(S)witch 2


Luna

Kasurnya empuk banget. Terlalu empuk. Padahal seingatku, kasur di kamar penginapanku tak seempuk ini. Kamar ini juga wangi. Bukan aroma kapur barus yang identik dengan mayat seperti kamar tempatku menginap, melainkan wangi segar yang membuatku serasa berada di kebun bunga. Dan selimutnya, ya Tuhan … halus banget. Pantat bayi saja sepertinya kalah lembut. Aku tidak bisa mengatakan selimutnya selembut sutra, karena aku bahkan tidak tahu seperti apa tekstur kain sutra. Kalau sutra yang lain, aku paham. Eh.

Kamar ini juga terasa dingin dan agak semriwing, padahal semalam saat aku pergi tidur, panasnya sudah kayak di tungku neraka. (Ini cuma perumpamaan, lho. Bukan aku beneran sudah masuk ke tungku neraka.)

Apa semalam hujan, ya?

Kemudian, aku mendengar nada dering yang asing di telingaku, berupa cericip suara burung. Tak sulit untuk mengabaikannya. Kurapatkan selimut, lalu kubenamkan wajahku ke bantal. Namun, hanya selang beberapa detik setelah nada dering itu berhenti, suara itu kembali terdengar.

Aku berusaha untuk tak mengacuhkannya, tetapi benda itu tak mau berhenti berbunyi. Tanganku meraba-raba, mencari ponsel pintar yang semalam kusambungkan ke pencatu daya. Dengan sisa-sisa tenaga yang kupunya, kuseret tubuhku untuk bangun saat teringat tujuanku datang ke Jogja, yaitu menghadiri pesta pernikahan teman lamaku.

Aku duduk di atas tempat tidur dengan kedua mata masih terpejam, kemudian mulai menggaruk-garuk kepalaku. Seperti ada yang berbeda, tapi aku tak tahu apa. Kepalaku terasa … ringan, seolah seluruh beban hidupku sudah terangkat.

Aku menguap lebar. "Duh, males banget. Aku masih ngantuk."

Tubuhku menegang. Kantukku lenyap seketika seolah baru saja diguyur dengan air panas (karena air es sudah terlalu biasa.) Mataku terbelalak. Napasku memburu. Aku merasa mendengar suara laki-laki. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tak ada siapa pun di sini selain aku. Apa mungkin orang itu bersembunyi? Aku mengamati sepenjuru ruangan, kemudian mengerjap-ngerjap.

Lho, aku di mana?

Aku tak mengenali kamar tempatku berada sekarang. Kamar ini jauh lebih luas, lebih bersih, lebih mewah, lebih segala-galanya dibandingkan dengan kamar tempatku menginap semalam. Termasuk lebih berantakan.

Dinding kamarnya dicat dengan perpaduan warna krem dan coklat tua seperti kayu pernis. Tepat di depan tempat tidur, ada sebuah televisi layar datar berukuran besar menempel ke dinding. Jendelanya yang sangat lebar tertutup tirai berwarna krem. Di sebelahnya, terdapat sofa serta sebuah meja bundar kecil. Ada juga satu set meja rias dengan cermin bulat berukuran besar. Pada dinding di atas sofa, ada sebuah AC yang mengarah langsung ke ranjang. Aku juga melihat kulkas kecil serta sebuah pesawat telepon.

Di samping tempat tidur, ada nakas dengan sebuah lampu tidur dan ponsel pintar yang sedang dicatu daya. Hanya dengan melihat sekilas saja aku tahu kalau ponsel itu mahal dan sepertinya masih baru. Case-nya masih mulus, tidak seperti ponselku yang sudah baret di mana-mana dan terdapat retakan di bagian layarnya.

Aku terkesiap ketika melihat pakaian laki-laki berupa celana jins, kaos putih polos, jaket parka abu-abu, serta sepatu teronggok begitu saja di lantai samping tempat tidur.

Ya Tuhan! Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku tiba-tiba ada di sini? Apa mungkin tadi malam aku dibius saat dalam perjalanan kembali ke penginapan? Mungkinkah aku diculik sindikat perdagangan manusia? Mereka mungkin akan menjual organ tubuhku. Aku sadar enggak cantik-cantik amat, jadi kecil kemungkinan dijadikan wanita penghibur. Tapi, kalau mereka berniat menjual organ tubuhku, kenapa aku dibawa ke kamar mewah ini?

