(S)witch 3
Satya
"Kamu gila, ya?" ujar suara di balik sambungan telepon.
Ingin rasanya kutarik kembali kata-kataku. Pertukaran jiwa? Ih! Bisa-bisanya aku memikirkan gagasan itu. Mengatakannya keras-keras pula. Namun, memang apa istilah yang lebih tepat untuk menyebut peristiwa aneh yang menimpaku dan Luna? Pertukaran tubuh? Ah, secara teknis sama saja.
"Terserah lo mau percaya apa nggak sama kata-kata gue. Emang lo ada penjelasan lain tentang semua ini?"
Aku duduk bersila di lantai sambil membolak-balik KTP dengan nama Luna Kaliandra di tanganku. Ponsel Luna yang sudah babak belur menempel di telingaku. Kulit pahaku yang bersentuhan langsung dengan lantai terasa dingin.
"Dari mana kamu tahu kalo aku ada di tubuhmu?" tanya Luna di seberang panggilan dengan nada curiga.
Aku mengernyit. Ngomongnya medok banget. "Gue nggak mungkin salah ngenalin nomor hape gue sendiri," kataku.
Sebenarnya, aku tidak mengira kalau telepon yang kujawab itu berasal dari nomor ponselku. Tadi ada panggilan masuk dari kontak bernama 'Mas Senja'. Penelpon itu melakukan panggilan berulang kali meski aku tak menjawabnya. Saat panggilan berikutnya masuk, aku tak melihat kalau nomor si penelpon tidak ada pada daftar kontak ponsel Luna. Aku baru mengecek nomornya ketika mengangkat telepon dan mendengar suaraku sendiri yang berbicara padaku.
“Kamu bisa aja cuma ngaku-ngaku,” tukasnya.
Astaga!
Aku memijit-mijit pelipisku. “Nama gue Satya Naratama, umur 24 tahun. Tanggal lahir 16 Februari.”
“Bisa aja itu cuma hasil nebak,” ujar Luna nyolot.
Ingin rasanya kucekik diriku sendiri sampai mati.
“Gue punya tato di rusuk kiri dan pinggul. Di rusuk tulisan nevermind, yang di pinggul gambar buaya,” kataku.
“Masa, sih?” Luna terdengar tak percaya. Hening sesaat sebelum dia berkata lagi, “Bukan buaya, ah. Menurutku lebih mirip cicak bertaring. Tadi aku malah sempat mengira ini tompel.”
Aku terperangah. C-cicak bertaring dia bilang? Tompel?
“Dasar nggak tahu seni!” tukasku kesal.
“Aku hanya mengutarakan pendapat,” ujar Luna enteng. Aku bisa membayangkan dia—dalam wujudku, mengangkat bahu dan memasang ekspresi tak acuh.
Aku mengembuskan napas kasar. Kenapa malah jadi bahas tato, sih? Padahal ada masalah yang jauh lebih penting.
“Sekarang gimana?” tanya Luna. Aku geli mendengar suaraku berbicara dengan nada merengek seperti itu.
"Gimana apanya?"
"Ya kita lah. Memang apa lagi? Aku harus pulang empat hari lagi. Aku nggak mau kelamaan ada di tubuhmu!"
Aku harus menjauhkan ponsel dari telinga ketika Luna meneriakiku. "Duh, nggak perlu ngegas gitu, Non. Gue juga nggak lagi kegirangan banget bertukar tubuh sama lo. Kalo bisa request, gue bakal minta tukeran tubuh sama model-model Victoria Secret. Tubuh lo jelek banget sumpah. Lo nggak pernah olahraga ya? Lemak lo melebar ke mana-mana. Payudara lo kendur pula. Muka lo juga …."
"Stop!" Luna berseru. "Bisa nggak, serius dikit? Kita harus mikirin cara supaya bisa balik ke tubuh masing-masing, bukannya malah sibuk ngomentarin bentuk tubuh orang lain."
Orang ini enggak bisa diajak becanda. Padahal kan niatku baik, supaya kami enggak terlalu tegang. Lagi pula, tadi dia duluan yang sudah menghina tato buaya kesayanganku. "Uh, sori," kataku tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Luna menggerutu tak jelas.
"Kita harus ketemu.”
Kalimat itu diakhiri dengan titik, bukan tanda tanya. Jadi, dia sama sekali tidak sedang meminta pendapatku. Sebenarnya aku akan mengusulkan hal serupa, tapi keduluan oleh Luna.
