan istilah itu.
"Bulu perindu asli. Mahar murah. Cukup tiga ratus ribu saja. Bisa digunakan untuk pemikat lawan jenis; membuka aura; untuk penglaris dalam berdagang; untuk melunakkan hati; untuk menarik simpati. Pokoknya multifungsi. Ada yang bisa dibantu, Nduk?"
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mengira pria tua itu sedang bicara kepada orang lain, tetapi ternyata dia menatap lurus padaku. "Saya?" tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri.
"Iyo, Nduk. Bulu perindu juga bisa untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, lho. Biar suaminya terus-terusan nempel kayak perangko," ujarnya, kemudian terkekeh.
Aku mengernyit. Apaan, sih! Eh, tapi dari mana dia tahu aku udah nikah? Paling cuma asal nebak.
"Secara kasat mata aja kelihatan jelas kali. Lemak lo aja di mana-mana," komentar Satya sinis saat aku menyuarakan kebingunganku itu.
Aku mendengus. "Cowok tapi mulutnya nyinyir kayak admin akun Lambe Curah," balasku. Kemudian, aku melanjutkan cerita.
Lelaki tua itu bertanya, "Piye, Nduk?"
Aku tersenyum dingin. "Saya nggak minat dan nggak percaya hal-hal begituan, Pak. Rumah tangga saya baik-baik aja, nggak butuh pake bulu-buluan begitu. Bulu di rumah tangga saya sudah terlalu banyak. Saya nggak tahu itu bulu apaan, tapi rasanya mustahil sehelai bulu bisa bikin rumah tangga langgeng."
Mata pria itu melebar. "Lho lho lho, jangan asal bicara kamu, Nduk. Ini bulu sakti, lho. Bisa kualat kamu nanti. Apa kamu mau bukti?"
"Coba," tantangku.
Lelaki tua itu mengeluarkan bulu perindu dari wadahnya. Aku mendadak mual saat melihat dia memasukkan bulu itu ke mulutnya. Helai-helai itu kini lepek dan basah oleh liur. Dia meletakkan bulu perindu itu di telapak tangan, kemudian mulai berkomat-kamit membacakan mantra.
"Bismillahirrahmanirrahim. Asihan pimuruyan. Luwah aing. Luwah culika ...."
Aku tak bisa mendengar dengan jelas apa yang dia bacakan, tetapi lelaki tua itu terus berkomat-kamit sambil memelototi bulu-bulu tak berdosa tersebut.
Aku menguap lebar, menunggu-nunggu apa yang sebenarnya ingin ditunjukkan lelaki itu. "Masih lama, nggak? Saya sudah capek. Pengen istirahat. Besok mau pergi kondangan."
"Tunggu sebentar! Lihat, bulunya sudah mulai bergerak," dia berseru kegirangan.
Aku membungkuk. Mataku menyipit. Namun, setelah ikut-ikutan memelotot sampai mataku berair, bulu-bulu itu bergeming.
Dia mulai gila dan aku malah ikut-ikutan, batinku saat menoleh ke arah si pria tua yang masih memelotot.
"Maaf, tapi saya nggak bisa nunggu lagi. Kayaknya tadi Bapak salah ngucapin mantra, deh. Mana bisa manggil setan pake bismillah? Yang ada mereka jadi pada kabur. Terus bahasa yang Bapak pakai juga salah. Ini di Jogja, seharusnya Bapak pakai bahasa Jawa, bukan bahasa Sunda. Setannya jadi nggak tahu kalau Bapak manggil-manggil dari tadi."
Aku mendengar beberapa orang tertawa.
Wajah pria tua itu merah padam. Matanya memelotot, menatap sengit ke arahku. Otot-otot di wajahnya menonjol. "Hati-hati, Nduk. Kamu berani mempermalukan orang yang jauh lebih tua darimu. Ndak tau tata krama. Lihat saja nanti, kamu pasti akan menyesal. Kamu akan kehilangan hal-hal yang paling kamu cintai. Tidak akan ada yang bisa menolongmu."
Aku tersenyum kecil. "Saya bisa menolong diri saya sendiri," kataku dengan sangat yakin, kemudian meninggalkan pria tua itu yang tengah menyumpah-nyumpah dalam bahasa Jawa.
Sekarang aku tak yakin bisa menolong diriku sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top