Meski agak terlambat, kusilangkan kedua lenganku menutupi dada dan langsung memekik. Bukannya menyentuh kain daster kesayanganku yang kupakai semalam, tanganku justru langsung bersentuhan dengan kulit telanjang. Bukan hanya karena mendapati tubuhku setengah telanjang, melainkan di tempat yang seharusnya terdapat gundukan aset paling berharga keduaku, kini rata.

Ya! Ra. Ta. Tidak ada jejak-jejak sisa keberadaannya sama sekali. Hilang. Lenyap. Musnah. Raib.

Saat memekik, bukan suara melengking yang kudengar, melainkan suara rendah dan berat. Ngebass dan tidak ada kesan ceweknya sama sekali. Dengan gemetar, kuarahkan tanganku ke tenggorokanku dan merasakan sebuah tonjolan kecil di sana. Aku juga menyentuh rambutku yang kini pendek.

"Mungkinkah …."

Awalnya aku berniat turun dari ranjang, tetapi malah terjatuh bak sekarung beras. Aku merintih dan mengumpat pelan sambil berusaha membebaskan diri dari selimut yang membelit kakiku. Bukannya mendarat di lantai yang keras dan dingin, aku malah jatuh ke karpet yang sangat lembut dan tebal.

Setelah berhasil membebaskan diri, aku bangkit sembari menggosok-gosok sikuku. Aku melangkah perlahan ke depan meja rias dan langsung bersitatap dengan sosok pemuda asing yang belum pernah kujumpai sama sekali. Rambutnya acak-acakan. Matanya terbelalak. Mulutnya ternganga. Segala hal yang ada dari sosok di cermin memancarkan kesan yang cowok banget.

Kemudian, aku menunduk perlahan. menatap bagian di antara kedua pahaku dengan jantung berdebar-debar. Di sana, tampak tonjolan yang—seolah sesuatu itu ingin menegaskan eksistensinya di jagad raya. Aku bahkan seperti bisa mendengar makhluk itu berteriak, “Hey, lihat aku! Aku di sini!” sambil melambai-lambai dengan penuh semangat.

Aku memang sudah menikah, tetapi bukan bukan berarti bisa dengan santai melihat yang bukan milik suamiku. Dan tanpa bisa kutahan lagi, aku menjerit.

Aku tak tahu bagaimana menjelaskan situasiku saat ini. Mengapa aku berubah menjadi seorang laki-laki? Yang terpenting, bagaimana bisa? Setahuku, operasi ganti kelamin saja membutuhkan waktu cukup lama dalam prosesnya. Baik pengerjaan maupun penyembuhannya. Namun, yang kualami ini terjadi hanya dalam sekejap.

Semalam masih perempuan, kemudian … triiing! terbangun dalam wujud laki-laki. Tubuh laki-laki tulen. Lengkap—komplet dengan jakun beserta segala onderdilnya.

Aku tiba di Jogja kemarin sore untuk memenuhi undangan pernikahan dari teman satu angkatanku di SMA, menginap di penginapan bertarif murah untuk menghemat ongkos. Pertengkaran dengan suamiku bahkan masih segar di ingatan, yang kemudian berakhir dengan aksi saling diam selama dua hari terakhir. Dia tak terlalu setuju aku pergi ke Jogja seorang diri

"Kamu harus langsung pulang setelah acaranya selesai. Nggak ada yang jagain Kala. Jum'at Ibu sama Bapak mau pergi ke Solo," ujar Mas Senja dingin—saat mengantarku ke stasiun di Purwokerto kemarin.

Aku menahan dorongan untuk mendengus. "Aku tahu, Mas. Nggak perlu terus-terusan diingetin," tukasku ketus.

Aku meraih tangan Mas Senja, kemudian mencium punggung tangannya dan melepaskannya lagi dengan cepat. Setelah itu, aku berbalik dan melangkah memasuki stasiun tanpa menoleh lagi, menyongsong kebebasanku.