"Kenapa gue harus nurutin perkataan lo?" tantangku. Perintah dari orang tuaku saja kuabaikan, apalagi Luna yang jelas-jelas orang asing bagiku.
Aku mendengar Luna mendengus. "Harus aku jelasin, ya? Kita harus mencari tahu penyebab pertukaran jiwa ini, serta cara supaya bisa kembali ke tubuh kita sendiri," ujarnya.
Aku tidak langsung menjawab. Yang dikatakan Luna memang benar adanya, tapi aku enggak mau Luna merasa menang jika serta-merta menurutinya. Aku memberi jeda—menghitung sampai sepuluh sebelum kemudian berkata, "Oke." Sebisa mungkin memberikan kesan enggan dalam suaraku. "Di mana?"
Terjadi jeda. Apa Luna melakukan permainan yang sama sepertiku?
"Ada saran? Aku nggak tahu banyak tempat di Jogja," ujarnya. Kemudian, dia kembali berkata dengan panik, "Eh, tunggu dulu. Omong-omong, kamu di Jogja juga, ‘kan? Jangan bilang kamu lagi di Jakarta."
"Yeah … gue di Jogja," jawabku malas.
Sepuluh menit berikutnya kami lewatkan dengan memperdebatkan tempat serta waktu pertemuan. Aku dan Luna saling memberitahu di mana kami menginap untuk mempermudah menentukan lokasinya.
Sekitar sejam kemudian, aku sudah berada di sebuah kedai kopi di Malioboro dengan segelas americano dan satu cinnamon roll di hadapanku.
Setelah mandi dan dengan sedikit usaha, serta sentuhan dari tangan emasku, Luna rasanya enggak jelek-jelek amat. Tidak secantik Aura Kasih memang, tapi lumayan lah. Lagi pula, enggak mungkin aku bisa mengubah segunduk bunga pasir menjadi bunga desa dalam sekejap, kan?
Aku memadukan kemeja oversize dengan celana legging hitam yang berhasil kutemukan di tas Luna. Celana ini aneh. Aku memakai celana, tetapi tidak merasa sedang memakai celana. Mana bra-nya yang berenda-renda membuat bagian bawah payudaraku gatal. Eh, sejak kapan aku mengakui ini milikku?
Kuikat rambut panjangnya menjadi ekor kuda. Tak lupa, kusapukan juga bedak tipis-tipis ke wajah Luna.
Aku sudah hampir menghabiskan makananku ketika ponsel Luna berdering. Nada deringnya norak banget sumpah. Tulisan Makhluk Tuhan Paling Ganteng terpampang pada layar. Tadi aku berhasil membujuk—atau lebih tepatnya memaksa Luna untuk memberitahuku nomor pin ponselnya.
"Ya," jawabku dengan mulut penuh makanan.
"Aku udah di depan kedai kopinya. Kamu di mana?"
"Masuk. Aku udah di dalam. Di meja paling pojok sebelah kanan kalo dari pintu masuk."
Luna menggerutu, tetapi tak tahu apa yang perempuan itu katakan. Enggak peduli juga. Sekitar semenit kemudian, aku melihat Luna—tubuhku sendiri, berjalan melewati pintu masuk. Dia berhenti sejenak, tampak ragu.
Aku terkesiap ketika tiba-tiba tatapan kami bertemu.
Aku tak menyiapkan diriku untuk ini. Aneh rasanya mengamati tubuhku sendiri berjalan menghampiriku. Namun, meski berada di dalam tubuhku, memiliki wujudku, dan mengenakan pakaianku, gesturnya jauh berbeda denganku. Mulai dari caranya berjalan, cara tangannya berayun, sampai panjang tiap langkah yang diambil. Bahkan caranya berkedip dan menarik napas pun berbeda. Gerak-geriknya memancarkan kesan feminim.
Kuakui kemampuannya dalam memadu-padankan pakaian tidak terlalu buruk. Jin, kaus putih polos, serta kardigan abu-abu. Kekhawatiran tentang penampilanku selama kami bertukar tubuh jadi agak berkurang.
Tubuhku sendiri—Luna, kini berdiri menjulang di depanku—membuatku merasa seperti cebol. Baru kusaradari tubuhku sebesar itu. Untuk sesaat, kami hanya saling tatap dan saling mengamati satu sama lain.
"Ya ampun, ternyata ini beneran," gumamku ketika sadar dari keterpanaanku. Di saat yang hampir bersamaan, Luna juga berbisik, "Ya Tuhan," sambil menutupi mulut menggunakan kedua tangan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top