Perjalanan dari Purwokerto ke Jogja memakan waktu hampir tiga jam. Kereta berangkat pukul dua siang dan tiba hampir pukul lima sore. Aku turun di stasiun Lempuyangan, melanjutkan perjalanan ke penginapan di daerah Banguntapan menggunakan TransJogja.

Entah berapa lama aku berdiri termenung di depan meja rias. Aku berharap ini hanya mimpi. Namun, setelah mencubit lenganku dan terasa sakit, aku tahu kalau ini nyata.

Kuamati wajah asing yang terpantul di cermin.

Meski seorang laki-laki, kulit pemuda ini mulus, cerah, dan bersih bak bintang iklan produk perawatan kulit. Tidak ada bopeng ataupun jerawat, tidak ada semili pun kulitnya yang berkilap karena minyak. Kulit kusam? Kerutan? Komedo? Flek hitam? Cih! Itu mungkin hanya mitos untuk pemuda asing ini. Aku bahkan iri dibuatnya.

Aku memiringkan wajah baruku ke kiri dan ke kanan. Setelah dilihat-lihat, kuakui pemuda ini ganteng juga. Dengan rahang kokoh, hidung mancung, serta sorot mata tajam. Tubuh laki-laki ini sepertinya terdiri dari 99% otot dengan roti sobek menempel di perutnya. Oh, ya. Sudahkah aku mengatakan kalau dia punya tato di rusuk kirinya?

Pokoknya, tubuh baruku ini persis seperti bayangan cewek-cewek halu di sebuah aplikasi baca novel gratisan yang pernah eksis seribu tahun yang lalu—bahkan lebih menarik. Menurutku, dengan bermodalkan bentuk tubuh seperti ini, dia pasti akan sangat cocok menjadi bintang film bokep atau gigolo.

Aku menghela napas. Perubahan wujud yang misterius ini takkan pernah terpecahkan jika aku hanya berdiam diri dan mengagumi wajah baruku di depan cermin.

Aku duduk bersila di tengah tempat tidur, sedang memeriksa ponsel pemuda pemilik asli tubuh ini. Aku tak lagi setengah telanjang, sudah memakai kaus serta celana training berwarna abu-abu monyet. Aku cukup beruntung karena ponselnya bisa diaktifkan dengan sensor sidik jari, bukannya pola, kata sandi, nomor pin, atau bahkan teka-teki silang sehingga bisa mengakses isi ponsel itu.

Barang-barangnya berserakan di lantai. Dari kartu tanda pengenalnya, aku mengetahui pemuda ini bernama Satya Naratama. Usianya 24 tahun, dua tahun lebih muda dariku. Dia berasal dari Jakarta.

Selusin kerutan muncul di dahiku begitu melihat gambar pada layar utama ponselnya. Hanya orang dengan tingkat kepedean setinggi langit yang akan memasang fotonya sendiri sebagai wallpaper. Kemudian, kerutan di dahiku bertambah sekodi ketika melihat isi ponselnya.

Selain menemukan beberapa video berwarna biru di sana (jujur saja, sebelum memeriksa video-video itu—dengan tidak sengaja, aku sempat mengira dia benar-benar bintang bokep), banyak juga swafoto pemuda itu bersama gadis-gadis cantik. Dari sorot mata mereka, terlihat jelas kalau semua gadis itu begitu memuja pemuda ini.

Apa hebatnya sih, si Satya ini? Menang ganteng sama kaya doang, 'kan?

Isi pesannya membuat kerutan di keningku sudah tak terhitung lagi.

Oke, mungkin tindakanku dengan membuka-buka galeri serta pesan di ponsel tersebut tanpa izin si empunya memang tidaklah sopan. Namun, aku harus melakukannya supaya mengetahui lebih banyak tentang pemuda ini. Lagi pula, secara teknis sekarang aku menjadi Satya. Jadi aku tidak sepenuhnya salah ketika melihat-lihat isi ponsel Satya. Bagaimanapun caranya, aku harus secepatnya kembali ke tubuh asliku.

Pesan-pesannya … ih, alaynya na’udzubillah!

Kebanyakan si cewek yang mengirim pesan. Icha, Ocha, Chaha, Dima, Reanza, Kalika, Azzura, Chika, Malika, Rara, dan sekitar dua lusin gadis lain yang tidak mungkin kusebutkan namanya satu per satu.

Periode pesannya paling lama dikirim sekitar tiga bulan yang lalu, berupa makian dari cewek bernama Lana karena gadis itu merasa sudah dipermainkan oleh Satya. Kuduga Lana ini berkuliah di jurusan psikologi, karena dalam pesannya juga terdapat diagnosa yang panjang lebar tentang Satya yang menurutnya mengidap gangguan kejiwaan dan harus secepatnya mencari bantuan ahli. Sedangkan pesan paling baru dikirim oleh cewek bernama Dima. Pesannya melibatkan banyak binatang dan dipenuhi emot jari tengah. Selain itu, ada juga beberapa pesan yang kuduga dikirim oleh teman-teman Satya.

Aku tidak tahu mengapa dia tidak menghapus pesan-pesan itu. Entah karena terlalu sibuk, terlalu malas, atau mungkin Satya menjadikan pesan-pesan makian itu sebagai trofi untuk keberhasilannya menggaet cewek-cewek itu, seperti para psikopat yang mengambil sesuatu milik korbannya setelah berhasil melenyapkan nyawa mereka.

Kemudian, sebuah gagasan terlintas di benakku. Aku bahkan bisa melihat bohlam imajiner menyala terang di atas kepalaku.

Haruskah aku menelpon nomor ponselku? Mungkinkah akan ada yang menjawabnya? Namun, bagaimana kalau tubuhku—entah di kamar hotel tempatku menginap sebelumnya atau di mana pun itu, kini hanya berupa jasad tak bernyawa? Hanya … cangkang kosong. Apa mungkin aku bisa kembali? Tapi tidak ada salahnya mencoba kan?

Aku mengetikkan nomorku, kemudian mencolek ikon telepon berwarna hijau. Jantungku bertalu-talu. Untuk beberapa saat, hanya nada sambung yang terdengar. Setelah beberapa deringan, panggilanku tak kunjung dijawab.

Gimana kalo tubuhku yang asli memang udah mati?

Terbayang tubuh asliku yang sudah menjadi mayat tergeletak di sebuah gang sempit dan gelap. Atau mungkin dimutilasi dan potongannya disebar ke seluruh wilayah Indonesia. Tubuhku di Jogja, tungkaiku di Bali, lenganku di Makassar, kepalaku di Padang. Aku memang bercita-cita keliling Indonesia, tetapi bukan dalam wujud potongan juga. Mayatku mungkin baru akan ditemukan sebulan kemudian dalam kondisi membusuk dan sudah tak dapat dikenali tanpa uji DNA terlebih dulu.

Aku menggeleng-geleng untuk menepis pikiran negatif itu. Sepertinya aku harus mulai mengurangi tontonan serta bacaan tentang cerita-cerita pembunuh berantai. Aku juga takkan mengajak Kala nonton bareng lagi supaya otaknya tidak terganggu sepertiku.

Kemudian, terdengar suara yang tak asing. "Halo …."

"Halo. Siapa ini?" tanyaku mengernyit. Suaraku terdengar lebih ketus daripada yang kuniatkan.

Hening sejenak sebelum ia menjawab, "Luna."

Aku mendelik sampai mataku rasanya mau copot. "Apa? Jangan ngaku-ngaku kamu. Aku Luna."

Terdengar kekeh dari seberang sambungan. "Sori, dilihat dari kartu idetintasnya, Luna itu cewek. Tapi lo ... suaramu ngebass, tahu!"

Aku tersentak, kemudian sadar. "Dengar," kataku mencoba menjelaskan, "aku adalah pemilik ponsel ini. Dan, aku Luna. Hanya saja ada kejadian aneh yang membuatku …."

"Bangun dengan tubuh berbeda," potongnya.

Aku terkesiap. "Bagaimana kamu tahu?"

"Oh, damn!" seru suara diseberang. Aku menjauhkan ponselku sejenak karena kaget. "Sekarang gue paham. Kita tertukar."

"Kita, apa?" Aku menekankan ponsel ke telinga, memastikan tak salah mendengar.

"Jiwa kita tertukar. Lo sekarang ada di tubuh gue, sedangkan gue ada di tubuh lo."

     Astaga, nggak mungkin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top